BAGI atlet, mencapai kondisi puncak (peak performance) misalnya untuk kesiapan sebuah pertandingan, bukanlah pekerjaan mudah. Prestasi optimal bukan hanya ditentukan oleh pelatih maupun program latihan yang baik. Tetapi faktor psikologi ternyata juga berperanan penting. Contohnya, petenis muda AS, Paul Annacone, yang sebelumnya hanya menempati urutan ke-247 dunia, mampu menempati urutan ke-12 setelah mendapat terapi psikologi pada 1985. Dan kasus-kasus semacam itulah yang menjadi topik pembahasan dalam seminar 3 hari, sejak Jumat pekan lalu, di Novotel Orchid Inn, Singapura. Seminar yang diselenggarakan untuk pertama kalinya itu diprakarsai oleh suatu perusahaan terkemuka dalam bidang perjalanan dan penyelenggara konperensi World Express. Dalam acara, yang dihadiri oleh utusan dari negara-negara ASEAN, tampil pembicara tunggal, Dr. Noel L. Blundell, dari Australia, dengan tema Psychological Preparation for Peak Sports Performance. Blundell, yang sehari-harinya menjabat direktur "High Five" Sport Psychology Consultants, mengemukakan perlunya pendekatan secara psikologis pada seorang atlet. "Agar atlet bisa berkonsentrasi penuh ke pertandingan yang dihadapi serta bisa tampil pada kondisi puncak di setiap pertandingan," ujar J.A.A. Rumeser, psikolog anggota Pusat Ilmu Olah Raga (PIO) KONI yang mewakili KONI dalam seminar itu, kepada TEMPO. Dalam hal ini, Blundell tidak menyinggung masalah persiapan fisik maupun teknik seorang atlet. Melainkan lebih banyak mempermasalahkan bagaimana atlet bisa mengurangi stres dalam menghadapi setiap pertandingan. Menurut Blundell, dasar-dasar untuk mengatasi itu semua adalah menghilangkan semua pikiran yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertandingan. Ada tiga prinsip untuk mengatasinya. Pertama, melakukan relaksasi, misalnya dengan yoga, meditasi, maupun teknik pernapasan. "Jika atlet sudah terbiasa melakukannya, pasti segala ketegangan yang dihadapinya akan mudah diatasi," kata psikolog lulusan Universitas Tennessee, AS, ini. Makin sering melakukannya, berarti atlet makin terbiasa memonitor gejala tubuh mereka," tambah Blundell. Dan banyak atlet top dunia di AS yang melakukan hal ini, seperti atlet loncat tinggi Dwight Stones dan pegolf dunia Jack Nichlaus. Kedua, melakukan centering -- memusatkan pikiran terhadap gerakan lawan sehingga lebih mudah dalam mengantisipasi pukulannya. Ketiga, melakukan visualisasi, bila perlu pandangan hanya tertuju ke bidang sasaran, seolah-olah sasaran tepat berada di depan matanya," tutur Blundell. Contohnya, atlet panahan pemegang rekor dunia, Darryl Pace, hanya memerlukan waktu 1,5 detik dalam proses melepaskan anak panah dengan gerakan natural. Menurut Blundell, dalam melakukan gerakan, baik itu ayunan maupun pukulan, jangan sekali-kali memikirkan teknik yang sudah dipelajari, tetapi biarkan naluri Anda berjalan secara wajar. Paling tidak, kata Blundell, dibutuhkan waktu 3-12 bulan untuk membiasakan melakukan hal tersebut, dan itu semua bergantung kepada individu masing-masing. Bagaimana dengan di Indonesia? Mempergunakan pendekatan psikologi secara langsung, baru terbatas pada atletik, bulu tangkis, dan sepak bola. Mengapa? "Pelatih kita tak berani mengambil risiko dalam menerapkan ilmu yang diperolehnya selama belajar di luar negeri," ujar Rumeser, psikolog yang juga menangani bulu tangkis dan sepak bola. Mereka hanya terpaku pada program latihan yang berhubungan dengan fisik. Hal itu juga dibenarkan oleh Tan Yoe Hok, yang juga hadir dalam seminar ini mewakili PB Jarum, Jakarta. "Saya yakin, kalau para pelatih diberi bekal semacam ini, mereka pasti akan mampu membuat program latihan sesuai dengan yang dibutuhkan atlet asuhannya. Sehingga kasus King dalam perebutan Piala Thomas yang lalu bisa dideteksi sedini mungkin," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini