Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA peristiwa hampir bersamaan patut disyukuri dari silang sengkarut Aceh: pembebasan sandera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan perubahan status Nanggroe Aceh Darussalam dari darurat militer ke darurat sipil. Kedua peristiwa ini, bagaimanapun, bagaikan setitik cahaya di tengah gulita buntunya dialog di antara pihak yang bersengketa.
Meski berjalan tertatih-tatih, bahkan di babak akhir sempat menciptakan ketegangan baru, pembebasan juru kamera RCTI, Ferry Santoro, dan sejumlah sandera lain akhirnya terwujud, dua pekan lalu. Kenyataan ini membuktikan akal sehat dan niat baik selalu menang di atas prasangka dan sikap saling mencurigai. Kendala-kendala "teknis", baik dari pihak GAM maupun TNI, akhirnya dikalahkan oleh pertimbangan mendasar, yakni memuliakan kemanusiaan.
Euforia atas pembebasan Ferry dan sandera lain, serta penurunan derajat kegawatan di Aceh, mungkin saja untuk sejenak membuat kita "terlena" akan kisruh-misruh di wilayah paling barat Nusantara itu. Tapi, apa yang bisa ditangkap dari fenomena ini? Pertama-tama adalah perubahan sikap yang melunak pada dua pihak yang berkonflik: TNI dan GAM. Dan kedua: makna fenomena itu sendiri bagi rakyat Aceh, yang sudah letih litak dilantak konflik bersenjata selama puluhan tahun.
Pembebasan Ferry Santoro dan sandera lain bisa dibaca sebagai isyarat menangnya akal sehat di kalangan petinggi GAM. Penculikan atas penduduk sipil, termasuk wartawan yang bertugas melaporkan kebenaran dari medan konflik, tak pernah menyelesaikan masalah pokok. Sejarah membuktikan, para penculik di mana pun tak pernah mendapat kredit atas tindakan yang bukan saja culas tapi juga mencorengkan aib itu.
Kesabaran TNI, yang dibantu perunding dari berbagai lembaga partikelir, juga patut dicatat sebagai perkembangan yang mencerahkan harapan. Keberadaan para negosiator itu membuktikan TNI tak bisa sendirian menghadapi situasi yang berkembang sangat kompleks, apalagi dengan mengandalkan bedil belaka. Kemitraan dan kerja sama seperti ini tak hanya dibutuhkan di Aceh atau wilayah konflik yang lain, bahkan dalam keadaan "normal" sekalipun.
Kemitraan dan kerja sama itulah, seyogianya, yang menyemangati perubahan status Nanggroe Aceh Darussalam dari keadaan darurat militer ke darurat sipil. Sebab, kalau tidak, akan sulit sekali mencari indikator signifikan perubahan derajat kedaruratan itu. Apalagi, meskipun sudah memasuki darurat sipil, operasi militer akan terus dilancarkan, seperti dinyatakan penguasa darurat sipil Abdullah Puteh.
Mungkin yang perlu dipertimbangkan adalah "format" operasi militer itu, di samping operasi pemulihan lain yang tak kalah mendesak, seperti pemulihan ekonomi, penegakan hukum, dan pemulihan kepercayaan warga Aceh terhadap itikad baik pemerintah. Apalagi, beberapa saat sebelum memasuki darurat sipil, beredar isu lumayan gawat tentang korupsi di tubuh birokrasi provinsi yang kaya akan sumber daya alam itu.
Bagi rakyat Aceh, pembebasan sandera dan perubahan status ke darurat sipil hanya berarti jika ada jaminan bahwa tak akan ada lagi penduduk sipil yang diculik GAM dan tak akan ada lagi operasi militer yang salah sasaran. Jika "cita-cita" minimal ini sudah tercapai, langkah berikutnya adalah penegakan hukum dan pembangunan ekonomi yang merujuk pada keadilan. Masalah keadilan ini terdengar sederhana, tapi bukankah itu picu semua konflik (bersenjata) di Serambi Mekah itu, bahkan sejak masa muda Republik?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo