Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN tekun Nyonya Nina memasang bantalan tangan ke jari-jari putrinya. Wanita berjilbab itu lalu membungkus tangan anaknya dengan sarung tinju. Dalam sekejap, putrinya, Herliana Ali, 20 tahun, berubah menjadi petinju wanita mirip Layla Ali, putri legenda tinju Muhammad Ali.
Saat Herliana naik ring, mata sang ibu tertancap terus pada gerak-gerik putrinya. Turun di kelas 52 kilogram, Selasa petang pekan lalu, Herliana, yang mewakili DKI Jakarta, menghadapi Veronika Nikolas dari Sulawesi Utara. Kejuaraan yang digelar di Gelanggang Olahraga Bulungan, Jakarta Selatan, ini diikuti 44 petinju wanita dari 14 provinsi, berlangsung pada 17-21 Mei lalu.
Kecemasan tak tampak di raut muka si ibu. Yang gusar justru ayah Herliana, Muhammad Ali. Melihat penampilan anaknya yang ragu-ragu memukul, dia tak henti-henti memberikan aba-aba. "Coba hook dan upper cut..., upper cut...!" teriaknya. Hasilnya lumayan. Di ronde pertama, Herliana tampak mengungguli lawannya.
Itulah kejuaraan resmi pertama yang digelar oleh Persatuan Tinju Amatir Indonesia (Pertina). Sebelumnya, pertandingan tinju wanita sudah kerap diadakan, tapi baru sebatas ekshibisi. Kendati ini kejuaraan resmi, jangan bayangkan para petinju telah melakukan persiapan secara maksimal. Soalnya, panitia baru memberikan surat undangan kepada para pengurus daerah sekitar tiga bulan lalu.
Saat itu pula para pengurus tinju di tiap provinsi baru mulai merekrut pemainnya. Karena waktunya mepet, hampir semua petinju dipungut dari perguruan tinggi olahraga atau murid sekolah menengah umum.
Ambil contoh daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Noorlena, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Olahraga Unayah, Aceh, memungut beberapa petinju dari kampusnya sendiri. Selain itu, ia mengambil petinju dari luar, kebetulan anak kenalannya. Perempuan ini perlu membujuk sang kenalan agar mengizinkan anaknya bertanding. "Anaknya tomboi, sih, dan ternyata pilihan saya pas," kata Noorlena.
Boleh dibilang Noorlena merupakan wanita pertama yang menjadi pelatih tinju. Uniknya, empat petinju yang dibawanya ke Jakarta sehari-sehari berjilbab. "Di Aceh, setiap perempuan harus berjilbab, maka kami pun berlatih tinju dengan menggunakan jilbab," ujarnya. Saat bertanding, mereka tidak berjilbab, tapi memakai kaus yang menutupi tubuh cukup rapat. Lagi pula kepala mereka otomatis telah tertutupi oleh helm pelindung.
Yang cukup serius Sulawesi Utara. Kebetulan di sana ada Sasana Pertiser, yang sejak enam bulan lalu punya beberapa murid perempuan. Alhasil, bersama Sulawesi Tengah, provinsi tersebut paling banyak mengirim atlet: delapan orang. Sedangkan yang lain, seperti DKI Jakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Sumatera Barat, hanya menurunkan empat sampai enam petinju.
Herliana termasuk pula yang kurang persiapan. Menurut ayahnya, Muhammad Ali, petinju amatir Indonesia tahun 1980-an, ia hanya disiapkan dalam enam hari. Tapi sudah lama Herliana, yang kini mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta, dilatih berbagai cabang olahraga keras, dari wushu, kickboxing, sampai tinju.
Karena persiapan yang kurang, Herliana tampak kedodoran pada ronde kedua. Dia hanya mengandalkan dua pukulan lurus, jab dan straight. Sedangkan lawannya, Veronika, lebih lincah dan sesekali berhasil menyarangkan hook, pukulan menekuk dari samping.
Pada ronde terakhir, Herliana melakukan kesalahan fatal, sempat mengangkat kaki ke arah perut lawan. Kontan sebuah peringatan keras keluar dari mulut wasit. Pertandingan akhirnya dimenangi Veronika dengan angka. Bisa dibilang ini partai paling seru yang terjadi sore itu. Sebab, lebih dari separuh pertandingan yang lain harus dihentikan sebelum waktunya karena dinilai tidak imbang.
"Aduh, Bang, saya enggak sengaja mengangkat kaki tadi. Abang tidak mengingatkan, sih," kata Herliana seusai pertandingan kepada pelatihnya, Erik van Ernst. "Sudah, jangan dipikirkan. Setelah ini, kamu harus berlatih lagi memperbaiki teknik," jawab pelatihnya.
Kesalahan yang dilakukan gadis tomboi berambut pendek itu termasuk wajar. Maklum, pertandingan tinju wanita sangat jarang digelar. Yang lain bahkan lebih parah. Pada hari pertama, Senin, ada petinju yang tidak tahu istilah teknis "break". Bila wasit mengucapkan kata itu, dua orang petinju harus mundur satu langkah untuk berlaga lagi. Tapi ada seorang petinju yang langsung menuju sudut ringnya.
Pertandingan tinju wanita memang berbeda dengan partai pria. Misalnya Kristina M. Simarmata dari Sumatera Utara. Begitu dinyatakan menang, ia tak langsung menghampiri tim ofisial, tapi malah lari menuju kamar kecil. "Sebentar-sebentar aku kebelet pipis," kata mahasiswi semester akhir Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Medan ini kepada pelatihnya.
Mereka belum terbiasa dengan suasana pertandingan. Namanya amatir, para petinju punya aktivitas lain di luar ring. Sebagian besar memang pelajar atau mahasiswi.
Desi Ambonk, 17 tahun, dari DKI Jakarta, baru kenal tinju sebulan lalu. "Selebihnya, saya bersekolah di SMU 110, Semper, Jakarta Utara, ikut fashion, dan sering menerima order menyanyi dangdut dari panggung ke panggung," ujar gadis hitam manis ini. Tak mengherankan bila Desi sudah gugur pada penyisihan kelas 52 kilogram.
"Memimpin partai wanita tidak berbeda dengan laki-laki, tapi memang harus lebih sabar. Mereka kan petinju baru. Jadi, masih banyak salah teknik atau hal lucu," kata Buce Lilipori, salah seorang wasit dalam kejuaraan ini, "Kesalahan paling sering adalah open glove."
Open glove, memukul dengan menggunakan buku jari bagian dalam, adalah kesalahan dasar yang seharusnya tidak boleh terjadi. "Tapi saya juga kerap menemukannya pada petinju pria pemula," kata Buce lebih lanjut.
Kendati kerap pula melakukan kesalahan teknis, Veronika, penakluk Herliana, cukup terasah. Gadis 18 tahun dari Manado ini sudah enam bulan berlatih serius di Sasana Pertiser di kotanya. Sebelumnya, ia dikenal sebagai karateka bersabuk hijau. Anak seorang kuli bangunan ini berharap olahraga tinju bisa memperbaiki taraf hidup keluarganya. "Mungkin belum sekarang, tapi saya berharap tinju dapat memperbaiki ekonomi kami," katanya.
Veronika benar. Dalam kejuaraan nasional kali ini, tidak besar hadiah yang ditawarkan. Peserta yang terpilih menjadi petinju harapan akan mendapat hadiah Rp 1 juta, petinju favorit Rp 750 ribu, dan petinju berbakat Rp 500 ribu. Akomodasi dan transportasi memang ditanggung panitia, tapi uang saku per hari sangat kecil, hanya Rp 10 ribu. "Target kejuaraan ini baru pengenalan kepada masyarakat," kata Ferry Moniaga, ketua panitia pelaksana.
Bagaimana dengan keselamatannya? "Saya tegaskan, tidak ada masalah," kata Rahim Soemadilaga, 70 tahun, dokter kesehatan yang sudah lama malang-melintang di dunia olahraga. Tak hanya kepalanya, dada petinju wanita pun dilengkapi pelindung, body protector.
Selama ini, perkembangan tinju wanita di Indonesia terhambat urusan kepantasan. Majelis Ulama Indonesia pernah menyerukan bahwa olahraga tinju kurang cocok bagi wanita. Tapi imbauan itu belakangan kurang bergema dan Pertina kian rajin memantau bibit petinju wanita di negeri ini. Apalagi dalam SEA Games XXIII di Filipina pada 2005 secara resmi tinju wanita akan dipertandingkan.
Dari kejuaraan pertama itu, terlihat cukup banyak perempuan yang ingin menjadi petinju. Malah ada orang tua yang secara sadar menyiapkan putrinya menjadi petinju, seperti keluarga Muhammad Ali. Sehari-hari ia menjadi manajer bagi Herliana dan anaknya yang lain. Itu sebabnya sang ayah cukup kecewa ketika putrinya kalah. "Sebenarnya kekuatan utama Herliana upper cut dan hook, sementara pelatihnya menginstruksikan untuk memperbanyak jab dan straight," ujar Ali.
Nyonya Nina tak terlalu bersedih. Si ibu juga tampak tabah ketika menyaksikan putrinya main bogem mentah. "Saya sudah terbiasa melihat Herliana berlatih. Tak ada lagi rasa waswas menyaksikan anak saya bertinju di atas ring," katanya.
Andy Marhaendra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo