TAMU berdiri di ruang terbuka dekat halte bis dan pasar kembang. Mereka mengelilingi panggung tanpa atap, berbaur dengan orang yang lalu-lalang. Di panggung, Dr. Dietmar Hawleg, Wali Kota Erlangen, menyampaikan pidato pembukaan "Festival for Hearing", Kamis sore dua pekan lalu. Sekitar 600 orang dari pelbagai negeri menyaksikan festival di kota kecil di pedalaman Jerman Barat itu. Acara yang disodorkan panitia dibagi dalam dua tema: simposium tentang pendengaran, dan memanjakan kuping. Untuk yang kedua ini lewat musik jazz, brass, dan pergelaran orkestra Nowosibirsk dari Uni Soviet. Festival yang diadakan Siemens bersama pemda Erlangen ini menelan biaya dua juta DM. Selama festival, panitia ingin melibatkan sebanyak-banyaknya kuping dan mata. Acara musik, misalnya, terbuka untuk umum dengan membayar karcis murah. Pembukaan festival juga sengaja dilakukan di pelataran dekat halte bis. "Agar festival ini lebih memasyarakat," ujar Dietmar Hawleg. Sedangkan simposium dua hari itu membahas masalah pendengaran secara luas dan dari pelbagai segi. Panitia tertarik menggarap soal ini, antara lain, lantaran melihat gangguan pendengaran telah begitu meluas di kalangan orang modern. "Dan selama ini mereka seperti kurang peduli terhadap gangguan pendengaran," ujar Peter Daetz. Ia ini ketua panitia, dan sebagai pimpinan divisi audiologi di perusahaan Siemens. Di Jerman Barat sendiri, yang berpenduduk sekitar 50 juta, kata Daetz, ada 11 juta penderita gangguan pendengaran, dari tingkat ringan sampai yang berat. Dari jumlah itu hanya 1,3 juta yang memanfaatkan alat bantu pendengaran Baik di negeri maju maupun di negeri sedang berkembang, memang ada kecenderungan orang enggan memasang alat bantu pendengaran (hearing aid). Padahal, alat ini bisa dicantolkan di telinga atau disusupkan dalam rongga kuping. Keengganan itu juga ada sebabnya. "Karena hearing aid dianggap tak berunsur kosmetik. Bukan seperti kaca mata yang dipandang bisa membuat orang lebih cantik atau lebih ganteng," kata Nyonya Lily Kasoem dari PT Sika, agen tunggal hearing aid Siemens di Jakarta. Tapi bukan alasan kosmetik saja. Harga alat tersebut juga tak murah. Contohnya seperti yang buatan Siemens, kata Lily yang juga pemilik beberapa toko kaca mata di Jakarta itu, harganya bisa ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Sementara itu, tanpa alat bantu tadi para penderita gangguan pendengaran akan menghadapi banyak persoalan. Risiko hilangnya pekerjaan, dan lantas sulit mendapatkan pekerjaan baru, sering dihadapi. Lebih dari itu, kesulitan komunikasi kerap membuat mereka terasing dan stres. Dan yang lebih berat tentu menerkam penderita tunarungu total. "Sementara tunanetra terisolasi dari benda-benda, tunarungu terasing dari sesama manusia," kata Michael Whitlam, wakil dari Royal National Institute for the Deaf (RNID), London. Di simposium itu ia juga mengingatkan tentang pelbagai alat bantu pendengaran yang ada saat ini masih belum menolong si tunarungu total. Di Inggris, saat ini tunarungu total ada 300 ribuan orang. Di luar statistik tunarungu total itu, Whitlam menyebut pula bahwa Inggris memiliki sekitar 8 juta penderita gangguan pendengaran -- dari sekitar 50 juta penduduk -- yang pasti memerlukan alat bantu itu. Lantas di Indonesia? Dalam catatan Departemen Sosial, di sini terdapat lebih dari 500 ribu tunarungu. "Angka itu hanya menyebutkan jumlah penderita bisu-tuli," ujar dr. Hendarto Hendarmin, Kepala Bagian THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorokan) di RSCM Jakarta. Sedangkan penderita gangguan pendengaran lebih dari itu. Dalam taksiran WHO, sekitar 10% dari jumlah penduduk. Kehidupan modern, menurut Hendarto yang ikut dalam simposium tadi, membuat orang mudah terkena gangguan pendengaran. Dentam musik di lantai disko yang mencapai 100 dB, suara walkman, dan hiruk-pikuk lalu lintas kota merupakan faktor penyebab kemunduran kepekaan telinga. Malah, dalam simposium itu ada seorang pembicara menyebutkan 70% disc jockey yang bekerja di diskotek, di Zurich, Swiss, positif mengalami gangguan pendengaran. Inggris termasuk negara yang paling peduli terhadap penderita gangguan pendengaran. Untuk maksud ini, lembaga seperti RNID bekerja sama dengan pemerintah dan parlemen. Di antara hasil kerja sama itu pada 1967 muncul "Hearing Aid Council Act" yang tujuannya menjamin penderita dari malapraktek penggunaan alat bantu pendengaran. Bahkan RNID tanggap dalam kasus-kasus PHK terhadap penderita gangguan pendengaran. Mereka turun tangan setiap ada PHK yang tidak fair. Men~ghadapi kasus-kasus itu, RNID berdiri di pihak penderita tunarungu berat atau ringan. "Kami berjuang agar klien kami tak kehilangan haknya," ujar Whitlam. Dua bulan lalu RNID memprakarsai kontrak penggunaan komunikasi buat penderita tunarungu. Jalur komunikasi itu memanfaatkan saluran telepon biasa. Cara kerjanya melewati biro layanan khusus yang menyajikan hasil percakapan itu dalam bentuk teks kepada penderita tunarungu. Nilai kontraknya sekitar Rp 17,5 milyar. Biro jasa tersebut beroperasi 24 jam sehari, selama 2 sampai 3 tahun. Dalam musim semi 1991 jaringan komunikasi tunarungu itu akan dioperasikan. Dalam pada itu, penderita gangguan pendengaran di Indonesia belum seberuntung rekannya di Inggris. Apalagi lembaga semacam RNID belum ada. Dan gangguan pendengaran di negeri ini, menurut dr. Hadi Koesnan, ahli THT dari RS#D Gatot Subroto Jakarta, masih kurang mengundang perhatian masyarakat. "Mungkin, secara fisik penderita tunarungu tak mendatangkan rasa iba sebagaimana penderita cacat fisik lainnya," ujar Hadi Koesnan, di sela kemeriahan festival Erlangen tadi. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini