Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Pendek itu ideal

Pemain sepak bola untuk masa datang adalah mereka yang memiliki tinggi badan pendek sektiar 160 cm. mereka bergerak lebih lincah, mengontrol bola lebih baik, karena titik pusat gravitasi lebih rendah.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPAK bola di Indonesia akan makin semarak jika dilihat dari banyaknya pertandingan. Itu kalau diperbandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kompetisi Galatama, misalnya. Jika putaran ke-9 -- yang berakhir April nanti -- hanya diikuti 18 klub, di putaran ke-10 akan bertambah paling tidak 10 klub. Sampai pekan lalu, sudah 5 klub -- dari 15 klub yang berminat -- yang positif akan bergabung ke Galatama. Sebagian pendatang baru Galatama dimiliki produsen rokok. Yaitu, Persatuan Sepak bola (PS) Bentoel Malang, PS Gudang Garam Kediri, PS Sampoerna Surabaya, dan PS Djarum Kudus. Dua klub terakhir itu memang belum menyatakan kesediaannya secara pasti. Keduanya masih mengambil ancang-ancang. Di luar itu, akan ada PS Pupuk Iskandar Muda, PS Mahakam Putra, PS Bogor Jaya, dan PS Putra Gelora yang sudah siap tempur. Itu baru Galatama. Perserikatan akan melaksanakan kompetisi secara teratur dan saat ini klub yang membawa bendera daerah itu sudah mengambil ancang-ancang untuk kejuaraan divisi utama. Yang menjadi pertanyaan klasik: akankah jumlah pertandingan yang meningkat juga menaikkan mutu? Akankah muncul bintang lapangan yang bisa mengangkat prestasi sepak bola Indonesia, minimal di tingkat Asia? Sulit dijawab. Selama ini pelatih sepak bola di Indonesia masih meraba-raba, sistem atau pola permainan bagaimana yang cocok bagi pemain yang rata-rata pendek itu. Rata-rata pemain Indonesia memiliki tinggi badan sekitar 160-an cm. Dan banyak pelatih di sini yang percaya bahwa pendeknya tubuh pemain sepak bola sebagai sebuah "cacat". Mereka lebih senang kalau pemain itu jangkung. Sebab, pemain jangkung akan memenangkan duel udara, dan memiliki langkah kaki lebih panjang untuk mengejar bola. Bintang sepak bola saat ini, Ruud Gullit, dijadikan pembenaran. Kebetulan Gullit jangkung. Pendapat bahwa pendek itu cacat dan jangkung itu ideal ternyata dibantah seorang pelatih kondang. Dia adalah Tomislav Ivic, orang Yugoslavia yang pernah melatih banyak klub tenar. Di tahun 1970-an ia mendampingi tim Ayax, Belanda. Kemudian melatih klub Porto, Portugal -- klub yang namanya melejit setelah memenangkan kejuaraan dunia paling bergengsi, Piala Toyota di Tokyo, 1987. Kini Ivic melatih klub anggota divisi utama Prancis, Paris Saint Germain. Berbicara di sebuah kursus buat para pelatih di Prancis, bulan lalu, Ivic mengatakan bahwa sebentar lagi pemain ideal -- terutama untuk pertahanan -- akan hanya yang bertinggi 160-an sentimeter. Sejumlah alasan dikemukakannya. Mereka -- para pemain pendek itu -- bergerak lebih lincah. Mereka mengontrol bola lebih baik lantaran titik pusat gravitasi pada tubuhnya berada pada posisi lebih rendah. Pelan-pelan dan bertahap, menurut Ivic, pemain yang terseleksi hanya yang berukuran tubuh pendek. Figur yang memiliki kecepatan dan kekuatan luar biasa, seperti Maradona, adalah sebuah contoh. Figur seperti itulah pemain ideal persepakbolaan modern. Apa yang dikatakan Tomislav Ivic sesungguhnya menjadi kenyataan dalam sejarah sepak bola. Di sini, orang mengenal nama Sutjipto Soentoro -- yang dijuluki Si Gareng -- sebagai salah satu pemain pendek yang juga paling lihai yang pernah dilahirkan Indonesia. Selain itu masih tercatat seabrek nama lain yang membuat orang "bertubuh kurang ukuran" tak harus merasa rendah diri: Sinyo Aliandu, Abdul Kadir, Waskito, Iswadi Idris. Masih kurang puas karena jago-jago itu hanya berkelas Indonesia, yang sepak bolanya tak berprestasi apa-apa di tingkat dunia? Ini jago-jago dunia itu. Ardilles, gelandang penyerang kesebelasan Argentina, juga bertubuh pendek. Si "sepatu emas" Kevin Keegan dari Inggris, juga memberi bukti bahwa pemain pendeklah yang ideal, dengan merebut status "pemain terbaik Eropa". Satu lagi adalah bintang Brazil sekarang, Romario Faria. Romario -- pencetak gol terbanyak dalam Olimpiade Seoul tahun lalu -- kini diambil oleh klub elite PSV-Eindhoven yang ditinggalkan Ruud Gullit. Sepak bola dunia baru benar-benar terpukau pada pemain pendek setelah Diego Maradona muncul. Ketika itu Maradona menulangpunggungi kesebelasan yunior Argentina menjuarai Piala Coca-Cola di Tokyo, 1979, setelah antara lain menghajar Indonesia 5-0. Sejak itu jadilah Maradona bintang sepak bola yang paling cemerlang sepeninggal Pele. Kegesitan Maradona, gerakannya yang eksplosif, menjadikan kakinya kaki yang paling diincar lawan. Ia mengantarkan negerinya menjadi juara dunia. Lalu Maradona pun ditransfer ke klub Napoli, Italia, dengan rekor bayaran tertinggi -- sebelum dipecahkan Ruud Clullit dan kemudian Ronald Koeman. Tampaknya persaingan antarpemain bola, seperti juga dalam bidang apa pun, akan semakin seru di masa mendatang. Di Argentina, kapasitas fisik -- baik postur maupun stamina -- ditelaah sungguh-sungguh. Diduga irama permainan bakal semakin cepat. Menurut Carlos Bilardo, pelatih tim nasional Argentina, tuntutan untuk menjadi pemain, lebih tinggi dari tahun ke tahun. "Pemain yang cuma bisa menjadi penyerang tak akan terpakai. Sepak bola masa datang membutuhkan pemain yang mampu menyerang dan bertahan. Bisa menjelajahi seluruh lapangan dengan stamina stabil," kata Bilardo. Pelatih lain, Juan Carlos Lorenzo, juga amat menekankan soal fisik buat permainan sepak bola masa depan. "Kelak benturan tubuh akan lebih sering terjadi. Karena itu, setiap pemain harus bertubuh kekar," kata Lorenzo. Postur Maradona yang pendek membuat ia tampak kekar dan memenuhi persyaratan itu. Jadi, Lorenzo mendukung Ivic. Memang belum dikaji secara mendalam, sejauh mana analisa Ivic itu benar. Untuk sementara anggap saja itu sebagai hiburan, setidak-tidaknya tidak menciutkan nyali pemain sepak bola Indonesia yang umumnya tidak jangkung. Juga masukan berharga untuk pelatih kita, ya, kan?Zaim Uchrowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum