BUAT pria masa kini, perkawinan bukan lagi mahligai kebahagiaan. Persekutuan resmi lelaki dan wanita itu, menurut Jayasuprana, lebih cocok disebutkan gubuk derita. "Karena itu saya tidak heran kalau semakin banyak saja pria yang memilih tidak kawin," kata humoris itu, memyimpulkan ceramahnya pada seminar sehari "Pria dan Perkawinan Masa Kini" di Semarang, Sabtu baru lalu. Menurut Jayasuprana, pandangan stereotip di masa kini sudah sangat menyudutkan pria. Lelaki, masih saja diangap penindas, sedangkan wanita tetap dianggap penyabar dan serba nrimo, seperti di masa lalu. Padahal zaman sudah berubah. Akibatnya, di hadapan masyarakat, pria harus mati-matian berjuang menghapus citra, yang sebenarnya sudah kadaluwarsa itu. Sementara itu, di rumah, ia masih harus bertempur melawan istrinya, yang diam-diam memanfaatkan pandangan-pandangan stereotip itu. Menilai keadaan sekarang, humoris yang juga musikus dan Presdir Jamu Jago itu, tampaknya menyesalkan berbagai isu yang menyerang pria. Sekadar contoh, kesimpulan yang menyebutkan dua dari tiga pria melakukan penyelewengan seks. Menurut penilaiannya, kontrol eksternal semacam ini, buntutnya cuma bikin susah jalannya lembaga perkawinan. Perkawinan - -yang sebenarnya sudah ramai dengan berbagai masalah internal -- bisa runyam. Kendati dikemukakan dengan nada bergurau, masalah yang dilontarkan Jayasuprana sesungguhnya menunjukkan realita aktual. Beberapa hasil penelitian mutakhir yang dilaporkan Journal of Consulting and Clinical Psychology edisi Februari lalu, sampai pada kesimpulan yang kurang lebih sama. Dr. Timothy Smith menemukan, pertengkaran suami istri sangat dipengaruhi "Sikap dan pandangan suami atau istri tentang dunia di luar perkawinan". Dr. Smith yang adalah peneliti dari Universitas Utah, AS, khusus mempelajari pandangan stereotip itu. Misalnya sikap sinis istri pada masyarakat, yang dianggapnya didominasi kaum pria. Atau pandangan serba negatif suami, yang punya sifat pesimistis. "Semakin besar sikap bermusuhan semacam ini, semakin mudah picu pertengkaran dipetik," kata Smith di jurnal psikologi, yang terbit di Amerika Serikat itu. Adu argumentasi tentang suatu dilema, malah bisa sangat merusakkan perkawinan. Ini ditemukan oleh John Gottman, peneliti dari Universitas Washington, Seattle. Misalnya perdebatan yang membuat salah satu pihak akhirnya bersikap defensif. Juga pertengkaran karena salah satu pihak merendahkan, menghina, dan salah menafsirkan pihak lainnya karena generalisasi. "Pertengkaran semacam ini, sekalipun pun jarang, terbukti destruktif," kata Gottman. Namun para peneliti di bidang psikologi itu masih jauh dari anjuran yang dikampanyekan Jaya Suprana, yakni supaya pria tidak kawin saja. Pertempuran dalam rumah tangga, menurut Gottman, tidak selalu membuat perkawinan tidak bahagia. Melihat hasil penelitiannya, Gottman kaget. Ia menemukan pasangan yang sering bertengkar, ternyata merasa lebih berbahagia daripada pasangan yang tidak bertengkar sama sekali. "Saya ragu dan mengulang penelitian ini, karena menyangka ada kesalahan teknis," kata psikolog itu. Ternyata ia tidak membuat kesalahan. Menurut Gottman, pertengkaran suami istri muncul pada fase kedua dari perkawinan, ketika masa toleran habis, dan masing-masing mitra mulai memunculkan perbedaan. Memang ada pasangan yang tidak pernah bertengkar. "Tapi latar belakang mereka menunjukkan bahwa pasangan itu secara kebetulan punya pendapat sama tentang hampir semua hal," katanya. "Jadi, memang tidak ada yang perlu dipertengkarkan." Dari banyak kasus pertempuran suami istri, Gottman menemukan adanya pertengkaran yang tergolong tidak destruktif. Pertengkaran jenis ini justru meningkatkan kebahagiaan. "Selama ini orang cenderung menilai pertengkaran secara terlalu umum," kata psikolog itu. Apa pun bentuknya, perkelahian suami istri selalu dianggap membahayakan perkawinan. Karena itu, tidak ada konsultan perkawinan yang menganjurkan pertengkaran. Mereka justru selalu mencoba mencari titik temu. Namun dalam penelitian Gottman ditemukan, bahwa pasangan yang bersepakat untuk menghindari pertempuran, justru tidak bahagia. Yang kemudian dipertanyakan: pertengkaran macam apakah yang tidak destruktif? "Pertengkaran yang bisa menggali perbedaan suami istri sebanyak-banyaknya," kata Richmond Simon. Psikolog yang menjadi konsultan perkawinan ini sudah sejak lama mengajari bagaimana berkelahi, demi memelihara perkawinan. "Yang perlu dijaga adalah, jangan sampai jatuh ke dilema, dan bebas dari argumentasi yang menuduh maupun yang membela diri," katanya. "Pertempuran itu harus panas dan emosional, tapi tidak menimbulkan rasa sedih." Simon mengakui, adalah tidak mudah membangkitkan kerberanian bertengkar di antara suami istri. Dari praktek kerja selama bertahun-tahun diketahuinya: bahwa pertengkaran itu sebaiknya dimulai para istri. "Kemarahan kaum istri adalah sumber potensial." Mereka, menurut Simon, lebih bisa mengekspresikan rasa amarahnya. Memang, emosi wanita biasanya cepat mengundang perlawanan, namun pertengkaran yang terjadi, tidak sampai meruncing. Sebaliknya, bila pertengkaran dirintis suami, banyak hal menjadi sangat serius. Pria umumnya menyangkut masalah prinsip, karena itu ujungnya sering fatal. Seperti, perceraian atau tidak kawin lagi. "Pertengkaran tidak membuat seorang suami atau istri menerima sesuatu pendapat yang berbeda," kata psikiater Aaron Beck dalam bukunya Love is Not Enough. "Tapi, membuat mereka mengetahuinya." Waktulah yang akhirnya menempa mereka, untuk bisa menerima adanya perbedaan. Maka dalam perkawinan, pertanyaan fight or flight tidak harus dijawab dengan: lebih baik minggat. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini