KALI ini angin baik bagi pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution. Ketua Mahkamah Agung Ali Said, sebagai instansi terakhir yang memeriksa kasus contempt of court Buyung, meralat vonis-vonis pengadilan bawahannya. Petinggi hukum itu akhir bulan lalu hanya menjatuhkan hukuman berupa peringatan. "Akhirnya saya sampai kepada pertimbangan, kiranya Buyung cukup diberi peringatan," kata Ali Said kepada TEMPO, pekan lalu. Semula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Februari tahun lalu, memutuskan Buyung dipecat dari profesi pengacara. Keputusan itu, tiga bulan kemudian diperbaiki Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi skorsing 6 bulan. Toh, Mahkamah Agung masih menganggap vonis itu terlalu berat sehingga perlu dikurangi lagi. Yang menarik dari keputusan Ali Said, yang katanya sudah dikirimkannya ke Menteri Kehakiman itu, ternyata sejalan dengan keputusan Dewan Kehormatan (DK) DPP Ikadin yang dikeluarkan tiga pekan lalu: sama-sama menjatuhkan hukuman peringatan. Hanya saja kalau DK Ikadin memeriksa kasus Buyung dari segi etik advokat, Mahkamah Agung, selaku pengawas advokat, seperti juga pengadilan bawahan, memeriksa kasus itu dari segi penghinaan terhadap martabat pengadilan, contempt of court. Tindakan Buyung yang dianggap menghina pengadilan itu terjadi ketika majelis hakim yang diketuai Soedijono tengah membacakan vonisnya dalam perkara Dharsono. Soedijono, yang kemudian menjadi hakim tinggi di Medan, mengadukan sikap Buyung itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Sikapnya itu tidak terpuji. Seharusnya ia 'kan bisa banding bila tidak puas atas vonis hakim," ujar Soedijono. Akibat pengaduan Soedijono itu, Buyung diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan kemudian Mahkamah Agung itu. Selain Soedijono, Buyung belakangan diadukan pula oleh Ketua Ikadin Jakarta Rusdi Nurima, ke DK Ikadin dengan tuduhan telah melanggar kode etik advokat akibat tindakannya menginterupsi hakim itu. Ternyata, baik DK DPC Ikadin Jakarta, DK DPP Ikadin - organisasi yang ikut didirikan Buyung - sependapat bahwa Buyung telah melanggar kode etik advokat, dan karena itu menjatuhkan hukuman peringatan kepada anggotanya itu. Ketua Umum DPP Ikadin Harjono Tjitrosoebono, yang juga sama-sama pengacara Dharsono, tidak pula membela Buyung dalam kasus itu. "Tidak ada solidersolideran. Di organisasi ini yang penting kedisiplinan. Untuk disiplin dasarnya kode etik. Kalau kode etik ini tidak diterapkan, organisasi ini tidak bisa tegak. Jadi, untuk teman, ya, maafkan," kata Harjono tegas. Buyung, yang bagaikan sudah jatuh diimpit tangga, tentu saja kecewa atas vonis kawan-kawannya itu. Sebab, menurut Buyung, ia sampai menginterupsi hakim justru karena mempertahankan eksistensi advokat yang dikatakan hakim tidak etis. Ternyata, dalam menangani kasusnya, katanya, DK Ikadin hanya melihat kode etik, tanpa memahami konteks politiknya. "Itulah kepicikan berpikir mereka, karena tidak memahami konotasi politik," ujar Buyung berang. Kekecewaan Buyung semakin menjadi-jadi karena DPP Ikadin beserta DK Ikadin dua pekan lalu, langsung melaporkan keputusan itu kepada Menteri Kehakiman, yang berwenang mengambil tindakan administrasi kepada pengacara."'Kan jelas mereka mau cari muka dengan menjual saya kepada pemerintah. Dengan tindakan itu berarti mereka sendiri sudah tidak lagi menghormati kedaulatan profesinya," kata Buyung. Persoalannya kini sejauh mana vonis-vonis itu akan menentukan karier Buyung. Dalam Undang-Undang Mahkamah Agung, 1985, dan Undang-Undang Peradilan Umum, 1986, disebutkan Menteri Kehakiman berwenang mengambil tindakan terhadap pengacara setelah mendengar usul Ketua Mahkamah Agung dan organisasi profesi pengacara yang bersangkutan. Hanya, seperti dikatakan Ismail Saleh, Menteri Kehakiman, peraturan pelaksanaannya belum ada. "Kami sedang mempersiapkan Surat Keputusan Bersama dengan Ketua Mahkamah Agung," ujar Ismail Saleh. Tapi apa kata Ismail Saleh tentang kasus Buyung? Sekalipun DPP dan DK Ikadin telah melaporkan vonisnya, Menteri Ismail Saleh merasa ia tidak perlu terikat dengan keputusan organisasi pengacara itu. "Sebab, Ikadin itu hanya mengurusi soal disiplin anggotanya, sementara kami bukan melihat soal itu tapi soal administratifnya," ujar Menteri Kehakiman Ismail Saleh kepada TEMPO. Ia menganggap keputusan kedua lembaga itu berdiri sendiri-sendiri. Tapi bagaimana dengan keputusan Mahkamah Agung yang tidak berbeda dengan keputusan Ikadin ? "Pokoknya, tunggu sajalah," kata Ismail Saleh, yang mempunyai wewenang terakhir dalam menentukan kasus Buyung. Buyung, kendati tidak setuju dengan vonis kawan-kawannya, tidak bisa menerima pendapat Ismail Saleh yang akan memeriksanya dalam masalah administrasi. "Advokat itu 'kan bukan pegawai administrasi negara, jadi tidak mungkin, dong, harus tunduk pada aturan administrasi negara. Itulah salah kaprahnya," kata Buyung. Seharusnya, menurut Buyung, pemerintah, dalam soal anggota profesi, hanya mengesahkan keputusan dari organisasi profesi itu. "Seperti Menteri Kesehatan dalam kasus dokter," tambah Buyung, yang tetap berapi-api. Karni Ilyas, Laporan Eko Yuswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini