Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Anak Penyu di Sarang Bendesa

Desa adat di Bali menata wilayahnya menjadi arena wisata lingkungan. Penyu mulai bertelur di pantai.

18 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wayan Mertha kini punya kesibukan tambahan: memelototi pasir yang berada di bawah meja makan kafe-kafe di Pantai Kedonganan, Jimbaran, Bali. ”Tukik dapat muncul tiba-tiba dari dalam pasir,” katanya. Jika ada yang tertangkap, anak penyu itu dikumpulkan dalam baskom. Pada senja hari, ketika turis berdatangan ke pantai, Mertha melepaskan tukik-tukik itu ke laut.

Tiga bulan terakhir, pelepasan tukik jadi acara tersendiri di Kedonganan. Menurut Mertha, yang menjabat Direktur Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan, sudah 135 tukik yang dilepas ke laut. Petugas dari badan ini rajin membersihkan pantai sehingga penyu mau bertelur di Kedonganan.

Desa adat yang membentuk badan pengelola itu mengeluarkan aturan baru: warga dilarang mengambil penyu dan telurnya. Padahal, sebelumnya, Kedonganan terkenal sebagai salah satu desa yang penduduknya gemar mengkonsumsi penyu untuk keperluan pesta adat. ”Kalau melihat penyu berarti menemukan uang,” kata Mertha, Selasa tiga pekan lalu.

Warga desa, selain terbiasa menikmati penyu berkeliaran, kini juga leluasa melakukan ritual menghanyutkan abu jenazah ke laut sebagai puncak upacara ngaben. Di salah satu pojok pantai sepanjang satu kilometer ini tersedia tempat upacara adat. Penduduk tak perlu khawatir ritual mereka ditonton wisatawan. Pendeta Hindu pun bisa khusyuk membaca doa.

Masuknya desa adat mengelola pantai Kedonganan memang membawa perubahan mencolok. Maklum, sejak akhir 1990-an pantai ini dijejali 57 restoran yang menyediakan ikan dan makanan dari laut lainnya. ”Kami sulit melakukan acara adat, termasuk mandi di laut,” kata Ketut Mudra, bendesa atau pengurus desa adat.

Bayangkan, bangku dan meja kafe memenuhi pantai. Limbah restoran langsung dibuang ke laut. Tak ayal, untuk menuju laut, warga harus melewati lorong-lorong sempit. Lama-kelamaan penduduk resah. Apalagi semua kafe itu milik warga luar desa yang awalnya berdagang di Pantai Kuta.

Tetua adat kemudian melakukan protes karena izin para pengusaha pindahan dari Kuta itu tak jelas. Mereka menuntut penataan ulang dengan menempatkan warga desa sebagai pemain utama bisnis wisata. Pemerintah Kabupaten Badung lantas menugaskan Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua memetakan potensi, kapasitas, dan arah pengembangan.

Salah satu rekomendasi penelitian adalah membatasi jumlah kafe di pantai, cuma 12. ”Terpaksa kami tawar menjadi 24 agar mengakomodasi keterlibatan semua warga,” ujar Mudra, yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar. Kepemilikan kafe kemudian diserahkan pada keenam banjar (dusun) di desa yang memiliki 1.040 kepala keluarga itu.

Untuk menjaga kelangsungan bisnis ini, warga membentuk Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan. Lembaga ini dibiayai dengan iuran kafe Rp 500 ribu per bulan serta penghasilan dari tiket masuk kawasan yang rata-rata mencapai Rp 20 juta per bulan. Dana ini digunakan untuk menjaga keamanan dan kebersihan kawasan. ”Untuk tahun pertama pengurusnya sepakat tak digaji,” kata Mertha.

Sampah dan limbah kafe memang jadi masalah tersendiri di Kedonganan. Pada musim angin barat di bulan Januari-Februari, sampah kiriman dari wilayah lain kandas di pantai ini. Jenisnya beragam, mulai dari plastik hingga bongkahan kayu. Untuk mengatasi hal ini, setiap Ahad digelar gerakan bersama karyawan kafe, pengamen, dan penjual jagung bakar, untuk memunguti sampah.

Badan pengelola mewajibkan setiap kafe memiliki tempat sampah khusus yang diangkut petugas ke tempat pembuangan akhir. Setiap kafe juga harus menyedot septic tank-nya secara periodik. Mereka berencana mengolah limbah dengan menggunakan teknologi. Apa hasilnya? Pantai Kedonganan kini apik. Warga yang berburu penyu juga tinggal sepuluh persennya. Mertha mengaku, kini banyak pengusaha yang berani membayar Rp 1 miliar untuk sebuah kafe di Kedonganan. ”Ini akan kami wariskan untuk anak cucu,” ujarnya mengulang jawaban warga yang menolak tawaran tersebut.

Peranan desa adat dalam mengelola wisata lingkungan juga ada di Desa Kesiman Kertalangu. Desa yang terletak di pinggiran timur Denpasar ini menjaga sawah dan subak atau perkumpulan petani pengelola air tetap lestari. Mereka sepakat, 80 hektare sawah milik 204 petani tak akan dikonversi menjadi lahan usaha. ”Padahal wilayah ini sudah dikitari kompleks perumahan,” kata Wayan Warka, Kepala Desa Kesiman Kertalangu. Di Denpasar setiap tahunnya 50 hektare lahan pertanian berubah fungsi. Alhasil, kini lahan sawah yang tersisa cuma 2.717 hektare.

Dari lahan yang tersisa, warga Kesiman menjadikannya tempat belajar teknik terbaru bercocok tanam. Kini mereka menerapkan sistem pertanian organik dengan menggandeng perusahaan. Para pengusaha juga membuat jalan setapak sepanjang empat kilometer menyusuri persawahan. Mereka membangun gedung untuk pertunjukan kesenian dan kerajinan warga.

Guru besar sosiologi Universitas Udayana, Prof Dr Gde Pitana, menyambut baik inisiatif desa adat menjadikan wilayahnya sebagai lokasi wisata lingkungan. ”Mereka bisa mengimbangi kecenderungan industri wisata yang hanya menguntungkan pemodal besar,” katanya. Menurut Pitana, model pengelolaan ini lebih besar menguntungkan masyarakat lokal. Apalagi dengan meningkatnya kepedulian turis terhadap isu lingkungan.

Rofiqi Hasan (Denpasar), Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus