Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tertatih Sabar Gorky, setapak langkahnya terasa makin sulit. Hujan salju deras mengguyurnya di atas ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut. Tapi langkahnya tak goyah. Dingin menembus tubuhnya. Nyali membakar terus semangatnya. Ia tak menghentikan langkahnya.
Satu-satunya kakinya terus bergerak di atas ketinggian Puncak Carstensz, Papua, salah satu puncak gunung tertinggi dunia. Lelaki itu tak kenal menyerah dengan keterbatasannya. Dia terus maju dengan susah payah, tongkat penyangga terus dia jejakkan ke tubuh gunung bersalju itu. “Carstensz… Carstensz…” begitu kata dia berulang-ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat di Puncak Carstensz, 5 Oktober 2017, tangisnya pecah. Penakluk gunung-gunung di Nusantara ini tak kuasa meluapkan segala rasanya. Ujung susah payah tercapai sudah. Menangis lelaki perkasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebetulnya sudah kali kedua Carstensz ia taklukkan, setelah 2015. Tapi menurutnya ekspedisi pendakian bersama Tim Bhinneka Tunggal Ika ini lebih menantang, hujan badai salju harus dia terjang.
Sabar namanya. Lelaki 50 tahun asal Solo ini sejak 1985 menggeluti petualangan alam, bukan hanya pendakian gunung tapi juga panjat tebing dan arung jeram. Pada 1996, dalam perjalanan dari Jakarta ke Solo, ia jatuh dari kereta api, kaki kanannya harus diamputasi. Terhenti segala penaklukannya, getir hidupnya, susah hatinya, terguncang segalanya. Satu kaki yang menjejak puncak Merapi, Sindoro, Sumbing, Merbabu itu tak lagi melekat padanya.
Bukan gunung-gunung tinggi itu kemudian yang harus ditaklukannya, tapi dirinya sendiri. Bukan arung jeram ganas yang harus ia lawan, tapi dirinya sendiri yang ia harus tundukkan. Waktu membuatnya harus berdamai dengan diri sendiri.
Pelan-pelan ia bangkit. Tak lagi meratapi kekurangannya berlama-lama. Pada 2009, medali emas ia raih di kejuaraan panjat dinding Asia di Korea Selatan.
Satu kaki kirinya kemudian berhasil menjejakkan salah satu puncak tertinggi dunia, Gunung Elbrus (5.642) tepat di hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2011. Di sana nama Gorky itu kemudian disematkan padanya, dalam bahasa Rusia, gorky bermakna kepahitan. Pahit dan berliku jalan hidup Sabar Gorky.
Kemudian November 2011, puncak Gunung Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania pun ia sambangi.Menuju puncak Kilimanjaro, saat itu, tim lain yang berpapasan dengannya meredahkannya. Tapi itu justru menantang dirinya untuk membuktikan, satu kakinya harus sampai di puncak tertinggi itu. Dan pada 18 Agustus 2018, puncak Elbrus kembali didakinya.
Empat dari puncak tertinggi dunia telah ia datangi, tiga puncak lain dari seven summit ingin pula ia kunjungi, dengan satu kaki kirinya.
Di puncak-puncak gunung tertinggi dunia itu keberaniannnya teruji, keteguhannya mengalahkan ketakutan, kegigihannya menapaki jalur pendakian sesulit di bibir-bibir jurang. Kepada putrinya Nova, ia selalu tuliskan suatu saat anaknya pun bisa berdiri di tempat ia taklukkan puncak dunia.
Susah payah merah putih ia kibarkan di puncak-puncak tinggi dunia, dengan satu kaki. Berkibar-kibar bendera penuh kebanggaan. Air mata mana yang tak jatuh. Sabar Gorky telah mampu menaklukkan dirinya sendiri, pendakian tersulit dari puncak tertinggi dunia manapun juga.
“Rencana tahun 2020 kemarin seharusnya pendakian ke Puncak Carstensz, Papua lagi dan Vinson Massif di Antartika, tapi karena dampak Covid-19 ini jadi tertunda semua, ditangguhkan. Sampai akhir 2021, belum ada program lagi, entah kapan lagi, mudah-mudahan ada yang peduli kepada saya untuk bisa membawa nama Indonesia lagi ke puncak-puncak tertinggi dunia,” kata Sabar Gorky kepada Tempo.co