YUSTBDJO Tarik maupun Tintus Ariyanto heran begitu mudah medali
emas pertama bagi kontingen Indonesia itu mereka raih. Padahal,
begitu memasuki lapangan berumput itu, kedua petenis Indonesia
jadi sudah getir menghadapi teriakan sekitar 3.000 penonton
India yang tentu saja menjagoi pemain tuan rumah, Srinivasan
Vasedevan dan Nandan Bal.
Yang dihadapi kedua petenis Indonesia ternyata petenis-petenis
andalan tuan rumah. "Saya tak menduga kami bisa menang begitu
mudah, padahal kans sebelum pertandingan adalah 60-40," ujar
pelatih Soedjono. Dalam pertandingan 24 November itu Vasudevan
dikalahkan Yustedjo 4-6 dan 4-6 dalam waktu kurang dari satu
jam. Sedang Bal, pemain nomor 1 India, ditundukkan Tintus dalam
waktu 30 menit dengan angka 3-6 dan 1-6. Pertandingan tenis
beregu ini berakhir dengan skor 2-1 untuk Indonesia, karena
India sempat menang dalam partai ganda.
Kemenangan itu agaknya banyak ditentukan oleh Yustedjo yang
kelihatan bermain dengan kepala dingin--tanpa sedikit pun
menghiraukan penonton yang memihak lawannya. Sebelumnya Ketua
Kontingen Indonesia, Gatot Suwagio, memang sudah memperingatkan
Yustedjo, "agar jangan main ejek-ejekan." Pemain itu pun, tak
seperti biasanya, tak banyak tingkah, bemain renang dengan
servisnya yang sulit ditangkap. Bola-bola lawan yang divolley
tajam pun bisa dia selamatkan. "Dia adalah pemain tenis yang
komplit. Penempatan-penempatan bolanya bagus sekali," komentar
pemain jangkung, 185 cm, Vasudevan, atas Yustedjo.
Tintus, sebagaimana biasa, bermain tenang. Menghadapi servis Bal
yang selalu keras, hampir selalu dapat ditangka, Tintus. Sial
bagi pemain India itu adalah karena ia banyak salah pukul,
hingga mudah dimatikan Tintus. "Tak pernah saya bermain seburuk
ini," kata Bal dengan penuh penyesalan.
Emas pertama buat Indonesia itu disambut dengan makan siang
bersama di tribune stadion. "Saya tidak menyalahkan Yustedjo
bertanding di lapangan rumput di Singapura," kata Gatot Suwagio,
"yang saya keberatan, dia berangkat tanpa pamit." Apa kata
Yustedjo? "Rahasianya, bermain di lapangan rumput jangan tunggu
bola naik--langsung sabet saja," kata petenis utama Indonesia
itu.
Sampai hari ke-11 AG berlangsung, Indonesia terpaksa harus puas
dengan satu medali emas dari cabang tenis beregu itu. Sementara
negara-negara lain hampir setiap hari menarnbah medali emas.
Malahan beberapa atlet berhasil memecahkan rekor AG.
Misalnya, pelompat galah dari Jepang, Tonomi Takahashi. Di
Stadion Nehru 25 November lalu ia melompati mistar 5,30 m dan
langsung mempersembahkan emas pertama di hari pertama lomba
atletik. "Saya tidak puas dengan hasil siang ini, karena
lompatan terbaik saya 5,51 m yang saya ciptakan di London Juli
lalu," kata atlet Jepang itu. Menurut dia, pada lompatannya di
Stadion Nehru itu "angin agak cepat dari depan."
Guru pendidikan jasmani dengan tubuh setinggi 171 cm itu agaknya
merupakan perpaduan antara kondisi fisik yang terjaga baik dan
intelejensi tinggi.
Beberapa saat sebelum melompat, berkali-kali ia mengamati arah
angin yang memang sering berubah-ubah. Berapa kali pula ia
memungut rumput kering dan menaburkannya ke udara: melihat arah
angin. Sebelum mengambil ancang-ancang, ia masih sempat melihat
bendera AG yang dikibar-kibarkan angin.
Setelah berlari dengan galah terangkat di tangan, ada dua kali
Takahashi membatalkan lompatannya--mungkin karena merasa belum
pas, atau karena masih menunggu arah angin yang tepat. Tapi pada
saat dia harus melompat, angin. rupanya tetap kurang baik. Ia
gagal menyamai rekornya sendiri, meskipun melampaui rekor AG
lama yang 5,10 m. "Ada masa menang, ada masa gagal--tapi saya
sudah melakukannya sebisa mungkin," kata atlet yang ratarata
berlatih 6 hari seminggu itu.
Tak ada seorang pun yang merebut emas dengan begitu dramatik
selain Ali Pakizeh Djam, 26 tahun. Pengangkat barbel dari Iran
ini disambut dengan teriakan Allahu-akbar dan puja-pujaan kepada
Ayatullah Khomeini begitu ia muncul di panggung--setelah 13
orang lawannya untuk kategori 75 kg rontok satu-satu. Para
peserta berjuang menyamai rekor AG 142,5 kg untuk snatch dan 170
kg untuk merk yang diciptakan orang kuat Jepang, Ohuchi, tahun
1966.
Disaksikan sekitar 2.000 penonton yang kebanyakan orang Iran dan
Irak, pemuda berwajah bagus dan bercambang itu, mula-mula dengan
mudah mengangkat barbel 145 kg (snatch). Lalu ia minta tambahan
10 kg lagi. Sambil berkomat-kamit mengucapkan doa, dua kali ia
gagal mengangkat 155 kg. Ia baru berhasil pada angkatan ke-3.
Pada angkatan jerk, ia muncul di gelanggang setelah Hendrik
Effendi dari Indonesia dan delapan peserta lainnya menyerah pada
barbel 185 kg. Pada angkatan pertama, Pakizeh langsung berhasil
memikulnya. Gelanggang pun berubah menjadi hingar bingar oleh
teriakan orang-orang Iran dalam bahasa mereka yang membingungkan
penonton-penonton lain. "Kalau anda menginginkan rekor AG yang
baru, harap diam," teriak ketua dewan juri dari Jepang lewat
pengeras suara. Barulah orang-orang Iran yang selalu tampak
beringas itu diam.
Pakizeh minta tambahan beban 7,5 kg--berarti ia akan melampaui
22.5 kg rckor AG. Setelah memperbaiki ikat pinggang dan
menepukkan tangan di tempat tepung, ia berkonsentrasi. "Allah,
Muhammad, Zahra, Ali . . . ," terucap dari bibirnya. Tapi barbel
192,5 kg itu hanya sampai di dadanya. Dua kali ia mencoba lagi,
tetap gagal.
Dia minta barbel diturunkan menjadi 190,5 kg. Sekali ini
gelanggang benarbenar seperti perang di Teluk Parsi.
"Allahu-akbar," berulang-ulang terdengar dari arah penonton.
Pakizeh berhasil. Buruh kereta api yang masih jangan itu
melompat kegirangan.
Kemenangan Pakizeh itu tak urung memberi warna lain bagi
hubungan IranIrak yang sedang berperang. Ketika upacara
penghormatan pemenang, ia menjabat tangan Mohammed Yassin dari
Iran yang mendapat perunggu. Sesudah itu keduanya
melambai-lambaikan tangan di hadapan para juru kamera.
Mengomentari sang juara yang lebih dulu menjabat tangan atlet
Irak itu, ketua kontingen Iran, Asharzaden berkata: "Kami
percaya bahwa kami harus menolong yang lemah. Karena itulah
Pakizeh lebih dulu mengulurkan tangan kepada Mohammed Yassin,
yang baru saja dikalahkan."
Kontingen RRC yang tetap unggul, menampilkan Zhang Gouwei di
nomor lari 10.000 m sebagai pemegang medali emas. Guru sekolah
menengah berusia 23 tahun ini memang punya latar belakang
keturunan sebagai pelari tangguh. "Nenek moyang saya berjalan
kaki yang kuat di Pegunungan Yunan," katanya sesaat sebelum
dikalungi medali emas. Tetapi, tambahnya, "sejak sarapan pagi
tadi dan dalam perjalanan ke stadion ini, jantung saya
berdebar-debar. Untuk mengatasi ketegangan, saya melakukan
pemanasan cukup lama," katanya lewat seorang penerjemah.
Pelari yang baru pertama kali ke luar negeri itu, tampaknya
seorang atlet yang taktis. Begitu 21 pelari dari 15 negara
menghambur dari garis start, Zhang hanya menempel di
tengah-tengah. Ia membiarkan pelari India, Sivnath Singh, terus
memlmpin di depan. Baru pada putaran ke-22 di lintasan tartan
Stadion Nehru, ia mengambil alih pimpinan. Tapi ia tetap
membiarkan lawan-lawannya berjarak 2 meter di belakangnya.
Hanya ketika pelari Jepang dan Korea, pada jarak 150 m menjelang
finish, mulai mengancam, ia mulai mengamuk.
Dengan memejamkan mata dan mulut ternganga, ia menghambur bagai
kijang menembus garis finish dengan waktu 29 menit 37,56
detik--18 detik lebih baik dari rekor AG yang diciptakan pelari
Srilangka, S. Rosa.
Zhang yang bertubuh kecil (tinggi sekitar 165 cm) itu sebenarnya
pelari nomor dua di negerinya. Dalam kejuaraan nasional ia
pernah mencapai waktu lebih baik, 29 menit 7,68 detik. Ia
mengaku lebih suka makan ayam daripada daging babi. "Saya tak
punya tablet vitamin dan saya minum air biasa saja," tuturnya.
Tapi sesaat setelah penyerahan medali, ia sibuk di seputar
lapangan: anak Cina itu memotret kanan kiri dengan kamera kecil
buatan Jepang. Katanya ia ingin membeli sebuah arloji buatan
Jepang kalau sudah pulang nanti.
Atlet RRC hanya menerima uang saku sekitar US$ 20 selama di
India--sementara atlet Indonesia mengantungi US$ 450.
Pelari wanita dari Filipina, Lydia de Vega, kembali mengejutkan.
Pemegang medali emas SEA Games XI di Manila dan pernah menjadi
pemecah rekor AG, di Tokyo dalam nomor 4 x 100 m, mengantungi
medali emas di New Delhi untuk lari 100 m dengan 11,76 detik.
Dengan begitu ia adalah penyumbang emas kedua bagi
kontingennya--setelah emas pertama direnggut atlet Filipina yang
lain di cabang renang.
Gadis berusia 17 tahun dan pemain film itu, memang gagal
menyamai rekor Asia atas namanya sendiri di Tokyo yang 11,60
detik. Ia juga gagal turut dalam nomor 200 m karena kakinya
cedera ketika merebut emas. Namun putri anggota polisi Manila
itu kini tercatat sebagai wanita tercepat di Asia. Dan dia tetap
atlet Filipina pertama yang pernah mewakili Asia ke kejuaraan
atletik dunia tahunan di Roma September 1981.
Lydia berlatih paiing sedikit 5 jam sehari, enam hari seminggu
sepanjang tahun. Ia pernah mengaku sering salah ketika start.
Dan ketika start di AG India itu pun ia kikuk, sehingga
meragukan kemenangannya. Baru sesudah melewati jarak 50 m ia
mengaku akan menang. Dan ia memang mendapat emas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini