DI depan 12.000 penonton di stadion tertutup Indrapratha New
Delhi, Liem Swie King dan kawan-kawannya kembali ditundukkan
regu RRC dengan 2-3. Selisih tipis 1 angka yang menentukan
kekalahan regu Indonesia di Asian Games Minggu lalu itu, sama
seperti yang dialami regu Indonesia di final Piala Thomas Mei
1982 di London.
Kemenangan RRC itu tidak hanya sekedar menghasilkan emas, tapi
juga meyakinkan dunia bahwa satu-satunya tambang emas di bidang
olahraga yang dikuasai raksasa tua Indonesia, sudah dicengkeram
negeri naga itu.
Sekalipun kunci kekalahan terletak di tangan pemain tunggal
Hadiyanto di partai terakhir (ke-5), banyak pendukung Indonesia
yang hadir di pertandingan yang menyesakkan napas selama 4 jam
itu, sudah merasa kecewa sejak di partai pertama, saat King
dikalahkan 15-9, 15-2 oleh Han Jian. Mula-mula King memang
tampil meyakinkan. Smash-nya tajam, tak mampu dikembalikan Han
Jian. Pemain RRC yang bermulut tonggos itu kelihatan berkeringat
banyak setelah ketinggalan 6-9. Tapi segera ia menemukan resep
antipermainan King, sehingga permainan jadi alot. Sebaliknya
King melakukan kesalahankesalahan yang akhirnya menentukan
kekalahannya. Beberapa kali shuttlecock Garuda yang dipakai
disangkanya out, ternyata mencium garis sebelah dalam.
Pada set kedua King tampak seperti membantai diri sendiri,
sehingga lawannya lebih cepat menang. Dropshot dan smash King
lebih banyak mengebom daerahnya sendiri sehingga Han Jian dengan
mudah melesat sampai 13 -0. Tapi agaknya Han Jian tak tega
melumpuhkan seorang pemain sekaliber King, maka dalam set ini ia
hanya menang 15-2.
Di partai kedua, Icuk Sugiarto pemain berbetis kokoh dari
sekolah Ragunan menebus kekalahan King dengan kemenangan
gemilang atas pemain nomor dua RRC Luan Jin. Kedudukan 1-1.
Kemenangan Icuk terutama karens serangan lob-lob-nya yang membwt
leher Luan Jin kaku sehingga rally yang terkadang sampai 3 menit
berakhir begitu Icuk melakukan dropshot. Ia nengalahkan Jin
dengan set langsung 15-9 dan 15-8.
Sayangnya pasangan ganda yang di pandang paling kokoh saat ini,
Kartono/Haryanto belum juga mampu menjinak kan pasangan RRC Sun
Zhian/Yao Ximing. Untuk ketiga kalinya pasangan Indonesia ini
kalah pada Zhian/Ximing dengan angka 15-8 dan 15-2.
Pasangan King/Christian Hadinata mengalahkan ganda putra kedua
RRC, Luan Jin/Lin Jiang Li. Christian memang sudah termasuk
pemain tua, tapi spesialis ganda itu belum luntur. Ia masih
membuktikan kemampuannya sebagai pemain cepat.
Setelah kedudukan 2-2, tibalah giliran Hadiyanto untuk memainkan
partai menentukan dan terakhir, melawan Chen Changji. Kedua
pemain yang kira-kira sama tingginya, 170 cm itu, bermain
lamban, sementara suasana tegang. Ofisial RRC justru
memanfaatkan ketegangan itu dengan berteriak "Tiongkok nomor
satu" yang kemudian disambut pekikan serupa serta kibaran
bendera merah dari supporters yang bergerombol di antara
penonton di tribune. Sedangkan ketua kontingen Indonesia, Gatot
Suwagyo, mengaku pergi ke belakang untuk mengendurkan saraf.
"Tapi Hadiyanto kurang menekan, ini memberikan kesempatan bagi
Chen Changji membuat smash yang mematikan," komentar Manajer
RRC, Wan Wengjian, setelah Hadiyanto dikalahkan 10-15 dan 9-15.
Kekalahan regu Indonesia ini dari RC, menurut Ketua Bidang
Pembinaan PBSI Rudy Hartono, "karena kesalahan penyusunan regu."
Mestinya pasangan Ring/Christian Hadinata diturunkan sebagai
pasangan nomor satu dan bermain di partai ketiga. "Hanya karena
King/Christian jarang main bersama, maka Kartono/Haryanto
dipandang sebagai pasangan nomor satu," tutur Rudy Hartono Senin
sore sewaktu sibuk membimbing latihan pemain-pemain muda di
Ragunan.
King sendiri yang dihubungi Martin Aleida dari TEMPO tak dapat
memberi alasan kekalahannya. Tampaknya ia belum pulih dari
ketegangan karena "teror" panitia yang sempat mencoret namanya
dan Verawati. Tapi untung setelah Federasi Asian Games bersidang
3 November lalu dengan mempertimbangkan bukti-bukti sponsor
yang mengontrak King dan Vera atas sepengetahuan PBSI, baru
kedua pemain itu diizinkan main.
Kekalahan Verawati, pemain andalan Indonesia di regu putri
melawan regu Kor-Sel di babak penyisihan, seperti diakuinya,
terutama karena pengaruh "teror" panitia AG. Tapi King menolak
itu menjadi alasan kekalahannya. "Anda sendiri sudah melihat
saya main. Yang bisa saya katakan sekarang, kekalahan dari Han
Jian sama sekali bukan karena ketegangan akibat protes India,"
katanya.
Dengan kekalahan di nomor beregu baik putra, apalagi regu putri
yang sudah tersingkir sejak babak penyisihan, agaknya peluang
Indonesia untuk merebut medali emas di nomor perorangan pun
kabur. Paling banter, menurut Ketua Umum PBSI, Ferry Sonneville,
"dari nomor ganda campuran, karena Christian masih bisa
diandalkan. Setetah dikalahkan Han Jian, King sulit untuk pulih
mentalnya dalam waktu singkat untuk merebut medali emas di nomor
perorangan."
Tapi Ketua Umum PBSI masih optimistis berbicara tenung kemampuan
pemain putra, pun dibandingkan dengan RRC. RRC memang mempunyai
sekitar 30 pemain yang baik, berkat pembinaan yang sudah
dijalankan selama 10 tahun. "Toh mereka mengakui masih sulit
mencari pemain kaliber internasional seperti Hou Chia Chang dan
Han Jian," kau Sonneville.
Hou Chia Chang sudah pensiun, sedang Han Jian masih punya
kelemahan, antara lain tampak kalau berhadapan dengan Prakash.
Sedangkan Luan Jin, pemain nomor dua RRC bisa dikalahkan Icuk
Sugiarto. "Tinggal bagaimana kemauan pemain kita," kata Ketua
Umum PBSI ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini