DEWAN Juri Festival Film Indonesia (FFI) 1978 dalam laporan
pertanggungan jawabnya di Ujungpandang mengemukakan hal berikut:
"Sex dalam film-film yang ikut FFI 1978 relatif berkurang, dalam
hal penyajiannya secara vulgar dan obscene tapi toh rasanya
perlu lebih dikurangi lagi dan dibatasi rada seperlunya saja
yakni bila betul-betul esensial bagi plot (alur cerita).
"Kekerasan (violence) dan Sadisme sebaliknya terasa bertambah
tahun ini, mungkin karena film action dan film Kung-fu/silat
banyak diproduksi. Hal ini per]u mendapat perhatian pihak
produser/sutradara, supaya dikurangi."
Sebenarnya film action/silat yang "murni" hanya berjumlah 4
buah, berarti 7% dari jumlah total film yang ikut serta. Tetapi
dalam film drama sebanyak 37 buah dan merupakan 66% dari jumlah
total terdapat di antaranya yang mengandung adegan-adegan
kekerasan. Bagaimana pun juga, kesan umum yang diperoleh Dewan
Juri ialah bertambahnya kekerasan dan sadisme dalam film-film
yang ikut FFI 1978.
Contoh tentang kekerasan yang dimaksud ialah dalam sebuah film
diperlihatkan dengan pengambilan closeup bagaimana golok
ditancapkan ke dalam tubuh orang dan kemudian dicabut keluar.
Sebagai trick photography dia barangkali bagus, tetapi
pertanyaan yang mau tak mau timbul ialah buat apa toh yang
demikian diperlihatkan? Juga hebat pengambilan tentang golok
melayang di udara, lantas menukik langsung masuk di punggung
seorang yang sedang melarikan diri dan membuatnya mati
tersungkur. Lalu ada pula tangan berdarah seorang ahli Kung-fu
menyambar bagaikan kilat ke arah "anu" lawannya, disusul dengan
"anu" itu diremasnya, sehingga membuat si pemilik "anu" menjadi
lemas tidak berdaya.
Saya teringat Kode Produksi Film di Amerika Serikat yang secara
terperinci menguraikan adegan-adegan macam apa yang tak boleh
diperlihatkan oleh produser/sutradara. Dalam pasal-pasal tentang
kejahatan, Kode tersebut menyebutkan misalnya:
"Perbuatan yang memperlihatkan penambilan nyawa manusia
hendaklah dibatasi secara minimal. Penyajiannya yang kerapkali
cenderung mengurangi hormat terhadap kekudusan hidup."
"Memamerkan senjata secara berlebih-lebihan oleh
penjahat-penjahat tidak akan diizinkan."
"Teknik pembunuhan tidak boleh disajikan dengan cara yang akan
mendorong orang menirunya."
"Pembunuhan-pembunuhan secara kejam, brutal tidak boleh
disajikan secara detail."
"Tindakan-tindakan yang berkelebihan dan tidak
berperi-kemanusiaan serta brutalitas tidak akan boleh
dihidangkan. Ini mencakup semua penghidangan terperinci dan
berlarut-larut dari kekerasan fisik, penyiksaan badan dan
aniaya."
Kode Produksi memperinci pula sebagai acara-acara khusus yaitu
acara yang harus diperlakukan dengan diskresi dan pengendalian
diri serta dalam batas-batas berhati-hati dari selera baik. Maka
dalam hubungan ini disebutkannya: adegan-adegan kamar tidur,
penggantungan diri dan pembunuhan di kursi listrik, minuman
keras dan mabuk, operasi operasi oleh ahli bedah dan kelahiran
bayi. Mengapa Kode Produksi dibuat begitu cermat? Berbagai
alasan dikemukakan: "Film karena pentingnya sebagai hiburan dan
karena kepercavaan yang ditaruh di dalamnya oleh rakyat-rakyat
dunia mempunyai kewajiban-kewajiban moral yang istimewa ....
Ruang gerak bagi film tidak dapat seluas yang diberikan kepada
buku .... Sebuah buku memberikan/melukiskan sebuah film
menyajikan. Yang satu menghidangkan di atas halaman yang dingin
yang lain oleh rupanya orang-orang yang hidup .... Sebuah buku
menjangkau pikiran mel alui hanya kata-kata sebuah film
mencapai mata dan telinga melalui reproduksi kejadian-kejadian
aktual .... Reaksi seorang pembaca buku tergantung dari
ketajaman daya khayalnya reaksi terhadap sebuah film tergantung
dari hidup berkilatnya penyajian."
Tentu bisa dikatakan itu Kode Produksi Film Amerika yang tidak
berlaku bagi si empunya uang dan produser/sutradara film
Indonesia.
Juga dapat dikemukakan Dewan Juri FFI boleh menilai dan bilang
ini dan itu, tetapi "pedagang-pedagang impian" akan terus
bekerja dalam "kultur dagang" mereka, ibarat bunyi pepatah
anjing menggongong, kafilah lalu. Jadi buat apalah juri capek
diri sendiri?
Saya tidak akan berdebat dengan Anda. Juga saya tidak akan
melakukan himbauan kepada Menteri P&K Dr. Daoed Joesoef atau
Menteri Penerangan Ali Murtopo untuk memperhatikan soal ini.
Tetapi saya cuma berharap semoga sex dan kekerasan dalam film
Indonesia janganlah terus ditonjolkan secara menyolok mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini