Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Pilkada atau Pemilukada?

26 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Joss Wibisono

Beberapa daerah tengah bersiap menyelenggarakan pilkada atau pemilihan kepala daerah. Karena itu, ada baiknya kita memperbincangkan istilah ini. Sebenarnya istilah mana yang tepat: pemilihan kepala daerah disingkat pilkada atau pemilihan umum kepala daerah disingkat pemilukada?

Pendukung istilah pemilukada berargumen: karena rakyat langsung memilih kepala daerah mereka, istilah itulah yang harus digunakan. Istilah pilkada dianggap menyesatkan dan kurang tegas, karena masih mungkin pemilihan seperti itu tidak dilakukan langsung oleh rakyat, tapi oleh dewan perwakilan daerah.Jadi kata "umum" dianggap perlu untuk menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah itu dilakukan langsung oleh warga daerahnya, dan tidak melalui dewan perwakilan daerah.

Pertama-tama perlu ditegaskan di sini kita berurusan dengan pemilihan yang berlangsung di daerah tertentu, bukan di seantero negeri. Maka segera terlihat makna kata "umum" yang sebenarnya. Umum berarti siapa saja, karena itu berlangsung di seluruh negeri. Pemilihan umum berarti pemilihan yang berlangsung di seantero negeri, dan jelas tidak hanya di daerah tertentu.

Jika kita menggunakan istilah pemilukada, singkatan dari pemilihan umum kepala daerah, kita akan terjebak dalam apa yang disebut contradictio in terminis, yaitu gabungan beberapa kata yang maknanya bertentangan satu sama lain. Pada satu pihak pemilihan umum menunjuk pada pemilihan yang berlangsung di seantero negeri, tapi di pihak lain pemilukada merujuk pada pemilihan yang hanya berlangsung di daerah tertentu. Dengan kata lain, pilihan kata "umum" tidak tepat kalau digunakan untuk menunjuk pada pemilihan langsung kepala daerah. Kalau pilkada dimaksudkan sebagai pemilihan langsung kepala daerah, paling tepat menggunakan istilah pilkada langsung, bukan pemilukada, sehingga kita bisa membedakan pilkada langsung dan pilkada tidak langsung. Sekali lagi, bukan pemilukada.

Sesungguhnya, pemilukada sederajat dengan istilah "lingkaran segi empat", yang tidak masuk akal. Lingkaran pasti bundar, tidak mungkin ada lingkaran segi empat. Maka bagaimana mungkin kita bisa berbicara tentang pemilihan yang umum kalau ternyata hanya diikuti pemilih daerah tertentu? Keterlibatan rakyat pemilih sebaiknya dipertegas dengan kata "langsung" itu, bukan dengan kata "umum", karena "umum" justru mengaburkan lokasi pemilihan. Sekali lagi, pemilihan yang bersifat umum adalah pemilihan yang berlangsung di seluruh negeri. Selain itu, kalau ingin memberi ketegasan pada istilah tertentu (dalam hal ini pilkada), bukankah sebaiknya tidak menimbulkan kekaburan, apalagi kesalahan lain?

Bahasa Inggris mengenal istilah general elections (pemilihan umum) sebagai lawan local elections (pemilihan daerah). Begitu juga bahasa Belanda yang mengenal istilah algemene verkiezingen versus locale verkiezingen. Tidak mungkin bahasa Inggris menggunakan general local elections atau bahasa Belanda memakai algemene locale verkiezingen. Itu jelas istilah rancu yang justru membingungkan, karena tidak jelas lagi mana yang dimaksud: pemilihan daerah atau pemilihan umum.

Pemilihan yang benar-benar bermakna rakyat memilih langsung memang baru ada setelah Orde Baru tersingkir. Itu terjadi baik di pusat dengan presiden yang dipilih langsung maupun di daerah dengan pemilihan langsung kepala daerah. Pada kedua pemilihan, rakyat berperan aktif. Mereka langsung memilih. Untuk membedakan keduanya, muncul istilah "pilpres" (pemilihan presiden) dan "pilkada". Dan sesuai dengan urut-urutan sejarahnya, pilpres langsung baru terjadi setelah lebih dulu berlangsung pilkada. Selain keduanya, masih ada pemilihan legislatif, yang berarti pemilihan anggota dewan, baik pusat maupun daerah.

Di masa lalu, pilkada pernah menjadi perdebatan sengit, apakah langsung, yang berarti dilakukan warga daerah, atau tidak langsung, karena yang memilih kepala daerah adalah dewan perwakilan daerah. Inti perdebatannya tidak terletak pada istilah pilkada itu sendiri. Perdebatan itu berkisar pada peran rakyat dalam memilih kepala daerahnya: langsung atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, istilah pilkada sebaiknya tidak diganggu gugat, tapi diberi tambahan agar tidak menimbulkan tafsir lain. Pilkada itu harus tetap langsung, seperti yang sudah-sudah. Kalau toh istilahnya hendak diganti, jangan sampai membuat istilah baru yang justru tidak masuk akal karena menyalahi logika. Nalar harus dijaga tetap lurus, jangan dibengkok-bengkokkan lagi, karena itu bisa-bisa kembali mundur ke zaman Orde Baru. l

Penulis dan peneliti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus