KEKALAHAN tim Piala Uber Indonesia di tangan pemain puteri
Jepang di Auckland, Selandia Baru dua pekan lalu tampak membikin
dada PBSI sesak. Bayang-bayang menakutkan mulai menghantui
mereka dalam mempersiapkan regu untuk Asian Games VIII di
Bangkok, Desember 1978. Betapa tidak, tim yang terdiri dari
Ivana, Tjan So Gwan, Verawaty, Imelda Wiguna, Theresia
Widyastuti, dan Regina Masli ternyata belum dapat menanamkan
kepercayaan bahwa kegagalan seperti yang terjadi di final Piala
Uber tak akan terulang kembali. Sebab dari 7 partai (3 tunggal,
4 ganda) yang dipertandingkan, mereka cuma meraih 2 angka
kemenangan (1 tunggal, 1 ganda).
Kita mulai saja membedah penampilan yang mereka perlihatkan. Di
partai tunggal, dari 3 pemain yang dipasang (Ivana, Tjan So
Gwan, dan Verawaty) keunggulan hanya diperlihatkan oleh
Verawaty, seorang. Ia berhasil menjinakkan ketrampilan Hiroe
Yuki, juara All England 1974, 1975, dan 1977 dengan penampilan
yang matang. Ia kini tidak hanya menguasai soal teknik dengan
baik, juga kesabaran untuk menahan diri sewaktu menghadapi lawan
mulai merasupi dirinya. Santai-santai saja ia mengecoh Yuki.
Titik Kritis
Sebaliknya dengan Ivana maupun Tjan So Gwan. Kedua pemain ini
tak ayal menjadi bulan-bulanan permainan Saori Kondo dan Atsuko
Tokuda. Rata-rata mereka hanya mampu meraih angkadi bawah 5
untuk setiap set. Tapi, "mereka adalah harapan untuk masa
depan," komentar pelatih tim Piala Uber, Christian.
Dalam partai ganda, harapan yang tersisa tinggal pada pasangan
Verawaty/Imelda. Sekalipun waktu menghadapi Emiko Ueno/Yoshiko
Yonekura, mereka terlebih dahulu kehilangan set pertama. Namun
pada permainan 2 set berikutnya, mereka berhasil memperlihatkan
kekompakan kembali. Kemenangan yang mereka raih itu sekaligus
tetap menempatkan sebagai pemain ganda andalan Indonesia.
Akan pasangan Widyastuti/Regina masih bermain pas-pasan.
Kelemahan dalam akurasi, pengontrolan bola yang cermat, dan tak
adanya senjata pamungkas untuk menghentikan permainan lawan
tetap merupakan kekurangan dari pasangan ini. Mereka cuma
bermain baik dalam posisi bertahan. Gaya permainan semacam ini
sulit untuk diharapkan dapat membuat kejutan. Buktinya, dari 2
partai ganda yang dibebankan di pundak mereka, keduanya berakhir
dengan tragis.
Bertolak dari kegagalan di Auckland, harapan tim puteri
Indonesia untuk meraih medali emas Asian Games VIII tampak ikut
melorot. Mengingat pemain yang bakal turun di Bangkok nanti
materinya toh tidak akan berkisar dari mereka.
Adakah krisis pemain puteri tengah menggerayani PBSI kini? Di
luar nama yang tergabung dalam tim Indonesia yang muncul di
final Piala Uber kemarin, wajah lain memang belum tampak
menonjol. Kecuali Tati Sumirah dan Ruth Damayanti, barangkali.
Dalam penampilan di Auckland, keduanya menempati posisi pemain
cadangan. Tapi untuk melimpahkan harapan pada mereka dalam
menambal kekurangan regu pun kelihatan berat.
Tati Sumirah yang sudah menjadi pemain inti Piala Uber sejak
tahun 1972, sekarang sudah kehilangan sentuhan. Ia bukan lagi
Tati Sumirah yang ganas di lapangan. Ketrampilannya telah
menurun. Dalam seleksi di Gedung C Senayan, Jakarta menjelang
keberangkatan ke Auckland, ia malah pernah dikalahkan oleh
pendatang baru, Ruth Damayanti. Untuk mengharapkan dirinya mampu
mencapai puncak seperti 2 tahun silam agak sukar, sudah.
Mengingat ia harus bertarung juga dengan usia. Umurnya sekarang
26 tahun -- titik kritis buat wanita Indonesia.
Akan halnya Ruth Damayanti, sekalipun baru peruma kali terdaftar
dalam regu Piala Uber, ia kelihatan masih membutuhkan penanganan
yang baik dan pengalaman bertanding. Suatu hal yang mustahil
bisa mengatrol kebolehannya dalam tempo 6 bulan -- waktu yang
tersisa buat persiapan tim Asian Games VIII.
Selamat Tinggal
Peluang tim bulutangkis puteri untuk Asian Games VIII yang tipis
itu bukan tak bisa diangkat lagi. Asalkan PBSI mau melakukan
perombakan secara drastis. Dari tim Piala Uber kemarin yang
mungkin masih bisa dipakai agaknya terbatas pada Ivana, Tjan So
&wan, Verawaty, Imelda, dan Widyastuti.
Tanpa dicantumkannya nama Regina, bukan tak merepotkan. Sebab
PBSI mau tak mau harus melahirkan pasangan ganda baru. Tapi itu
adalah risiko. Karena jika Widyastuti masih saja dijodohkan
dengan Regina, bentuk permainan yang akan mereka perlihatkan
hampir bisa dipastikan tidak bakal menampilkan prospek baru.
Mengingat Regina belakangan ini, juga untuk masa depan, sudah
kehilangan sentuhan maupun kecepatan dalam membaca permainan
lawan.
Lain halnya dengan Widyastuti. Ia masih mempunyai potensi
sebagai pengatur serangan. Penempatan bolanya masih baik. Dan
permainannya mungkin akan lebih hidup, seandainya ia dijodohkan
bukan dengan Regina. Dari nama-nama terpilih versi TEMPO, jodoh
yang tepat buat Widyastuti adalah Tjan So Gwan. Sebab Tjan So
Gwan, selain punya harapan untuk bermain tunggal, ia juga
kelihatan memiliki potensi buat bermain ganda. Lagi pula,
Widyastuti toh pemain yang gampang menyesuaikan diri dengan
siapa saja.
Adanya kemungkinan perceraian dan penjodohan pemain ini, sudah
terlintas pula di fikiran Christian. Di bandar udara Halim
Perdanakusuma, ia tak kurang mengungkapkan permasalahan ini
sebagai usaha untuk menampilkan tim puteri yang baik di Asian
Games VIII. Namun ia tidak mau menyebut nama pemain yang harus
mengucapkan selamat tinggal (untuk sementara) pada pelatnas.
"Tunggu saja hasil kejurnas," katanya. Maksudnya, materi pemain
itu akan dilihat dari hasil kejuaraan nasional bulu tangkis yang
direncanakan diadakan di Semarang, Juni ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini