Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sepotong Kota di Sepucuk Kartu Pos

Olivier Johannes Raap menerbitkan buku kumpulan kartu pos kuno tentang kota. Catatan kaki perubahan sebuah kota di Jawa.

26 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kota di Djawa Tempo Doeloe
Penulis: Olivier Johannes Raap
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015
Tebal: ix + 340 halaman

Pada 2003, ketika mengunjungi pasar loak di Brussel, Belgia, Olivier Johannes Raap, arsitek Belanda dan kolektor benda kuno, menemukan selembar kartu pos bertahun 1934 yang dikirim dari Malang ke Belgia di sebuah toko. Kartu pos itu bergambar katedral di Malang. "Dari situ pikiran saya menerawang tentang kehidupan saat itu. Dari sini saya mulai tertarik pada kartu pos lama, khususnya tentang Jawa," kata Raap kepada Tempo, dua pekan lalu.

Kartu-kartu pos kuno itulah yang menjadi bahan utama Raap dalam menulis Kota di Djawa Tempo Doeloe. Buku ini menampilkan 277 kartu pos yang diterbitkan sepanjang 1900-1950. Raap hanya menampilkan foto di kartu pos itu, yang sebagian besar dicetak hitam-putih. Sedangkan sisi sebaliknya, yang biasa berisi informasi pengirim dan penerima serta coretan pesan, tidak ditampilkan. Padahal, tanpa coretan pesan itu, sebuah kartu pos hanyalah sebuah kartu bergambar.

Raap juga melengkapi foto itu dengan keterangan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan gambar yang ditampilkan, yang menuntutnya melakukan riset tentang obyek yang ditampilkan. Misalnya, dia memaparkan bahwa gedung Vrijmetselaarsloge, loji organisasi freemason, di Pendrian (kini Jalan Imam Bonjol), Semarang, mendapat julukan "Gedung Setan" karena konon anggota freemason sering membuat ritus pemanggilan arwah di sana.

Ada pula foto stasiun pengisian bahan bakar pertama di Surabaya dalam foto bertahun 1925. Raap mencatat bahwa pada mulanya orang tak percaya terhadap pompa bensin otomatis itu. Mereka mengisi kaleng ukuran 2 liter atau 10 liter sebelum memasukkan bensinnya ke tangki mobil.

Buku Raap ini semacam buku sejarah bergambar, yang biasanya dalam bentuk coffee table book, seperti seri sejarah Perang Dunia terbitan Time Life Books. Namun, karena hanya bersandar pada koleksi kartu posnya, Raap tak bisa membahas suatu kota secara lengkap, tapi sekadar menyodorkan potongan-potongan gambar sebuah kota.

Catatan yang menyertainya juga hanya berpusat pada obyek foto tersebut, tidak berangkai dengan catatan mengenai obyek foto lain, meski jenisnya sama. Ini membuat tulisan Raap sekadar sebuah keterangan foto yang panjang ketimbang sebuah risalah terstruktur. Tapi sedikit-banyak ini membantu pembaca yang kurang mengenal sejarah obyek-obyek tersebut.

Namun salah satu kelebihan buku Raap adalah upayanya mengecek keadaan aktual dari lokasi yang dipotret. Banyak daerah sudah berubah, bahkan sejumlah gedung yang dulu penting telah roboh atau ditimpa bangunan baru. Pompa bensin pertama di Surabaya itu, misalnya, terbakar dan kini menjadi tempat parkir. Gedung Vrijmetselaarsloge dibongkar pada 1976 dan sebuah rumah toko didirikan di atasnya, yang kini ditempati Salon Rista. Raap rupanya telah menyusuri jejak-jejak sejarah obyek di foto itu, yang membuat bukunya sekaligus menjadi catatan kaki tentang perubahan sebuah kota.

Perubahan kota ini menarik perhatian Raap. Berbeda dengan di Jawa, kota-kota tua di Eropa tak mengalami perubahan signifikan dalam 100 tahun. "Di Paris, misalnya, banyak suasana kota yang masih sama dengan zaman dulu," tulis Raap.

Buku ini seakan-akan melengkapi dua buku Raap sebelumnya, Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe (2013), tentang berbagai macam pekerjaan orang Jawa, dan Soeka-Doeka di Djawa Tempo Doeloe (2013), tentang budaya pop dan tradisi di seputar keluarga dan pernikahan.

Amri Mahbub, Kurniawan


Olivier Johannes Raap:
Kartu Pos Adalah Mesin Waktu

Olivier Johannes Raap, yang lahir pada 5 Oktober 1966, adalah sarjana arsitektur berkebangsaan Belanda dan kolektor benda kuno, dari kartu pos hingga buku. Dia datang pertama kali ke Indonesia pada 1998. Setelah kunjungan kedua pada 2000, ia mulai tertarik pada Jawa dan menerbitkan tiga buku tentang Jawa berdasarkan kartu pos kuno koleksinya. Melalui surat elektronik, pria yang biasa disapa Mas Oli ini menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan Amri Mahbub dari Tempo, dua pekan lalu.

Mengapa Anda tertarik mengumpulkan kartu pos kuno tentang Jawa?

Pada 2003, ketika mengunjungi pasar loak di Brussel, Belgia, saya menemukan selembar kartu pos di tengah tumpukan barang loak yang dikirim pada 1934 dari Malang ke Belgia. Kartu itu menunjukkan perempatan Kota Malang dengan latar belakang gunung. Gambarnya sederhana, tapi saya bisa mendapatkan gambaran suasana Malang tempo dulu. Dengan melihat sekilas gambar tersebut, saya bisa menerka, meski masih di tataran permukaan, kehidupan saat itu. Dari sini, saya mulai tertarik pada kartu pos lama, khususnya tentang Jawa.

Apa bedanya dengan kartu pos yang menunjukkan kota-kota lain di dunia?

Berbeda jauh. Kota Paris, misalnya, yang menjadi tema koleksi saya sebelumnya. Banyak pemandangannya yang belum berubah setelah satu abad lebih. Sedangkan Jawa, kondisinya dulu dan sekarang sudah amat jauh berbeda. Saat saya melihat kartu pos Malang itu, saya bergumam, "Kartu pos adalah mesin waktu yang mengantarkan kita ke masa lampau."

Dari mana Anda mendapatkan koleksi kartu pos Anda?

Tidak mudah mengumpulkannya. Kerap saya bertukar dengan kolektor lain. Tak jarang saya cari di pasar loak di banyak negara, pasar buku, bursa filateli. Bahkan sering juga saya mengikuti lelang di Internet untuk mendapat satu kartu pos yang saya inginkan. Sayangnya, kini kartu pos zaman Hindia Belanda sudah jarang beredar di banyak tempat. Imbasnya, harganya melambung, meski tak sedikit yang masih terjangkau.

Selain mengumpulkan kartu pos, Anda mengoleksi benda yang berbau Jawa...

Ya, berbagai macam barang kuno dari Jawa, seperti keris dan dokumen sejarah.

Tidak repotkah merawatnya?

Kartu pos tidak begitu merepotkan. Cukup dimasukkan ke album khusus, kering, dan terlindung dari cahaya terik agar warnanya tidak memudar. Yang agak sulit itu benda seni lain, seperti keris.

Setelah Kota di Djawa Tempo Doeloe, apa lagi yang akan Anda tulis?

Banyak pembaca buku tentang kota pasti sadar bahwa salah satu bangunan yang penting adalah stasiun kereta api. Saya sedang merampungkan tema ini beserta kereta uap dan jejak rel di Jawa pada 1900-1940.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus