NARA, seperti kota-kota lain di Jepang, selalu diterkam dingin pada hari-hari pertengahan Februari sampai pertengahan Maret. Selama itu, musim dingin berada di puncak kebekuan. Namun, bagi Shimizu Kosho, 77 tahun, seperti para penghuni kuil Todaiji, selama sebulan itu ia selalu bangun ketika subuh belum habis. Lalu mandi dengan air dingin sebelum dia bersiap dalam jubah biarawan. Inilah bagian dari kegiatan omizu-tori, semadi panjang di puncak musim dingin yang hanya ada di Todaiji. "Kegiatan itu tidak ada di kuil lain," tuturnya. Todaiji, kuil yang legendaris itu, didirikan di Nara, ibu kota lama, pada masa Kekaisaran Shomu (sekitar 1.205 tahun lalu), adalah salah satu wakil tradisi penciptaan kaligrafi. Menurut ketua kuil itu, belajar kaligrafi di situ merupakan kewajiban bagi biarawan. Kaitannya dengan upacara minum teh? "Dalam setiap upacara minum teh, kaligrafi tampil untuk melengkapi keindahannya," katanya. Agaknya, proses itu tak terpisah dengan upaya pemusatan pikiran dan batin. Gerak batin, olah rohani, pengaturan napas, merupakan bahasa sehari-hari. Tak ada pelajaran bela diri di Todaiji. Kalaupun mau mempertahankan diri dari serangan kata Kosho-san, caranya bukan dengan fisik, tapi dengan gerakan batin. "Kelihatannya kami diam, walau sebenarnya terus-menerus bergerak," ujarnya lagi. Ibarat tiupan angin yang tak kelihatan, tapi dahsyat. Dari satu sisi, membuat kaligrafi itu adalah kegiatan untuk menyalurkan hawa dalam tubuh. Tiap kuil menempuh jalur penciptaan sendiri-sendiri, lalu menghasilkan karya dalam getar berlainan. Kemudian bisa saja mereka berpameran. Itu biasanya secara berkelompok, yang juga ditempuh para biarawan Todaiji, bahkan sampai di Prancis beberapa tahun silam. Pameran tunggal pertama yang dilakukan di luar Jepang dirintis oleh Shimizu Kosho. Dan itu berlangsung di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta. Pekan lalu itu tidak hanya sejumlah kaligrafi (sumi) karya-karya Kosho-san yang dihadirkan di sini. Juga ada yang berbentuk lukisan (iro) dan keramik (tsuchi). Dalam ketiga bentuk ungkapan keseniannya itu, Kosho-san menampilkan dirinya tak sekadar seorang yang terampil, kendati ia baru mulai tekun berkesenian pada usia 45 tahun sepuluh tahun setelah ditahbiskan sebagai pendeta Budha pada tingkatan kondatsozu. Dalam kaligrafi dan lukisan-lukisannya, Kosho-san mengisi goresan-goresannya yang mantap itu dengan ajaran keagamaannya. Pada sejumlah keramik, maunya ia juga berbuat demikian. Cuma, karena ukurannya yang mungil-mungil (dengan tinggi kurang dari 30 cm), impresinya tak seperti pada kaligrafi atau lukisannya. Dalam lukisan, ia menggunakan warna-warna cat air. Untuk menembus sumber ilham sebagai dasar kreativitasnya, Kosho-san melihat dengan mata batin dan mendengar melalui hati. Tradisi latihan kebatinan dan pendalaman agama, di kuil, lalu menghasilkan kesimpulan: penyatuan diri dengan getaran hidup itu memang indah. "Ada suasana mistis, yang mengalun seperti musik," tuturnya. Pada mulanya ia melulu mengalirkan dirinya lewat kaligrafi, yang lebih diam. Melukis dilakukannya beberapa tahun kemudian. Bagi Kosho-san, berkarya itu karena ia ingin menolong dan menyenangkan orang lain. Sosok-sosok di lukisan dan keramiknya menggambarkan orang dalam sikap berdoa -- figur-figur dari dunia legenda yang banyak muncul pada kuil-kuil Budha -- atau sejumlah orang yang tak berdaya, cerita tentang kekhilafan dan dosa manusia. Sikap demikian memang pesan keagamaan, supaya diingat orang lain dan diri sendiri. "Agar saya tidak salah mengayunkan langkah dalam kehidupan saya," tutur Koshosan pada Teguh P. dari TEMPO. Kendati demikian, sebagai produk kesenian, karya Kosho-san tidak terhindar dari transaksi jual-beli. Di Jepang, harga lukisannya mencapai 500 ribu yen atau lebih dari Rp 6 juta. Para pembeli karya-karyanya itu pada dasarnya memang bermaksud menambah jumlah dana dalam pundi-pundi kuil Todai. Kosho-san sendiri, dalam kedudukannya sebagai pendeta dengan tingkatan tertinggi (daisojo) dan ketua pelaksana aliran Kegonshu Kuil Todai generasi ke-208, tak pernah menjajakan karyanya, apalagi menyebut harga masing-masing. Dan di Jakarta, semua yang dipamerkan tidak dijual. Dana hasil penjualan karya-karya Koshosan di negerinya sana sungguh penting bagi Todaiji. Kuil ini memiliki rumah sakit dan sekolah yang mengajarkan pendidikan filsafat, kaligrafi, dan pelengkapnya. "Tujuannya memang bukan cari uang, tapi membantu yang membutuhkannya," katanya. Kuil ini terbuka untuk siapa saja dan tanpa membatasi pada aliran tertentu. Maka, bukan seperti kuil lain yang memperoleh dana dari pengikut, Todaiji bahkan berusaha mandiri. Dan ketika nilai mata uang mereka naik dan hidup kian mahal, tanah pertanian milik Todaiji sudah tak lagi memadai sebagai sumber penghidupan biarawannya. Tambahan dana -- selain dari penjualan kaligrafi, lukisan, atau keramik -- kemudian juga datang dari harga karcis masuk yang harus dibayar turis dan peziarah. "Sekarang kami terpaksa memungut uang karcis itu," ujar Kosho-san. MC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini