SEORANG lagi tokoh pergerakan nasional meninggalkan kita. Lalu, sejumlah komentar bermunculan. Keteguhan pendiriannya dikagumi. Kejujurannya dipuji. Kesederhanaan sikap dan gaya hidupnya disoroti: Itulah Ignasius Jusup Kasimo, yang meninggal dunia Jumat pagi pekan lalu di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Pada saat-saat terakhirnya itu, ia didampingi beberapa tokoh Katolik, seperti Frans Seda, F.S. Wignjosoemarsono, Ignatius Pranoto, dan segenap sanak keluarga. Kasimo meninggal dalam usia tua, 86 tahun, meninggalkan seorang istri berusia 81 tahun yang kini terbaring sakit, empat anak, dan tujuh cucu. Banyaknya pejabat melayat di rumah duka yang sederhana di kawasan Menteng, lalu umat Katolik yang memenuhi Gereja Katedral, ketika misa requiem diselenggarakan, dan membanjirnya manusia pada upacara pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata, setidaknya menjadi bukti bagaimana Kasimo mendapat tempat di dalam perjalanan bangsa ini. "Kepergian beliau merupakan kehilangan sekaligus keharuan yang mendalam bagi kita semua," kata Ketua DPA M. Panggabean, sebagai inspektur upacara di pemakaman. Nada serupa juga terdengar pada saat ribuan umat Katolik berjejal di Gereja Katedral, ketika dengan suara lantang Uskup Leo Soekoto menyebut, Kasimo sebagai anak manusia yang besar dan menjadi kebanggaan gereja. "Maka, yang harus bercucuran pertama-tama bukan air mata, tetapi rasa hormat dan syukur," katanya. "Ia seratus persen putra gereja dan seratus persen putra bangsa Indonesia." Kasimo lahir di Yogyakarta pada 10 April 1900. Anak keempat dari sebelas orang putra pasangan Ronosentiko dan Dalikem. Ayahnya, prajurit Keraton Yogyakarta, dan ibunya membuka usaha batik kecil-kecilan. Di lingkungan keluarga sederhana itulah Kasimo kecil tumbuh. Ia harus bangun pukul 5 subuh, lalu membuatkan teh kental manis untuk ayahnya, setelah itu membersihkan rumah, menimba air, dan kemudian ke pasar bersama ibunya. Kasimo memasuki sekolah bumiputra pada usia delapan tahun di Kampung Gading, yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Ketika duduk di kelas empat, ia bertemu tuan Belanda berpakaian jas pantalon, dan mengenakan topi helm putih. Yang membedakan Belanda yang satu ini dengan Belanda-Belanda lain adalah bahwa Kasimo berhadapan dengan Belanda yang halus tutur bahasanya, dan sangat fasih berbahasa Jawa. Belanda itu adalah Romo Frans van Lith S.J., kepala sekolah guru di Muntilan, yang memang sedang mencari murid. Kasimo terbujuk, dan setelah dirundingkan dengan ayahnya, tak ada seorang pun yang menghalangi niatnya bersekolah di Muntilan. Juga tak ada keberatan bahwa sekolah guru itu sekolah Katolik. Belum genap setahun Kasimo di lingkungan sekolah guru ini, ia sudah menghadap Romo van Lith, minta diberi pelajaran agama Katolik. Kasimo mengakui, tertariknya ia pada Katolik karena tingkah laku yang baik dan saleh dari murid-murid sekolah itu. Suasana inilah yang menggiring Kasimo mencoba mendapatkan pelajaran agama Katolik. Dan, selang beberapa bulan setelah itu, tepatnya pada Hari Paskah di bulan April 1913, Kasimo dipermandikan menjadi Katolik. Kemudian, dalam sejarah pergerakan di tanah air, Kasimo tak bisa dipisahkan dari Katolik. Ia mendirikan Partai Katolik untuk golongan Katolik Jawa, pada usia 23 tahun. Di kalangan orang Jawa, partai Kasimo ini dikenal dengan nama Pakempalan Politik Katolik Djai (PPKD). Baru tahun 1930, PPKD diluaskan hingga ke luar Jawa, dan menjadi PPKI (Persatuan Politik Katolik Indonesia). Setelah merdeka, PPKI melangsungkan kongres. Hasilnya, nama itu diganti menjadi Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI). Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia di Yogyakarta, Desember 1949, mengubah lagi nama PKRI menjadi Partai Katolik. Kasimo aktif terus sejak 1923, dan ia orang nomor satu di sana. Langkah politik Kasimo yang menunjukkan keteguhan pendiriannya dibuktikan ketika ia, sebagai Ketua Umum Partai Katolik, menolak konsepsi politik Presiden Soekarno, Februari 1957. Waktu itu, Presiden Soekarno melemparkan gagasan pembentukan "Kabinet Kaki Empat" yang berintikan partai-partai empat besar dalam Pemilu 1955, yakni Masyumi, NU, PNI, dan PKI. Hampir semua partai menerima konsepsi itu, kecuali Masyumi dan Partai Katolik. Di sinilah teruji kepemimpinan Kasimo. Ia bukan saja menghadapi Presiden Soekarno, tetapi juga kecaman dari partainya sendiri. Para pengecam Kasimo berpendapat, Partai Katolik hanya bisa untung kalau sejalan dengan pemerintah. Kongres Partai Katolik di Solo, 1958, ibarat mengadili Kasimo. Toh, dengan senyumnya yang khas itu, Kasimo memadamkan gejolak di dalam. Ia tetap jadi ketua umum partai. Baru dua tahun kemudian, kepemimpinan itu diserahkan kepada pemuda asal Flores, Frans Seda. Di luar partai, banyak jabatan yang pernah dipegang Kasimo. Sebagai menteri di masa pemerintahan Presiden Soekarno, dan sebagai anggota DPA di masa Presiden Soeharto. Ia, misalnya, dikenal sebagai Bapak Tebu Rakyat karena memperkenalkan sistem TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi). Adalah Pak Harto sendiri, dalam kesempatan melayat di rumah duka, mengakui keberhasilan Kasimo dalam "politik tebu" ini. Yang juga penting dicatat adalah duduknya Kasimo sebagai anggota Komisi Empat ketika pemerintah bertekad lebih gencar memberantas korupsi pada 1970. Tim ini dipimpin Wilopo, dan anggota yang lain adalah H. Anwar Tjokroaminoto dan Prof. Ir. Johannes. Tugas Komisi Empat adalah menilai kebijaksanaan serta hasil-hasil pemberantasan korupsi yang dilakukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Bukan tidak ada hasilnya komisi ini. Sejumlah penyelewengan di berbagai instansi dapat diungkapkannya, antara lain bagaimana Pertamina "lalai" membayar pajak milyaran rupiah. Bahkan komisi ini berpendapat, saat itu tingkat korupsi sudah sangat gawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini