ACEH dikenal dengan sebutan yang khas: Serambi Mekah. Sekarang di sana muncul Serambi Indonesia, koran pagi yang edisi perdananya akan meluncur dari Banda Aceh, 19 Maret mendatang. Nomor perkenalan -- memakai nama lama Mimbar Swadaya (MS) -- sudah beredar, Sabtu lalu. Dengan slogan "Dari Aceh Untuk Indonesia", Serambi Indonesia (SI) berusaha menekankan cirinya sebagai koran orang Aceh. Ini penting. Sebab, kalau panjang umur, Insya'allah, SI akan menjadi harian pertama yang terbit secara teratur di Tanah Rencong. Dulu, di provinsi ini ada mingguan: Peristiwa dan Atjeh Post. Pada 1967 muncul mingguan Mimbar Swadaya. Ketiganya bagai kerakap saja, hidup enggan mati tak mau. Peristiwa dan Atjeh Post bahkan sudah raib beberapa bulan terakhir, sedangkan oplah MS tak pernah beranjak dari 5 ribu eksemplar. Akhirnya M. Nourhalidyn, pemilik MS, menawarkan surat kabarnya kepada beberapa pemilik modal. Setelah negosiasi dengan PT Pupuk Iskandar Muda gagal, MS akhirnya berjodoh dengan PT Gramedia. Penerbit harian Kompas itu setuju memberikan bantuan teknik dan manajemen. Di samping gedung dan peralatan pracetak, dua unit mesin percetakan juga sudah dipasang. Dan pada 6 Maret 1989, secara resmi nama Mimbar Swadaya dalam SIUPP diubah menjadi Serambi Indonesia, terbit tujuh kali seminggu. Penerbitnya adalah PT Aceh Media Grafika, yang sahamnya dimiliki oleh Yayasan Mimbar Swadaya (35%), PT Gramedia (35%), dan PT Karya Muda Grafika (10%.). Sisanya, dua puluh persen saham dibagikan kepada karyawan lewat koperasi karyawan. SI merekrut 23 wartawan, sepuluh di antaranya berstatus sarjana penuh. Mereka bergaji Rp 175 ribu sebulan -- sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan gaji wartawan di Medan. Kompas sendiri memperbantukan tujuh wartawannya, termasuk Sjamsul Kahar -- bekas koresponden Kompas di Aceh -- yang diangkat sebagai Pemimpin Redaksi. Sebagai koran daerah, Sjamsul Kahar masih melihat pasar untuk penduduk Aceh yang 2 juta itu. "Kami akan menyajikan berita dari Aceh yang tidak disajikan koran lain. Orang Aceh pasti akan mencarinya," ujar Kahar optimistis. Selain itu, SI tak akan bersaing dengan Kompas, bapak angkatnya yang menyajikan berita nasional. Setelah terbit rutin, SI akan mencetak 20 ribu eksemplar, dan sebagai koran populer yang serius, mereka sadar betul akan peranan pemerintah sebagai sumber informasi. "Kita akan menunjang program pemerintah di daerah," kata Kahar lagi, yang rupanya tak berniat menampilkan berita-berita keras. Tapi Subagio, Kepala Perwakilan Harian Waspada di Aceh, justru berpendapat lain. Katanya, orang Aceh suka berita-berita keras. "Terutama pengungkapan kasus terselubung secara gamblang," kata Subagio. Dengan oplah sekitar 40 ribu, Waspada terbitan Medan yang sudah hadir sejak 1947, memasarkan 15 ribu korannya di Aceh. Dan Subagio tak khawatir bersaing lawan SI. "Kami siap bersaing secara sehat. Lihatlah nanti, apakah goyang Solo itu cocok untuk Aceh," kata Anwar Bey, wartawan Waspada, menyindir SI. Tampaknya, pasar Aceh akan diperebutkan oleh Waspada, Analisa, Garuda, dan Sinar Indonesia Baru -- semua dari Medan, ditambah koran dari Jakarta dan SI. Tapi, koran dari luar Aceh itu paling cepat beredar pukul 14.00, hingga 8 jam di pagi dan siang hari, bisa dimonopoli SI. Resep mengisi kekosongan berita di pagi hari, terbukti sukses di Palembang. Harian Sriwijaya Post (SP) yang juga dikelola Kompas sejak Mei 1988, kini sudah mencatat oplah 32 ribu eksemplar. Ketika masih bernama Harian Radar Selatan, koran ini megap-megap dengan oplah 5 ribu. Kini, SP sudah merambah pasar Lampung, Jambi, dan Bengkulu. Sukses itu tentu tak lepas dari sentuhan tangan Kompas. Koran terbesar Indonesia itu, terbukti jeli melihat pasar daerah, tanpa mengganggu pasarnya sendiri di sana. Menurut Valens Doy -- wartawan olah raga Kompas, yang kini Pemimpin Redaksi SP -- SP dan SI sama-sama menganut paham koran daerah. Misinya: agar pembaca di daerah tak cuma berkiblat ke berita Ibu Kota, atau koran daerah lain yang mengutamakan berita nasional. Valens Doy mengungkapkan, sampai kini Kompas kewalahan, karena begitu banyak koran daerah yang minta bantuan, padahal tak semua bisa dipenuhi. "Bisa-bisa kita dituduh ekspansi ke daerah," ujar Valens. Maka, kalau si anak angkat sudah berada di titik impas dalam 4-5 tahun, PT Gramedia akan menjual sahamnya secara bertahap. Kompas agaknya tak akan membiarkan kasus Jawa Timur berulang, hanya karena di sana harian Jawa Pos (JP) muncul sebagai koran nasional. Sesudah berjuang tujuh tahun, tahun ini JP bisa mematok oplah 280 ribu, antara lain berkat orientasi nasional itu. Dan Pemimpin Redaksi JP, Dahlan Iskan, memang berkeyakinan bahwa koran daerah kurang bergengsi. Maka, tanpa malu-malu JP berorientasi nasional, tanpa melupakan porsi berita daerah. Di daerah, dengan kiat ini, JP berani bersaing dengan koran Jakarta. Di Ja-Teng, JP laku 16 ribu eks, di Kalimantan 18 ribu eks. Tapi, JP agak payah di Jakarta kalah cepat dengan koran setempat. Suara Merdeka (SM) terbitan Semarang, juga punya kiat sama dengan JP. Terbit sejak 1960, SM yang koran daerah tapi mengibarkan bendera nasional itu, melambung oplahnya sampai 155 ribu sehari. "Kalau dijejali berita daerah, koran akan mati," ujar Soewarno, bekas Pemimpin Redaksi SM yang pernah membawahkan lebih dari 100 karyawan itu. Lain lagi Pikiran Rakyat (PR) terbitan Bandung yang kawakan itu. Setelah memproklamasikan diri sebagai koran nasional, survei pembaca tahun 1982-1983 malah menyimpulkan PR kehilangan identitas. Mau tak mau, ciri daerah kembali ditonjolkan. Porsi berita daerah di PR kini mencapai 70%, sisanya berita nasional dan lual negeri. Dengan jurus itu oplah PR bertahan 135 ribu, dengan pemasukan sekitar Rp 50 juta sehari. Dan Pemimpin Redaksi Atang Ruswita tak perlu pusing lagi soal identitas.Toriq Hadad, Mukhlizardy Mukhtar, Bersihar Lubis, Wahyu Muryadi, Hasan Syukur, Nanik Ismiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini