Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tinju dunia tengah memasuki era baru. Oscar De La Hoya, mantan juara dunia di enam kelas berbeda, menyambutnya dengan penuh sukacita. "Dengan berakhirnya era tinju terburuk, mari kita nikmati 10 tahun ke depan," kata pria Meksiko 41 tahun ini di akun Twitternya, @OscarDeLaHoya, dua pekan lalu.
"Era tinju terburuk" itu adalah masa-masa ketika Floyd Mayweather Junior merajalela di atas ring. Petinju 38 tahun itu memutuskan pensiun pada 12 September lalu setelah mengalahkan Andre Berto sekaligus menorehkan rekor tak terkalahkan dalam 49 pertandingan sepanjang kariernya.
Menurut De La Hoya, kepergian Mayweather, yang pernah mengalahkannya pada 2007, menjadi kabar baik bagi dunia tinju. Dominasi petinju Amerika Serikat itu--dengan gaya "menari-nari" menghindari pukulan lawan--telah membuat penonton bosan. "Saya menghormati Floyd dengan pencapaiannya, tapi saya lebih suka aksi. Penonton juga menginginkan aksi yang hebat, menunggu knockout," ujarnya kepada Vibe.
De La Hoya tak keliru. Sepeninggal Mayweather, ring tinju kelas menengah menjanjikan persaingan yang menarik. Raja-raja knockout (KO) baru akan terus berebut panggung. Salah satu kandidat yang paling menjanjikan adalah Gennady Gennadyevich Golovkin.
Pada Sabtu dua pekan lalu, petinju 33 tahun asal Kazakstan itu berhasil meraih kemenangan KO atas David Lemieux dalam pertarungan di Madison Square Garden, New York, Amerika. Ia sekaligus menambahkan sabuk juara dunia kelas menengah versi Federasi Tinju Dunia (IBF) pada gelar yang sudah dikoleksinya, yakni versi Asosiasi Tinju Dunia (WBA), Organisasi Tinju Dunia (IBO), dan gelar sementara dari Dewan Tinju Dunia (WBC).
Malam itu, di hadapan 20 ribu penonton, Golovkin--alias GGG--tampil ganas. Pria yang sehari-hari dikenal murah senyum ini seperti berubah jadi haus darah: terus merangsek dan memberondong lawan dengan pukulan kerasnya. Statistik pertandingan menunjukkan ia mengayunkan 549 pukulan, yang 280 di antaranya mengenai sasaran. Adapun Lemieux, petinju 26 tahun asal Kanada, hanya mampu mengirimkan 190 pukulan dan cuma 110 yang mengenai sasaran.
Lemieux harus merasakan hantaman hook kiri Golovkin pada ronde ketiga. Hook kiri yang tak kalah keras kembali mengenai wajahnya pada ronde berikutnya. Pada ronde kelima, pukulan serupa bahkan membuat Lemieux jatuh berlutut. Tapi baru pada ronde kedelapan wasit menghentikan pertandingan setelah melihat dia tak berdaya membendung rentetan pukulan Golovkin di sudut ring. "Ia petinju hebat," kata Lemieux setelah pertarungan itu dengan wajah babak-belur.
Kemenangan KO itu jadi yang ke-32 dari 34 pertarungan profesional sepanjang karier Golovkin atau yang ke-21 yang dia raih secara beruntun. Bila dihitung, rasio kemenangan KO yang diraih anak asuh Abel Sanchez itu mencapai 94 persen. Ini, tentu saja, luar biasa. Tak ada petinju lain yang pernah memiliki persentase seperti itu.
Larry Merchant, komentator tinju HBO, menilai rekor yang mengesankan itu menjadi lebih spesial karena gaya bertinju Golovkin. "Ia penyerang yang cerdas, tahu bahwa pertahanan terbaik adalah dengan memukul lawan. Ia jadi angin segar bagi dunia tinju sebagai hiburan. Sebab, dosa terburuk dari hiburan adalah membuat penonton jadi bosan," ujarnya seperti dikutip Los Angeles Times, awal Oktober lalu.
Gaya seperti itu mungkin tak lepas dari masa lalu Golovkin. Ia lahir di Karaganda saat Kazakstan masih jadi bagian dari Uni Soviet. Ayahnya penambang batu bara di kota keempat terpadat di Kazakstan itu dan ibunya wanita Korea Selatan yang bekerja di laboratorium kimia. Sejak belia, ia sudah dipaksa dua kakaknya, Sergey dan Vadim, untuk menggunakan tinju. Sewaktu Golovkin duduk di bangku taman kanak-kanak, kedua kakaknya selalu mencarikan dia lawan untuk berkelahi. "Setiap hari lawannya berbeda-beda," kata Golovkin kepada Sports Illustrated.
Ketika ia menginjak usia delapan tahun, kedua kakaknya bergabung dengan tentara dan gugur. Demi mengenang kedua kakaknya itulah akhirnya Golovkin memutuskan terus menekuni tinju. Tapi jalannya menuju kemasyhuran tidaklah mudah.
Golovkin meraih beasiswa Olympic Solidarity sebagai amatir dan torehan tertingginya adalah medali perak Olimpiade Athena 2004. Pada 2006, ia pindah ke Jerman dan mulai menekuni tinju profesional. Ia menang dalam 19 pertandingan pertamanya, 16 di antaranya dengan KO.
Setelah menyelesaikan perselisihan kontrak dengan promotor Jerman, Universum Box, pada 2010, Golovkin bergabung dengan promotornya saat ini, Tom Loeffler dari K2 Promotions. Ketika itu gelar juara dunia WBA sudah tersandang di bahunya. Petinju berjulukan Golden Boy ini pun mulai mengukuhkan diri sebagai jagoan KO.
Namun, dengan status itu, Loeffler tetap kesulitan menjual Golovkin di Amerika. Sponsor dan saluran televisi menilainya tak terlalu menjanjikan: usianya sudah mendekati kepala tiga dan--saat itu--nyaris tak bisa berbahasa Inggris. Loeffler terpaksa harus sering menjual murah petinju ini agar tetap bisa bertarung.
Dalam situasi itu, Golovkin justru seperti melampiaskan rasa frustrasinya di atas ring. Ia tampil beringas dan selalu memukul KO setiap lawan. Pada 1 September 2012, ia mampu menjungkalkan Grzegorz Proksa asal Polandia sebanyak tiga kali dalam lima ronde dan akhirnya meraih kemenangan KO ke-11 secara beruntun. Setelah itu, sederet lawan lain juga ia kanvaskan: Nobuhiro Ishida, Matthew Macklin, Curtis Stevens, Osumanu Adama, dan Daniel Geale.
Label petinju dengan gaya Meksiko (Mexican style) mulai dilekatkan kepadanya setelah bertarung melawan jagoan Meksiko, Marco Antonio Rubio, di California pada 2014. Gaya Meksiko biasanya dipakai untuk menggambarkan pertarungan ketat dengan tiap petinju bertahan di tengah ring dan terus saling jual-beli pukulan.
Dalam pertarungan tersebut, Golovkin dan Rubio memperagakan gaya seperti itu. Namun tonjokan keras Golovkin akhirnya membuat Rubio tersungkur KO pada ronde kedua. Melihat jagoannya nyungsep, pendukung Rubio justru memberikan aplaus meriah bagi Golovkin. Padahal sebelumnya hanya satu petinju non-Meksiko yang pernah mendapat kehormatan serupa itu, yakni Manny Pacquiao. Golovkin menganggap penghargaan itu sebagai hal yang wajar, "Karena saya hanya bertarung, tidak menari," ujarnya.
Ayah satu putra itu kian diperhitungkan, tapi tetap sulit melesat karena berada di bawah bayang-bayang nama besar Mayweather. Baru setelah Mayweather pensiun, panggung pun terbuka lebar buat Golovkin. Pertarungan Golovkin melawan David Lemieux menjadi buktinya. Selain mampu menyedot 20 ribu penonton, partai ini jadi partai pertamanya yang dijual saluran televisi berbayar dengan sistem pay-per-view.
Golovkin mengakui pertarungan itu jadi langkah besar baginya. "Tak mudah mendapatkan pengakuan," katanya setelah mengalahkan Lemieux. "Saya sudah bekerja keras, melakukan apa yang dibutuhkan untuk terus menang. Saya kini menunggu pertarungan yang lebih besar."
Tapi, untuk mengukuhkan diri sebagai raja baru kelas menengah, Golovkin harus berpacu dengan waktu karena usianya yang sudah tak muda.
Nurdin Saleh (Guardian, Los Angeles Times, Reuters, Boxing News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo