Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menembak Si Johny, dll

Setelah pemerintah mengumumkan usaha pengendalian impor makanan dan minuman (untuk mengendalikan pemakaian devisa), harga-harga makanan. minuman dan buah-buahan impor naik. (eb)

8 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINUMAN keras merk Johny Walker (red label) mendadak naik harganya dari Rp 3.500 jadi Rp 4. 500 per botol di Gang Ribal, pusat grosir makanan dan minuman impor Jakarta. Kenaikan hampir 30% itu terjadi tak lama sesudah Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro mengumumkan usaha pemerintah mengendalikan impor makanan, minuman, dan buah-buahan, 27 Desember lalu. Barang-barang tidak penting, termasuk minuman keras, katanya, pengimporannya akan dibatasi, atau ditangguhkan sama sekali. Upaya mengendalikan impor yang, katanya, dilakukan untuk mengerahkan pemakaian devisa lebih efisien itu, tertuang dalam SK No. 505 tanggal 27 Desember 1982 tentang Tata Niaga Impor Makanan, Minuman dan Buah-buahan. Dalam keputusan itu disebutkan pula bahwa impor ketiga jenis barang konsumsi tadi hanya bisa dilakukan oleh importir yang terdaftar. "Importir sekarang ini harus importir bonafide yang spesialis," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Suhadi Mangkusuwondo. Maksudnya, importir yang punya Angka Pengenal Importir (API) buah-buahan, misalnya, sejak saat itu tak bisa lagi mengimpor tekstil. Sebelumnya memang seorang grosir di Gang Ribal, misalnya, telah biasa membuka L/C impor dengan memanfaatkan API milik importir lain. Sebagai balas jasa, grosir itu, tentu saja, harus memberikan sejumlah komisi. Dia menganggap kebijaksanaan pengendalian pemakaian devisa itu hanya akan mendorong usaha tak sehat memasukkan minuman keras eks impor lewat fasilitas duty free (bebas pajak). Dia menunjuk pada botol Johny Walker di tokonya yang diperolehnya dari seorang importir yang khusus mensuplai untuk kepentingan duty free shop di Pelabuhan Udara Halim Perdanakusuma. "Lihat saja 1 atau 2 bulan lagi jumlah barang semacam itu akan semakin banyak," katanya meyakinkan. Anggapan serupa juga dikemukakan Steve Sondakh, Manajer Pemasaran Hero Supermarket, yang juga importir minuman, makanan, dan buah-buahan. Karena semua L/C impor sudah dibatasi, katanya, maka harga ketiga jenis barang konsumsi itu pasti akan naik tajam. Dalam upaya mengarahkan pemakaian devisa, dia lebih setuju "kalau bea masuk makanan, dan minuman impor saja yang dinaikkan untuk melindungi produk lokal sejenis." Benarkah impor buah-buahan, minuman, dan makanan meningkat? Impor minuman mengandung alkohol pada periode Januariluni 1982, misalnya, mencapai 5.840 ton dengan nilai US$ 6,3 juta. Sedang pada periode yang sama tahun sebelumnya, impor minuman itu baru 4.700 ton dengan nilai US$ 4,7 juta. Kenaikan menyolok seperti itu terjadi untuk impor buah-buahan segar seperti apel, dan anggur, serta buah-buahan yang diawetkan seperti leci. Konsumen minuman beralkohol seperti Johny Walker, Henessy, dan Cognac, menurut Steve Sondakh, kebanyakan warga negara asing, bar, dan klub malam. Minuman keras eks lokal seperti produksi Mansion House, katanya, ternyata masih belum mampu menembus selera warga negara asing, dan kalangan atas. Kendati lebih mahal, kata Sjukri Alimudin, Humas Departemen Perdagangan dan Koperasi, konsumen di kota-kota besar ternyata lebih suka membeli buah-buahan dan makanan eks impor di supermarket. Pepaya segar, dan rambutan kalengan eks Thailand, misalnya, kini mudah diperoleh di pasar dan supermarket tanpa memandang musim. Untuk mengimbangi buah-buahan impor itu, seorang grosir di Gang Ribal menganjurkan agar pertanian buah-buahan digarap secara profesional dan terarah. "Coba bayangkan, dulu daerah Cibinong cukup terkenal menghasilkan pepaya, sekarang sudah tidak ada lagi," katanya. Dia benar. Produksi durian dari Pasar Minggu, misalnya, kini merosot tajam juga sesudah populasinya secara berangsur digasak pemukiman manusia. Dalam situasi seperti itulah durian dari Bangkok, Thailand, memasuki pasaran lokal. Juga jeruk segar impor yang tahun 1981 mencapai US$ 3,2 juta dengan cepat mendesak jeruk lokal eks Garut. Tanpa terasa memang peranan buah lokal secara berangsur kini digantikan buah impor. Efektifkah kebijaksanaan itu untuk mengarahkan pemakaian devisa? Belum jelas benar, sekalipun sesungguhnya menurut laporan Bank Indonesia kenaikan impor barang konsumsi tak terlalu menyolok jika dibandingkan kenaikan impor barang modal, dan bahan baku/penolong (Lihat grafik). NILAI IMPOR INDONESIA (dalam jutaan dollar AS) Bahan BakuBarang Barang PenolongModal Konsumsi 1976 1.252,71.916 2 1.278,0 1977 1.513,31.820,6 1.431,5 1978 1.052,81.884,5 1.395,1 1979 1.046,42.554,3 1.626,9 1980 1.443,13.744,1 1.998,9 1981 1.989,03.598,7 1.767,6 1982 1.560,51.492,6 531,9 sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, BI. Th. XV No. 9.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus