Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berselancar Memungut Sampah

18 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berjalan-jalan ke Bali kurang lengkap bila belum mampir di Pantai Kuta. Berjemur di pasir putih menjadi aktivitas favorit wisatawan mancanegara. Begitupun olahraga meniti ombak alias berselancar. Tak pelak, pantai yang terletak di pinggir selatan Denpasar menjadi aset utama pariwisata Bali.

Bagi warga desa adat Kuta, pantai dan pasar adalah satu-satunya aset yang tersisa. ”Hotel yang besar dan restoran milik investor dari luar,” kata I Gusti Ngurah Tresna, sesepuh desa adat yang menjadi Kepala Unit Pengelola Pantai Kuta.

Tresna mengaku, pantai Kuta sendiri baru mereka kuasai kembali pada akhir 1999. Maklum, sebelumnya pantai ini dikelola Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad), yang menjadikannya lahan bisnis. Koperasi menyewakannya pada pengusaha. Saat itu warga merasa kurang nyaman beraktivitas, terutama jika harus melakukan upacara adat.

Ketika terjadi reformasi rezim Orde Baru pada 1998, warga berani menyuarakan isi hati. Pemerintah Kabupaten Badung kemudian menyerahkan pengelolaannya ke desa adat Kuta. Saat itu disepakati, kawasan harus dibuat sealami mungkin dan tak boleh ada bangunan untuk tujuan bisnis. Berbagai usaha dilakukan untuk mengatasi abrasi dan menjaga kebersihan pantai.

Di bawah komando Tresna, ada 33 pemuda yang dilibatkan menjaga pantai. Mereka mewakili 13 banjar di Kuta dan mendapat penghasilan dari iuran pedagang acung, tukang pijat, dan lainnya. Pemerintah Badung menyumbang dua mobil angkat berat dan satu mobil patroli. Dengan mobil itulah setiap hari mereka hilir-mudik menjaga keamanan pantai dan mengangkut sampah.

Kebersihan dan suasana pantai yang terjaga rapi pun akhirnya mengundang penyu kembali berlabuh di Kuta. Hanya setahun setelah dikelola desa adat, ratusan telur penyu ditemukan. Kini minimal dua kali dalam setahun selalu ditemukan penyu yang mendarat. ”Setelah telurnya ditetaskan, tukik kami lepas ke laut,” kata Tresna. Kegiatan ini selalu menjadi tontonan unik para turis.

Rofiqi Hasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus