Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTUNG saja telepon seluler itu tidak hang. Lebih dari seratus pesan berebut masuk. Isinya apa lagi kalau bukan ucapan selamat. Tidak semuanya sempat dibalas. Bukannya sombong, apalagi jumawa, tapi kesibukan Rahmad Darmawan, si pemilik ponsel, memang luar biasa. Sesampai di Palembang, ibu kota Sumatera Selatan, Senin pekan lalu, dia langsung disergap pesta. Bersama timnya, Sriwijaya FC, dia diarak keliling kota. Yel-yel menyebut namanya diteriakkan ratusan kali.
Telepon selulernya pun tak henti berdering. Di mana saja, saat telepon itu sedang on, selalu menjerit minta dijawab. Termasuk saat Rahmad sedang asyik menyantap sup buntut di sebuah rumah makan di Palembang Square, Rabu pekan silam. Hari itu, dia bisa sedikit rileks. Meski telepon selulernya tetap menerima ucapan selamat, si pemilik telepon menjawab dengan kata yang sama: terima kasih.
Rahmad Darmawan, 42 tahun, sedang dibalut rahmat. Tangan dinginnya berhasil membawa Sriwijaya FC, klub asal Palembang, yang dipegangnya sejak musim kompetisi lalu, menjadi raja di sepak bola nasional. Setelah menyabet Copa Indonesia, Januari silam, Ahad pekan lalu tim asuhannya berhasil melindas PSMS Medan dalam final Liga Indonesia, turnamen sepak bola terlama dan terpanjang di dunia. ”Saya sangat puas dengan hasil ini,” katanya sambil mengguyur kerongkongannya dengan jus jeruk.
Sriwijaya memang mendaki terlalu tinggi. Pihak manajemen klub sebenarnya hanya menargetkan tim yang dulu bernama Persijatim itu bisa menclok di delapan besar. Itu sudah cukup. Mereka tahu diri untuk tidak menggantang angan menjadi juara. Sedangkan di ajang Copa Indonesia malah bebas target.
Ternyata semua target meleset. Bukan menyedihkan, melainkan mengejutkan dan menggembirakan. Posisi Sriwijaya tidak melorot, malah melejit. Di final liga, dalam kesenyapan pertandingan tanpa penonton—menyusul insiden di Senayan yang merenggut nyawa pendukung Persija—laskar Wong Kito menggenapkan gelar. Dua piala itu disandingkan Sriwijaya FC—prestasi yang baru terjadi dalam sejarah sejak bergulirnya Liga Indonesia 14 tahun silam.
Dengan hasil double winner, Rahmad hanya menganggap dirinya sedang beruntung. Menurut dia, sesuai dengan kondisi tim, sebenarnya dia baru berani menargetkan timnya menjadi juara pada tahun kedua masa kerjanya. Dua gelar ini memberikan motivasi lain. ”Di musim berikutnya, saya berorientasi mempertahankan gelar juara. Tim lain tentu berpikir keras sebelum bertanding melawan klub yang menjuarai dua kompetisi,” katanya.
Kepiawaiannya terletak dalam mengotak-atik tim bermain sesuai dengan kemauannya. Di tim inilah dia merasa hal itu terwujud dengan baik. Setiap pemain, menurut dia, bermain sesuai dengan konsep permainan yang ada di kepalanya. Hal yang sama dialaminya saat menangani Persipura hingga menjadi juara liga. ”Kami waktu itu juara karena permainan anak-anak Persipura luar biasa indah. Waktu itu, tim kami bagus sekali.”
RAHMAD Darmawan, sebelum sampai ke titik kejayaan, telah menempuh perjalanan panjang. Dulu, kapten Marinir ini adalah pemain sepak bola. Klub terakhirnya adalah Persija Jakarta. Setelah gantung sepatu, dengan bekal sarjana keguruan olahraga dari IKIP Jakarta, dia pindah haluan menjadi pelatih. Jabatan pertamanya adalah asisten Sutan Harhara di Persikota Tangerang.
Saat seniornya berhenti, Wali Kota Tangerang memintanya menjadi pelatih. Sungguh campur aduk perasaannya. Dia merasa belum siap, tapi menganggapnya sebagai kesempatan emas untuk memulai karier sebagai pelatih. Hasilnya, dalam dua pertandingan, mereka keok. Pendukung tim kecewa dan berunjuk rasa.
Langkah awal ini benar-benar membuatnya stres. Satu tahun yang mahal. ”Rambut saya rontok sampai habis,” katanya. Padahal, saat berlaga menjadi pemain, Rahmad selalu tampil dengan rambut panjang yang dikuncir atau digelung. Namun, lambat-laun, dia tune in. Empat musim di sana, klub itu berada di papan atas Liga Indonesia.
Lepas dari Tangerang, setelah mendapatkan sertifikat sebagai pelatih, dia terbang jauh hingga Jayapura. Dia melatih tim mutiara hitam, Persipura. Dan di luar dugaan, Persipura langsung menjadi juara Liga Indonesia dua tahun silam. Prestasi ini tak pelak melambungkan nama Rahmad. Banyak klub ngiler merekrutnya. Tapi dia memilih ”cinta pertamanya”, Persija—meski dia gagal membuat Tim Oranye ini berjaya.
Pamornya tak lantas meredup. Rahmad tetap menjadi perbincangan. Satu sebabnya, dia mendapatkan bayaran paling tinggi di antara pelatih lain. Kabarnya, nilai kontrak Rahmad untuk menukangi Persija Jakarta mencapai angka Rp 700 juta per tahun. Namun Rahmad berkelit. ”Pokoknya cukup menjanjikan. Jumlahnya lebih besar dari gaji seorang direktur bank,” ujarnya kepada Tempo.
Disebut-sebut sebagai pelatih paling mahal, Rahmad tak lantas mengubah penampilannya. Dia tetap bersahaja. Menurut Bariyadi, Manajer Sriwijaya FC, pelatihnya itu bukan tergolong orang yang banyak menuntut. Di Palembang, Rahmad hanya tinggal di mes dengan fasilitas sewajarnya. Dan menurut Rahmad, apa yang diberikan pihak klub tidak kurang, sudah sesuai dengan perjanjian. ”Mobil saya Avanza,” katanya. Asalkan bisa jalan dan tidak panas, bagi Rahmad sudah cukup. Padahal, selain gaji—yang pasti sudah besar—dia mendapatkan bonus saat timnya menang.
Lalu dibawa ke mana penghasilan yang dia peroleh selama ini? Rahmad memilih menginvestasikannya, sebagian dalam bentuk asuransi, sisanya berbentuk tanah di Lembang, Bandung. ”Tidak luas, kok,” ujarnya. Tanah itu dijadikan kebun. ”Saya berkebun sayur-mayur.” Semua itu merupakan bekalnya di hari tua.
Tak dinyana, justru kesederhanaan dan tangan dingin Rahmad berhasil menyebarkan kebanggaan pada warga Sumatera Selatan. Ratusan orang berkumpul di Tugu Prameswara, Jakabaring, menyambut arak-arakan mobil yang membawa para pemain dan dua piala kemenangan. Massa bukan hanya warga Palembang, tapi juga dari kabupaten yang ada di sekitar Palembang, seperti Ogan Ilir, Banyuasin, dan Prabumulih.
Kota pun dibekap kemacetan dan kegembiraan. Warga rela berkeringat berdesak-desakan demi menyaksikan langsung piala yang diarak dengan kendaraan off road. Di mobil itulah Rahmad Darmawan serta pemain seperti Charis Yulianto dan kiper Ferry Rotinsulu mendampingi dua piala tersebut. Dari air mukanya, Rahmad terlihat begitu bahagia.
Irfan Budiman, Arif Ardiansyah (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo