Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti semua orang di Indonesia, saya merasa sangat terlibat dengan drama penyanderaan dua kru RCTI, Ersa Siregar dan Ferry Santoro. Ketika saya dengar berita ke-matian Ersa, saya terguncang seolah seorang sahabat baik telah tiada dengan tiba-tiba. Lalu Ferry dibebaskan dan saya ingin merangkul televisi karena merasa anggota keluarga saya telah kembali.
Tetapi manakala kita hanyut dalam ceria perjumpaan dengan Ferry yang selamat dan sehat, muncul satu pertanyaan: apa sebetulnya alasan GAM menyekapnya begitu lama?padahal sudah jelas penahanan itu telah memperburuk citra GAM di dalam dan luar negeri? Pertanyaan yang lebih luas: kenapa kelompok gerilyawan menyandera?
Palang Merah Internasional (ICRC) mendefinisikan sandera sebagai seseorang yang telah ditangkap dan ditahan secara ilegal, "di mana terdapat pihak ketiga yang mendapat tekanan, secara eksplisit atau implisit, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu" sebagai syarat pelepasan atau sebagai jaminan keamanan bagi orang yang ditahan.
Penyanderaan bagaimanapun telah melanggar prinsip paling dasar dari hukum kemanusiaan internasional, yang menyebut bahwa golongan sipil dan kelompok tak bersenjata (non-combatants) harus dilindungi. Namun berulang kali kita saksikan bagaimana kaum sipil disandera: tahun 1996 oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, tahun 2002 oleh gerilyawan Chechnya di Moskow, pada April 2004 oleh pemberontak Irak di Irak.
Masyarakat dunia juga pernah terkejut dan mengecam Mahkamah Agung Israel ketika pada Maret 1998 mereka menetapkan bahwa pemerintah Israel dibenarkan menahan orang sipil Libanon sebagai sandera untuk menjamin pelepasan pasukan Israel yang ditahan. Indonesia bukan satu-satunya negara yang telah menahan para istri, ibu, atau anak kaum pemberontak guna mengusahakan dan memaksa mereka menyerah?bentuk lain dari praktek buruk ini.
Penyanderaan hampir selalu menimbulkan amarah. Penyanderaan bukanlah cara yang efektif untuk memperoleh dukungan atau simpati internasional. Setelah 700 penonton teater di Moskow disandera oleh gerilyawan Chechnya pada Oktober 2002, Human Rights Watch membuat pernyataan penting. Kata mereka, "Warga sipil Chechnya sudah menderita akibat pelanggaran berat hak asasi manusia dalam perang. Penyanderaan orang sipil sepenuhnya tidak bisa dibenarkan dan hanya akan memunculkan kebencian."
Lalu kenapa penyanderaan tetap terjadi? The International Federation of Journalists (IFJ), organisasi yang aktif terlibat dalam usaha pembebasan Ersa dan Ferry, dalam bukunya, Live News: A Survival Guide for Journalists, menyebut empat motivasi pokok penyanderaan.
Pertama, sandera bisa dipakai sebagai komoditas politik untuk menarik perhatian publik untuk mencapai tujuan tertentu si penyandera. Kedua, sandera bisa menjadi komoditas ekonomi, yakni digunakannya uang tebusan untuk membiayai aktivitas si pemberontak. Ketiga, sandera dapat ditangkap sebagai pembalasan karena sandera itu dianggap mewakili negara, pemerintah, atau organisasi musuh. Terakhir, sandera bisa digunakan sebagai asuransi?tameng pelindung si penyandera dari serangan pihak lawan.
Ersa dan Ferry hampir pasti telah disekap untuk publisitas dan asuransi itu. Setiap hari RCTI menayangkan gambar keduanya dengan keterangan lama waktu penahanan mereka, sehingga secara tak langsung GAM bisa mengingatkan penonton Indonesia akan gagalnya operasi militer Indonesia di Aceh.
Kesediaan GAM mengizinkan kedua wartawan itu berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka melalui telepon satelit membuktikan tujuan mencari perhatian publik lebih besar daripada tujuan kemanusiaan. "Ishak Daud memuja dua hal, Tuhan dan wartawan asing," kata seorang yang terlibat dalam negosiasi dengan panglima GAM itu. Selain itu, GAM memanfaatkan tawaran perundingan pelepasan Ersa dan Ferry sebagai cara untuk mengulur waktu guna melindungi pasukan mereka.
Pada Oktober 2003 Ishak Daud menuntut agar setiap pembebasan tahanan diikuti gencatan senjata selama dua hari di seluruh Aceh Timur?syarat yang langsung ditolak oleh TNI. Ketika panglima GAM dan para pengikutnya terkepung, gencatan senjata selama dua hari akan memberikan ruang gerak yang cukup bagi mereka.
 Kesulitan GAM untuk mengubah tujuan jangka pendek menjadi keuntungan jangka panjang penyanderaan tampak jelas setelah kematian tragis Ersa. Penahanan Ersa telah mengingatkan banyak orang di Indonesia tentang perang di Aceh. Dan itu bukan hanya karena Ersa adalah seorang wartawan kondang, tetapi karena ia bukan orang Aceh. Ia adalah orang terjebak dalam konflik yang tidak diciptakannya.
GAM semestinya bisa memanfaatkan curahan duka seluruh bangsa itu dengan langsung membebaskan Ferry Santoro. Namun GAM terus menahan Ferry dan memberikan tuntutan yang tak mungkin dirundingkan dengan pemerintah Indonesia. Opini publik yang semula cenderung mengkritik TNI karena dinilai terlalu cepat menembak Ersa, karena kebandelan GAM, lalu berbalik justru mendukung TNI.
Di Irak, setelah adanya gelombang penculikan pekerja asing bulan lalu, Al-Jazeera menulis dalam tajuknya:Â
"Penyanderaan adalah perbuatan yang kejam walaupun bagi kelompok pejuang?yang merasa memiliki sarana terbatas untuk menyerang musuh?penangkapan orang tak bersenjata yang dianggap musuh telah menjadi pilihan yang efektif. Namun penyanderaan sebenarnya pilihan yang kontraproduktif karena cara ini bisa membuat malu para pelakunya dan tidak memberikan hasil apa-apa. Meski telah menimbulkan derita di masyarakat, pemerintah tidak boleh begitu saja menuruti tuntutan para penculik."
Kolombia adalah contoh negara tempat persoalan sandera telah menimbulkan tekanan berat kepada bangsa itu. Kolombia adalah negara dengan korban sandera tertinggi di dunia.
Pada 2003 saja lebih dari 2.000 orang diculik, hampir sepertiganya oleh kelompok gerilya sayap kiri yang disebut Revolutionary Armed Forces of Columbia (RAFC). RAFC tidak hanya memakai sanderanya sebagai alat untuk melakukan tekanan politik terhadap pemerintah, tetapi?menurut laporan International Crisis Group (ICG) Maret 2004?juga menjadikannya sebagai sumber penghasilan yang terpenting setelah perdagangan narkotik.
Tiga bulan yang lalu RAFC menawarkan pembebasan sekitar 60 sandera militer dan politik sebagai pengganti pelepasan anggota RAFC yang dipenjara oleh pemerintah Kolombia. Mereka juga menuntut "demiliterisasi" di dua distrik di bagian selatan negara itu karena di sana RAFC banyak beraktivitas.
Pemerintah menolak tuntutan yang terakhir. Tetapi ada indikasi pemerintah mempertimbangkan pertukaran tahanan jika semua tokoh yang disandera RAFC?bukan hanya tokoh politik dan militer?dibebaskan. Gerilyawan yang dibebaskan pemerintah Kolombia juga harus menjalani proses re-edukasi dan demobilisasi yang dipantau dengan sangat ketat agar tidak ada peluang bagi mereka untuk kembali bertempur.Â
Tawaran ini pun menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan elite politik Kolombia. Apalagi pemerintah telah mendukung pendekatan militer untuk membasmi para gerilyawan, dan kebijakan ini disokong masyarakat luas. Merundingkan pertukaran tawanan, menurut laporan ICG, dapat dianggap merongrong kebijakan itu dan bisa berakibat hilangnya dukungan militer yang menjadi andalan pemerintah.
Ada kecemasan di kalangan masyarakat bahwa RAFC tidak akan menjadikan pertukaran tawanan sebagai langkah awal menuju perdamaian melainkan hanya untuk mengembalikan anggota mereka yang ditahan untuk membangun kembali komando militer mereka.
Perhitungan politik memang penting. Tapi politik tidak boleh mengalahkan isu yang paling krusial, yakni bagaimana menjamin keselamatan pria, wanita, dan anak-anak yang tanpa dosa telah dijadikan alat tawar-menawar dalam suatu permainan yang aturan dan pemainnya selalu berubah.
Kita boleh saja berusaha memahami motivasi para gerilyawan atau pemerintah yang telah menangkap kaum sipil tak bersalah. Tapi kita juga harus tetap mengutuk tindakan para penyandera. Para pelaku penyanderaan perlu mengerti bahwa apa pun manfaat jangka pendek yang mereka cari, harga jangka panjang sebuah penyanderaan sangatlah mahal.
Penahanan Ferry dan Ersa sudah membuat GAM kehilangan banyak dukungan media yang sebetulnya mereka dambakan. Ishak Daud bisa melihat prinsip dasar hukum kemanusiaan internasional dan perlakuan terhadap orang sipil. Jika ia ingin dihormati dunia internasional, ia bisa memulai dengan berjanji tidak akan pernah menyandera lagi.
Sidney Jones
*) Direktur International Crisis Group (ICG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo