TERSIBAK spektrum gaya di Gedung Pameran Seni Rupa, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. Sejak 22 Agustus hingga 1 September di Gambir itu empat pelukis berpameran. Dan yang menarik, mereka ada yang menapak pada satu medium (Abas Alibasyah: lukis, cat di kanvas), seorang yang berbeda gaya dalam dua medium berbeda (G.M. Sudarta: lukis dan karikatur), seorang lagi bahkan sedang berubah gaya (Hardi). Jika pameran bersama, Abas, 60 tahun, biasanya tampil dengan satu-dua lukisan. Kini ia memutuskan harus "tampil kembali". Penerima Anugerah Seni 1985 ini menyajikan sejumlah lukisan -- yang sebagian di antaranya citra pemandangan alam, sudut kota, atau kampung. Lukisan-lukisan itu mengacu kepada tempat tertentu, misalnya Tanah Lot, pelabuhan lama Kupang, Kalipasir. Pada yang lain terdapat pula lukisan yang menyajikan abstraksi dekoratif, datar (dwimatra), pembagian bidangnya jelas, penataan yang berulang, beraturan, berirama. Dengan cara begitu, seperti pada Lelakut Bali III, boleh dibilang abstrak atau semiabstrak. Sedangkan sebagian lukisan bahkan memperlihatkan sintesis kedua gaya itu. Topeng, patung, boneka, diambil sebagai pokok dalam lukisan dengan kedua gaya terakhir -- yang agaknya diilhami seni rupa Nusantara lama. Abas menggunakan warna buram, tak berseri, dan banyak cokelat. Pewarnaan demikian bertemu dengan citra retakan, bidang yang terkelupas, pinggiran robek atau lekang, bahkan citra bubuk atau karat. Ketuaan, perjalanan zaman, peninggalan masa silam tampak di Patung Moyang, Lelaku Bali III. Kemudian G.M. Sudarta, 42 tahun. Ia pekarikatur yang menerima penghargaan seperti Kalam Kencana dari Dewan Pers Nasional dan Hadiah Adinegoro. Sekarang melukis? Ya, sudah lama sebenarnya ia dalam pameran bersama -- meski tak teratur. Gaya adalah padanan, malah perwujudan satu pribadi. Maka, kita pun diajak berpikir untuk melihat Sudarta, sama seperti melihat Abas. Ini karena lukisan-lukisan Sudarta tidak memperlihatkan jejak karikatur. Tak ada sindiran tajam. Yang ada kelembutan. Ia menggayakan sosok manusia dengan garis lengkung halus, tanpa ada canda dan kelucuan. Sudarta bukan saja serius, tapi juga sentimental. Ini kelihatan pada gadis yang sendiri di padang rumput memegang setangkai anggrek (Setangkai Anggrek dari Nusa Laut) dan terasa dalam Berita Duka. Lalu pada perempuan yang berlutut sembari memeluk dan mencium seorang anak (Abadi). Tapi seorang lelaki (juga berlutut) dengan lengannya terkembang ke atas, seolah memprotes langit (Tuhan Mengapa Kau Tinggalkan Aku). Dalam lukisan Sudarta tak terlihat pengamatan ke luar, kepada gejala masyarakat, melainkan renungan plus kerinduan keagamaan dan kemitosan. Contohnya pada lukisan Empat Penunggang Kuda di Hari Akhir, Ecce Homo, Drupadi, Kinara Kinari). Lain Marah Djibal, 53 tahun. Ia belajar melukis pada Seniman Indonesia Muda (SIM) pimpinan S. Sudjojono di Yogyakarta pada 1950-an. Djibal yang telah berpameran di beberapa kota dalam dan di luar negeri ini melukis terutama pemandangan alam. Berdasar karyanya itu dapat disidik dua perbedaan: deskriptif yang memberi informasi tentang obyek yang diacunya daripada menggugah perasaan seperti di Sunda Kelapa, Dieng IV, dan Dieng II. Karena nuansa warna -- beberapa ada gelap dan remang sebagian karya itu liris, lebih menggugah perasaan, daripada deskriptif (Dieng III, V, VI, atau Tepian Desa). Dan tentang seorang perupa berganti gaya? Lihatlah pada Hardi. Sebelumnya dia dikenal suka bermain dengan protes sosial, menempelak dan menampar. Dalam pameran "pelukis kontemporer" ini, sekarang di kanvasnya bermunculan perempuan cantik yang gemilang, berwajah cerah, dan agak tersenyum dalam Penari di Pantai, Dua Penari Betawi, Tiga Penari Dibakar Mantra, Potret Yuli, Devi Gadis Jawa. Hardi, 37 tahun, sebagai colorist (si pandai warna) kini muncul dengan warna terang dan manis, antara lain: kuning, jingga, merah, hijau, biru. Walau demikian, ia belum menghalau habis tema kemasyarakatannya. Ia masih sempat melukis rakyat kecil mengobrol, selain bocah penjaja koran yang terbirit-birit dikejar polisi. Kemudian, setelah dengan gayanya pula menampilkan Mooi Indie (Hindia Molek) sebuah pemandangan berlatar upacara Bali lalu dia melukis Soeharto bertolak pinggang di Saat yang Menentukan. Maka Hardi pun menjadi lebih komplet. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini