Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kredit murah yang tidak murah

Tunggakan kik, kmkp & kredit murah lainnya semakin meningkat. justru kredit yang tidak disubsidi, seperti kupedes, tidak macet. yang diperlukan pengusaha lemah bukan kredit subsidi, tapi tersedianya dana.

18 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDUL Karim, Ketua Koperasi Pedagang di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bulan Maret ini tengah menantikan bantuan pemerintah sebesar Rp 150 juta. Januari lalu, koperasi yang dipimpinnya meminta KIK (Kredit Investasi Kecil) Rp 110 juta dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) Rp 40 juta, ke satu bank pemerintah. KIK itu akan dipakai membeli kios, sedangkan KMKP sebagai modal usaha bagi 135 anggota koperasi. Karim optimistis, usulan proyek itu akan dikabulkan pemerintah. "Biasanya cuma tiga bulan," katanya. Bisa dipastikan, dewasa ini masih banyak pengusaha golongan ekonomi lemah alias "pegel" yang masih mengharapkan kredit-kredit berbunga 12% itu. "Kalau pinjam Rp 1 juta, tiap bulan hanya membayar bunga 1% atau Rp 10.000," ujar Karim. Ia sendiri pernah mngambil KIK Rp 15 juta dan KMKP Rp 12 juta dari BDN -- keduanya dimanfaatkan untuk membeli kios 8 m2 di Pasar Minggu. Tapi Gubernur Bank Sentral Adrianus Mooy mengungkapkan pekan silam, kredit-kredit murah itu hendak ditinjau kembali. "Dewasa ini pemerintah tengah menyusun suatu paket baru untuk mengganti sistem kredit berprioritas tinggi itu," katanya. Hal yang sama sudah dibicarakan Gubernur Mooy dan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin di DPR, sejak akhir tahun silam. Pembicaraan itu berpangkal dari pertanyaan DPR tentang mengapa peran kredit seperti KIK, KMKP, KCK (Kredit Candak Kulak), KUT (Kredit Usaha Tani) menurun dibandingkan kredit umum. Buktinya, porsi kredit untuk koperasi dan pengusaha kecil hanya 24,24% dari total kredit yang disalurkan pada tahun anggaran 1983-1984. Sedangkan tahun angaran 1987-1988, hanya 16,35% dari total kredit perbankan (Rp 29.400 milyar). Ini ditanggapi Adrianus Mooy dengan keterangan bahwa mungkin sebagian pengusaha ekonomi lemah telah naik kelas ke golongan menengah. "Indikasi ini tampak dari laporan cabang-cabang Bank Indonesia di Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Denpasar, dan Palembang," kata Mooy. Menteri Keuangan Sumarlin, dalam omong-omong di saat Kejuaraan Tenis HUT TEMPO pekan lalu, mengatakan bahwa KIK dan KMKP bisa murah karena disubsidi pemerintah 60-70%. Bank-bank penyalur kredit itu mendapatkan pinjaman berbunga murah (3-6% setahun), kemudian menambah 30-60% dana dari masyarakat (tabungan, giro, deposito), sehingga biaya dana itu menjadi sekitar 12%. Tapi dana yang dari BI tadi diambil dari pencetakan rupiah, sehingga bersifat inflatoar. Padahal, "Inflasi dalam Pelita V kan hendak ditekan menjadi rata-rata 5% setahun," kata Menteri Sumarlin. Diakuinya, tunggakan KIK, KMKP, dan kredit murah lainnya semakin meningkat. "Justru kredit yang tak diberikan subsidi, seperti Kupedes (Kredit Umum Pedesaan) yang berbunga 1%, nggak macet," kata Sumarlin. Dari sini bisa disimpulkan, yang diperlukan kaum "pegel" bukan kredit yang disubsidi, tapi tersedianya dana. Dan jangan kuatir, biarpun dibikinkan paket baru, Sumarlin sudah mengatakan, jumlah subsidi pemerintah akan dipertahankan. Hanya bank-bank harus mengawinkan subsidi itu dengan dana yang dihimpun dari masyarakat. "Dengan demikian, suku bunganya akan lebih tinggi dari 12%, tapi lebih rendah dari suku bunga deposito," kata Sumarlin. "Saya kira, kegiatan BRI tak akan berkurang," kata Sugianto, Direktur Bidang Kredit Kecil, Pangan, dan Koperasi di Banks Rakyat Indonesia. Sekitar 1/3 dari total kredit yang diberikan BRI adalah kredit-kredit berprioritas tinggi itu. Jika suku bunga KIK dan KMKP akan naik, hanya pengusaha berpikiran matang yang akan memintanya," kata Sugianto. Yang bisa membayar kredit tak disubsidi biasanya perusahaan yang sehat. Lihat, Kupedes yang bisa disalurkan sampai Rp 2.500 milyar, sejak awal 1980-an. Sedangkan Bimas, yang dioperasikan selama 14 tahun, hanya bisa disalurkan Rp 752 milyar. Anwar Nasution, pakar ekonomi UI, berpendapat bahwa rencana penghapusan kredit murah itu, "sudah sangat terlambat." Ia bertanya, "Betulkah nasabah hanya membayar bunga 12%? Mereka biasanya harus mengeluarkan sogok, menjamu petugas bank yang datang mengontrol, kasih oleh-oleh, dan sebagainya." Juga bulan rahasia lagi, bila banyak kredit yang disalurkan BRI ke pedesaan, tak jatuh ke tangan orang-orang kecil yang tak bisa memberikan jaminan. "Kredit itu diberikan kepada orang-orang kaya, guna membayar Ipeda. Jelas kan, tak produktif," lanjut Anwar. Satu hal lagi, bahwa KIK untuk para "pegel" sebenarnya hanya dinikmati para pengusaha ekonomi kuat -- termasuk developer. Contohnya, sejumlah pedagang kecil yang tengah mengharapkan kios di Pasar Kembang (d/h Pasar Anyar), Bogor. Februari lalu mereka melaporkan kepada 9 pejabat pemerintah (termasuk Menteri Sumarlin dan Gubernur Mooy) bahwa developer menjual kios Pasar Kembang dengan harga seenaknya. Toh KIK sudah disiapkan BPI dan BCD. Padahal, cicilannya bisa lebih besar dari penghasilan. Jika kredit itu macet, siapa lagi kalau bukan negara yang dirugikan.Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum