Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kontes Mahal Menuju Puncak

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima pasang calon presiden dan wakil presiden telah dinyatakan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum, Sabtu pekan lalu. Hampir 150 juta pemilih di seluruh Indonesia, bahkan juga di luar negeri, akan menentukan pemenangnya, 5 Juli mendatang. Bila tak ada yang mampu meraih lebih dari separuh suara yang sah dan setidaknya mencatat lebih dari 20 persen dukungan di separuh provinsi yang ada, dua pasangan yang merengkuh dukungan terbanyak akan dipertandingkan lagi pada 29 September. Kandidat yang mengumpulkan suara terbanyak pada ronde kedua itu akan disahkan menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober nanti.

Mereka yang terpilih ini akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama yang dipilih langsung oleh orang ramai. Siapa pun sang pemenang itu akan memiliki pijakan legitimasi yang sangat kuat. Sebab, mereka mendapat mandat langsung dari rakyat dan, seperti kata orang bijak sejak zaman Romawi kuno dulu, vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Tentu bukan berarti kita akan mendapatkan presiden dan wakil presiden yang ideal. Kesempurnaan tak mungkin didapatkan di dunia yang fana. Namun, tidaklah terlalu berlebihan untuk berharap pucuk pimpinan yang terpilih nanti akan menjalankan pemerintahan yang lebih baik dari sekarang. Kendati masih ada kalangan?terutama di kelompok elite?yang yakin bahwa kebanyakan pemilih di Tanah Air ini belum mampu memilih pimpinan bangsanya secara langsung, sejarah negara-negara lain menunjukkan bahwa rakyat jelata acap kali lebih cerdas dan berani melakukan pilihan politik ketimbang kaum terpelajarnya.

Lebih dari dua abad silam, persoalan ini pernah menjadi ajang perdebatan sengit dua bapak bangsa Amerika Serikat. Alexander Hamilton, yang terpengaruh oleh pikiran Plato dalam karya agungnya, "Republik", berpendapat urusan negara sepatutnya diserahkan kepada kelompok terpelajar, sementara Thomas Jefferson berkeyakinan setiap warga punya hak yang sama dalam menentukan pilihan politiknya. Warga Amerika beruntung bahwa Jefferson menang dalam perdebatan itu dan Hamilton bersedia mengaku kalah. Sebab, terbukti pilihan tersebut membawa Amerika menjadi negara terkuat dan terkaya di dunia, sementara yang mengikuti aliran pikiran elitis Plato?seperti Uni Soviet?malah berakhir dengan bencana.

Memang Thomas Jefferson tak menang mutlak dalam polemik yang termuat dalam dokumen The Federalist Paper itu. Ia cukup terpengaruh oleh argumen sahabatnya dan akhirnya berkeyakinan bahwa sistem demokratis hanya dapat berjalan baik jika rakyat pemilih dapat membaca dan menulis hingga mengetahui isi kontrak-kontrak?niaga, politik, ataupun sosial?yang dihadapinya. Itu sebabnya ia membebankan pada negara untuk menyediakan pendidikan gratis minimal tiga tahun bagi setiap warga.

Indonesia saat ini jelas lebih maju ketimbang Amerika Serikat dua abad silam. Tingkat melek huruf penduduk negeri ini jauh lebih tinggi, dan pemerintah secara resmi telah menjalankan program wajib belajar sembilan tahun. Belum lagi sarana komunikasi massa sekarang ini boleh dikatakan telah mengalami lompatan kuantum berkali-kali jika dibandingkan dengan 200-an tahun lalu. Maka, wajar jika diasumsikan bangsa Indonesia lebih siap menjalankan sistem demokrasi ketimbang rakyat Amerika ketika baru merdeka.

Kendati demikian, bukan berarti kita boleh berleha-leha. Sebab, kualitas sistem demokratis sangat bergantung pada tingkat partisipasi warga. Semakin tinggi keikutsertaan dan kepedulian masyarakat, semakin tinggi pula kualitas demokrasi yang dihasilkan. Karena itu, kehadiran lima pasang calon pucuk pimpinan negara hendaknya diterima sebagai sebuah keniscayaan, terlepas dari masih banyaknya ketidaksempurnaan pada para kandidat tersebut. Masih ada waktu untuk berjuang agar para calon itu betul-betul berkomitmen menjalankan pemerintahan yang bersih, berwibawa, adil, dan efektif, sebelum pilihan dijatuhkan.

Mendesak mereka agar memasukkan tokoh-tokoh yang dikenal berkompeten dan berintegritas untuk menjadi anggota kabinet adalah salah satu caranya. Terutama dalam bidang penegakan hukum, seperti Jaksa Agung, Kepala Polisi, Menteri Kehakiman, dan pembentukan Komisi Kepolisian Negara ataupun Komisi Yustisial. Komitmen pada desentralisasi dan proses demokratisasi juga harus tersirat dari sosok-sosok yang dicalonkan menjadi Menteri Dalam Negeri ataupun Menteri Pertahanan. Sementara itu, kehati-hatian dalam mengelola ekonomi sepatutnya tecermin dari tim ekonomi yang digadang-gadang.

Semua anggota tim kampanye tiap kandidat, baik yang resmi maupun yang bukan, juga perlu disorot. Jika banyak dari anggota tim pendukung ini dikenal sebagai figur yang berasal dari dunia kelam atau pada masa lalu dikenal sebagai sosok-sosok yang bergelimang dalam lingkungan yang korup, kandidat yang mereka dukung hendaknya jangan dipilih. Kampanye memang membutuhkan dana, namun bukan berarti semua bantuan layak diterima.

Adalah lebih baik menerima sumbangan dalam jumlah sedikit dari pendukung yang berjumlah banyak ketimbang sumbangan besar dari sedikit donor. Dengan dukungan dari hanya 10 juta simpatisan yang rata-rata menyumbang hanya Rp 20.000 saja, akan dikumpulkan dana Rp 200 miliar yang, menurut setidaknya dua pasang kandidat, dianggap telah memadai.

Itu sebabnya kita sebaiknya tak cuma menjalankan pemilihan umum hanya dengan ikut mencoblos, tapi juga mengirimkan sumbangan semampunya kepada calon presiden dan wakil presiden yang dianggap terbaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus