Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Satu Emas Di Antara Rekor Baru

Sampai hari ke-11 Asian Games yang berlangsung di new delhi. Indonesia hanya mampu meraih 1 medali emas dari cabang tenis beregu, sementara negara-negara lain hampir tiap hari menambah medali emas. (or)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUSTBDJO Tarik maupun Tintus Ariyanto heran begitu mudah medali emas pertama bagi kontingen Indonesia itu mereka raih. Padahal, begitu memasuki lapangan berumput itu, kedua petenis Indonesia jadi sudah getir menghadapi teriakan sekitar 3.000 penonton India yang tentu saja menjagoi pemain tuan rumah, Srinivasan Vasedevan dan Nandan Bal. Yang dihadapi kedua petenis Indonesia ternyata petenis-petenis andalan tuan rumah. "Saya tak menduga kami bisa menang begitu mudah, padahal kans sebelum pertandingan adalah 60-40," ujar pelatih Soedjono. Dalam pertandingan 24 November itu Vasudevan dikalahkan Yustedjo 4-6 dan 4-6 dalam waktu kurang dari satu jam. Sedang Bal, pemain nomor 1 India, ditundukkan Tintus dalam waktu 30 menit dengan angka 3-6 dan 1-6. Pertandingan tenis beregu ini berakhir dengan skor 2-1 untuk Indonesia, karena India sempat menang dalam partai ganda. Kemenangan itu agaknya banyak ditentukan oleh Yustedjo yang kelihatan bermain dengan kepala dingin--tanpa sedikit pun menghiraukan penonton yang memihak lawannya. Sebelumnya Ketua Kontingen Indonesia, Gatot Suwagio, memang sudah memperingatkan Yustedjo, "agar jangan main ejek-ejekan." Pemain itu pun, tak seperti biasanya, tak banyak tingkah, bemain renang dengan servisnya yang sulit ditangkap. Bola-bola lawan yang divolley tajam pun bisa dia selamatkan. "Dia adalah pemain tenis yang komplit. Penempatan-penempatan bolanya bagus sekali," komentar pemain jangkung, 185 cm, Vasudevan, atas Yustedjo. Tintus, sebagaimana biasa, bermain tenang. Menghadapi servis Bal yang selalu keras, hampir selalu dapat ditangka, Tintus. Sial bagi pemain India itu adalah karena ia banyak salah pukul, hingga mudah dimatikan Tintus. "Tak pernah saya bermain seburuk ini," kata Bal dengan penuh penyesalan. Emas pertama buat Indonesia itu disambut dengan makan siang bersama di tribune stadion. "Saya tidak menyalahkan Yustedjo bertanding di lapangan rumput di Singapura," kata Gatot Suwagio, "yang saya keberatan, dia berangkat tanpa pamit." Apa kata Yustedjo? "Rahasianya, bermain di lapangan rumput jangan tunggu bola naik--langsung sabet saja," kata petenis utama Indonesia itu. Sampai hari ke-11 AG berlangsung, Indonesia terpaksa harus puas dengan satu medali emas dari cabang tenis beregu itu. Sementara negara-negara lain hampir setiap hari menarnbah medali emas. Malahan beberapa atlet berhasil memecahkan rekor AG. Misalnya, pelompat galah dari Jepang, Tonomi Takahashi. Di Stadion Nehru 25 November lalu ia melompati mistar 5,30 m dan langsung mempersembahkan emas pertama di hari pertama lomba atletik. "Saya tidak puas dengan hasil siang ini, karena lompatan terbaik saya 5,51 m yang saya ciptakan di London Juli lalu," kata atlet Jepang itu. Menurut dia, pada lompatannya di Stadion Nehru itu "angin agak cepat dari depan." Guru pendidikan jasmani dengan tubuh setinggi 171 cm itu agaknya merupakan perpaduan antara kondisi fisik yang terjaga baik dan intelejensi tinggi. Beberapa saat sebelum melompat, berkali-kali ia mengamati arah angin yang memang sering berubah-ubah. Berapa kali pula ia memungut rumput kering dan menaburkannya ke udara: melihat arah angin. Sebelum mengambil ancang-ancang, ia masih sempat melihat bendera AG yang dikibar-kibarkan angin. Setelah berlari dengan galah terangkat di tangan, ada dua kali Takahashi membatalkan lompatannya--mungkin karena merasa belum pas, atau karena masih menunggu arah angin yang tepat. Tapi pada saat dia harus melompat, angin. rupanya tetap kurang baik. Ia gagal menyamai rekornya sendiri, meskipun melampaui rekor AG lama yang 5,10 m. "Ada masa menang, ada masa gagal--tapi saya sudah melakukannya sebisa mungkin," kata atlet yang ratarata berlatih 6 hari seminggu itu. Tak ada seorang pun yang merebut emas dengan begitu dramatik selain Ali Pakizeh Djam, 26 tahun. Pengangkat barbel dari Iran ini disambut dengan teriakan Allahu-akbar dan puja-pujaan kepada Ayatullah Khomeini begitu ia muncul di panggung--setelah 13 orang lawannya untuk kategori 75 kg rontok satu-satu. Para peserta berjuang menyamai rekor AG 142,5 kg untuk snatch dan 170 kg untuk merk yang diciptakan orang kuat Jepang, Ohuchi, tahun 1966. Disaksikan sekitar 2.000 penonton yang kebanyakan orang Iran dan Irak, pemuda berwajah bagus dan bercambang itu, mula-mula dengan mudah mengangkat barbel 145 kg (snatch). Lalu ia minta tambahan 10 kg lagi. Sambil berkomat-kamit mengucapkan doa, dua kali ia gagal mengangkat 155 kg. Ia baru berhasil pada angkatan ke-3. Pada angkatan jerk, ia muncul di gelanggang setelah Hendrik Effendi dari Indonesia dan delapan peserta lainnya menyerah pada barbel 185 kg. Pada angkatan pertama, Pakizeh langsung berhasil memikulnya. Gelanggang pun berubah menjadi hingar bingar oleh teriakan orang-orang Iran dalam bahasa mereka yang membingungkan penonton-penonton lain. "Kalau anda menginginkan rekor AG yang baru, harap diam," teriak ketua dewan juri dari Jepang lewat pengeras suara. Barulah orang-orang Iran yang selalu tampak beringas itu diam. Pakizeh minta tambahan beban 7,5 kg--berarti ia akan melampaui 22.5 kg rckor AG. Setelah memperbaiki ikat pinggang dan menepukkan tangan di tempat tepung, ia berkonsentrasi. "Allah, Muhammad, Zahra, Ali . . . ," terucap dari bibirnya. Tapi barbel 192,5 kg itu hanya sampai di dadanya. Dua kali ia mencoba lagi, tetap gagal. Dia minta barbel diturunkan menjadi 190,5 kg. Sekali ini gelanggang benarbenar seperti perang di Teluk Parsi. "Allahu-akbar," berulang-ulang terdengar dari arah penonton. Pakizeh berhasil. Buruh kereta api yang masih jangan itu melompat kegirangan. Kemenangan Pakizeh itu tak urung memberi warna lain bagi hubungan IranIrak yang sedang berperang. Ketika upacara penghormatan pemenang, ia menjabat tangan Mohammed Yassin dari Iran yang mendapat perunggu. Sesudah itu keduanya melambai-lambaikan tangan di hadapan para juru kamera. Mengomentari sang juara yang lebih dulu menjabat tangan atlet Irak itu, ketua kontingen Iran, Asharzaden berkata: "Kami percaya bahwa kami harus menolong yang lemah. Karena itulah Pakizeh lebih dulu mengulurkan tangan kepada Mohammed Yassin, yang baru saja dikalahkan." Kontingen RRC yang tetap unggul, menampilkan Zhang Gouwei di nomor lari 10.000 m sebagai pemegang medali emas. Guru sekolah menengah berusia 23 tahun ini memang punya latar belakang keturunan sebagai pelari tangguh. "Nenek moyang saya berjalan kaki yang kuat di Pegunungan Yunan," katanya sesaat sebelum dikalungi medali emas. Tetapi, tambahnya, "sejak sarapan pagi tadi dan dalam perjalanan ke stadion ini, jantung saya berdebar-debar. Untuk mengatasi ketegangan, saya melakukan pemanasan cukup lama," katanya lewat seorang penerjemah. Pelari yang baru pertama kali ke luar negeri itu, tampaknya seorang atlet yang taktis. Begitu 21 pelari dari 15 negara menghambur dari garis start, Zhang hanya menempel di tengah-tengah. Ia membiarkan pelari India, Sivnath Singh, terus memlmpin di depan. Baru pada putaran ke-22 di lintasan tartan Stadion Nehru, ia mengambil alih pimpinan. Tapi ia tetap membiarkan lawan-lawannya berjarak 2 meter di belakangnya. Hanya ketika pelari Jepang dan Korea, pada jarak 150 m menjelang finish, mulai mengancam, ia mulai mengamuk. Dengan memejamkan mata dan mulut ternganga, ia menghambur bagai kijang menembus garis finish dengan waktu 29 menit 37,56 detik--18 detik lebih baik dari rekor AG yang diciptakan pelari Srilangka, S. Rosa. Zhang yang bertubuh kecil (tinggi sekitar 165 cm) itu sebenarnya pelari nomor dua di negerinya. Dalam kejuaraan nasional ia pernah mencapai waktu lebih baik, 29 menit 7,68 detik. Ia mengaku lebih suka makan ayam daripada daging babi. "Saya tak punya tablet vitamin dan saya minum air biasa saja," tuturnya. Tapi sesaat setelah penyerahan medali, ia sibuk di seputar lapangan: anak Cina itu memotret kanan kiri dengan kamera kecil buatan Jepang. Katanya ia ingin membeli sebuah arloji buatan Jepang kalau sudah pulang nanti. Atlet RRC hanya menerima uang saku sekitar US$ 20 selama di India--sementara atlet Indonesia mengantungi US$ 450. Pelari wanita dari Filipina, Lydia de Vega, kembali mengejutkan. Pemegang medali emas SEA Games XI di Manila dan pernah menjadi pemecah rekor AG, di Tokyo dalam nomor 4 x 100 m, mengantungi medali emas di New Delhi untuk lari 100 m dengan 11,76 detik. Dengan begitu ia adalah penyumbang emas kedua bagi kontingennya--setelah emas pertama direnggut atlet Filipina yang lain di cabang renang. Gadis berusia 17 tahun dan pemain film itu, memang gagal menyamai rekor Asia atas namanya sendiri di Tokyo yang 11,60 detik. Ia juga gagal turut dalam nomor 200 m karena kakinya cedera ketika merebut emas. Namun putri anggota polisi Manila itu kini tercatat sebagai wanita tercepat di Asia. Dan dia tetap atlet Filipina pertama yang pernah mewakili Asia ke kejuaraan atletik dunia tahunan di Roma September 1981. Lydia berlatih paiing sedikit 5 jam sehari, enam hari seminggu sepanjang tahun. Ia pernah mengaku sering salah ketika start. Dan ketika start di AG India itu pun ia kikuk, sehingga meragukan kemenangannya. Baru sesudah melewati jarak 50 m ia mengaku akan menang. Dan ia memang mendapat emas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus