INILAH sidang perkara korupsi terpanjang di Pengadilan Negeri Kupang. Sampai pekan lalu, perkara bekas Kepala Kanwil Kehutanan NTT Ir. Oscar Arellan Sipayung, yang dituduh korupsi dalam jual beli kayu cendana di daerah itu, masih terkatung-katung. Padahal, persidangan sudah berjalan sekitar dua tahun. Dan majelis hakim yang diketuai Badilangu telah menyelenggarakan persidangan itu secara maraton - kadang-kadang sampai dinihari. "Perkaranya memang pelik," kata Badilangu, seperti putus asa. Badilangu sendiri, sejak November 1986, telah ditarik ke Mahkamah Agung di Jakarta. Sementara itu, penggantinya, yang kini masih di Cirebon, bukan mustahil harus memeriksa perkara yang sudah berlarut-larut itu, mulai dari nol kembali. Benarkah pelik? Kabarnya, perkara ini bukan sekadar korupsi biasa. Kasus itu, konon, lahir akibat pertentangan keras antara Gubernur NTT Ben Mboi dan jajaran Kanwil Kehutanan daerah itu. Bermula dari kemarahan Gubernur kepada Kepala Dinas Kehutanan yang lama, Ir. Matheos Meroekh, 48. Kepala dinas provinsi, yang berjasa menghijaukan NTT dan bahkan mendapat anugerah "cincin NTT" dari Gubernur, 1981, ditarik instansinya ke Jakarta. Sebelum meninggalkan daerah kelahirannya, Meroekh melaporkan ke Gubernur dan penggantinya, Sipayung, tentang tersisanya dana Rp 114 juta di dinasnya, yang merupakan hasil eksploitasi kayu cendana. Sipayung sendiri menjabat kepala dinas provinsi, 1981-1985, dan sejak Maret 1984 juga merangkap sebagai Kakanwil Kehutanan. Mendengar laporan itu, kabarnya, Gubernur Ben Mboi menginginkan agar dana itu ditarik ke kas Pemda untuk dimasukkan ke APBD nonbudgeter. Rupanya, Meroekh keberatan. Sebab, dana itu konon milik sebuah perusahaan swasta ang didirikan beberapa pejabat di daerah itu. Karena itu, menurut sumber TEMPO, Ben Mboi marah. Melalui kejaksaan, Meroekh dituduh korupsi Rp 114 juta. Ketika Meroekh disidangkan, Sipayung, yang duduk sebagai saksi, membela terdakwa, yang juga seniornya. Pada Agustus 1985, Meroekh pun lolos dari tuduhan berat itu. Sebab, ternyata uang yang disangka dikorupnya masih utuh di BNI 1946 Kupang. Gagal dalam kasus pertama, kejaksaan mengajukan lagi Meroekh dalam kasus korupsi dana Proyek Reboisasi dan Pengadaan Bibit Reboisasi (PBR) Rp 30 juta, September 1985. Dalam sidang, sekali lagi, Meroekh tentu mencoba mengelak. Uang Rp 30 juta itu, katanya, disetorkannya ke bank sebagai "dana taktis" Golkar, sebagaimana disepakati dalam rapat DPD Golkar (TEMPO, 6 Desember 1986). Alasan itu dipakai pula oleh pengacara Meroekh, Harjono Tjitrosoebono, untuk meloloskan kliennya. Mengutip sebuah yurisprudensi Mahkamah Agung, Harjono menganggap tindakan kliennya itu tidak melanggar hukum. Sebab, uang yang dianggap dikorupnya itu ternyata digunakan untuk kepentingan umum. Hanya saja, kali ini Pengadilan Negeri Kupang tak sependapat. Sebab, Meroekh seharusnya tahu bahwa dana reboisasi dan PBR tidak boleh dipotong. Apalagi di sidang terbukti juga uang pungutan itu tidak semuanya disetorkan Meroekh ke Golkar. Dan, kata hakim, Golkar sendiri tidak bisa dianggap mewakili kepentingan umum. "Golkar adalah salah satu bagian organisasi partai politik, sehingga merupakan golongan tertentu saja," kata Badilangu dalam vonisnya, 21 Januari 1987. Karena itu, Meroekh dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Sementara perkara Meroekh yang pertama belum selesai, Sipayung, yang dihadapkan sebagai saksi Meroekh, mulai pula diperiksa kejaksaan, Maret 1985. Kali ini, insinyur IPB, alumnus 1966, kelahiran Medan, itu dituduh memanipulasikan uang Rp 900 juta. Caranya, tuduh Jaksa Yan Mere, Sipayung telah melanggar SK Gubernur tertanggal 3 Desember 1984: menjual secara kredit kayu cendana. Ia juga dituduh memalsukan klasifikasi kayu untuk keuntungan pribadinya. Apa pun kata Jaksa Yan Mere, Sipayung tak bergeming. "Silakan menuduh saya apa saja. Semuanya isapan jempol belaka. Hakim yang akan memutuskan," katanya seakan yakin tak bakal kena. Sipayung, misalnya, membantah telah menjual kayu cendana secara kredit. "Mereka, pembeli, banyak yang membayar lebih dulu. Kalau itu dianggap sebagai membayar secara kredit, ya, terserah," kata Sipayung. Tentang tuduhan memanipulasikan klasifikasi kayu, ia juga mengelak. Tuduhan itu, katanya, terjadi karena ada dua patokan untuk mengkalisifikasikan kayu cendana. Patokan pertama yang membagi kayu menjadi enam kelas lahir dari SK yang dibikinnya sendiri sebagai Kakanwil. Sedangkan patokan kedua, sebanyak empat kelas, dikeluarkan oleh Gubernur. Karena dua SK yang dihasilkan tanpa koordinasi itu, terjadilah, misalnya, sebatang kayu yang menurut SK Sipayung masuk dalam suatu kelas tertentu, tetapi menurut SK Gubernur masuk dalam kelas lain. Kini, yang bingung menangani perkara itu memang hakimnya. Sebab, di luaran makin santer berita bahwa Sipayung tidak bersalah. "Hampir di setiap kesempatan Gubernur selalu mengatakan bahwa Sipayung tidak bersalah," kata sebuah sumber yang tidak mau disebut namanya. Di sebuah acara resmi, Sipayung bahkan mendengar jaminan dari Ben Mboi. "Kalau dalam masalah cendana itu ada keputusan atau kebijaksanaan Pemda yang salah, jangan salahkan Sipayung. Tetapi salahkan saya," kata Sipayung menirukan. Kepada Masduki Baidlawi, dari TEMPO, pun beberapa waktu lalu, Ben Mboi mengakui "Yang menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan ketika Sipayung menjabat kepala dinas kehutanan adalah tanggung jawab saya, dia 'kan anak buah saya. Tetapi yang menyangkut kesalahan dia, misalnya korupsi, ya, pihak pengadilan yang berwenang memutuskan," katanya. Repotnya, korupsi yang dituduhkan ke Sipayung itu justru menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan itu pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini