PENGUSAHA asing itu mengangkat bahunya, lalu berkata, "Saya jadi
heran, mengapa Pertamina sampai mengeluarkan batas waktu yang
begitu mendadak dan drastis di saat sulit sekarang" Tindakan
yang cukup mengejutkan rupanya telah diambil Pertamina. Dalam
suratnya dua pekan lalu kepada semua perusahaan minyak asing
yang beroperasi di Indonesia, Pertamina telah memerinuhkan agar
sejumlah 3.000 tenaga asing yang kini masih bekerja dengan
mereka, diganti dengan orang-orang Indonesia, selambatnya Januari
tahun depan.
Pekerjaan yang harus diserahkan kepada tenaga-tenaga Indonesia
itu meliputi tukang bor, mekanik bor, tenaga teknik di bidang
pengujian, tenaga pelapor lumpur (mudlogging) dan tenaga untuk
menyemen lubang yang sudah dibor (cementing). Tenaga-tenaga
trampil yang berurusan dengan pengeboran minyak itu rupanya
masih banyak dilakukan oleh orang asing. Maka tindakan Pertamina
itu kabarnya telah membuat panik sejumlah 40 kontraktor minyak
asing, seperti Texaco Inc., Mobil Corporation, Exxon, Atlantic
Richfield, Standard Oil of California, Union Oil dan Total Group
of France.
Kalangan minyak asing umumnya menyesalkan: Kenapa justru
tindakan Pertamina itu baru dilakukan sekarang, di saat produksi
minyak Indonesia masih merosot. Mereka khawatir, tindakan
Pertamina itu akan menimbulkan kekacauan, mengganggu produksi,
dan bisa mengurangi minat perusahaan minyak asing untuk
beroperasi di sini. Cara penggantian yang dianggap tergesa-gesa
itu, menurut mereka, bisa menimbulkan risiko pada efisiensi dan
keselamatan kerja.
Tapi, seorang pejabat Pertamina membantah tindakan itu telah
dilakukan secara tergesa-gesa. "Mereka (perusahaan-perusahaan
minyak asing), seharusnya sudah mengetahui adanya keharusan
memakai tenaga-tenaga Indonesia dalam bidang operasi pengeboran.
Tapi mereka selalu menunda-nunda."
Mufti A.S., Kepala Biro Humas Pertamina, pekan lalu juga
mengakui, "memang masih ada beberapa kontraktor minyak
bagi-hasil yang menghendaki pemakaian tenaga asing sebagai
pengebor. Tapi karena umumnya pekerjaan yang menangani peralatan
di menara-menara pengeboran sudah dilakukan tenaga Indonesia
--tenaga asing hanya bertugas sebagai pengawas--maka sudah
waktunya untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada
tenaga Indonesia."
Ia lalu menunjuk pada SK Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. 140 tahun 1975 (waktu itu dijabat Prof. Dr. Subroto, kini
Menteri Pertambangan dan Energi). SK tersebut jelas menyatakan
tertutupnya sebagin besar pekerjaan di bidang pengeboran minyak
bari tenaga asing. "Sesuai dengan SK tersebut, penjadwalan
Indonesianisasi jabatan-Jabatan yang sudah dinyatakan
tertutup--selambat-lambatnya Januari 1983 -- sebenarnya bukan
merupakan pekerjaan yang terlampau sulit dilaksanakan para
kontraktor asing," kata Mufti.
Menurut pihak Pertamina, jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk
melayani sekitar 65 menara bor minyak di Indonesia paling banyak
1.270. Kini baru setengahnya diisi tenaga Indonesia. Menurut
Mufti, kalau saja selama delapan tahun terakhir ini semua
perusahaan jasa pengeboran bersungguh-sungguh melakukan
pembinaan dan latihan bagi tenaga ahli Indonesia,
Indonesianisasi jabatan itu kiranya tak menjadi soal.
NAMUN masalahnya, menurut kalangan minyak asing di Jakarta,
tidaklah sesederhana itu. "Untuk menjadi seorang pengebor
(driller) yang memenuhi persyaratan, membutuhkan waktu yang
panjang--lebih-lebih untuk pekerjaan di lepas pantai," katanya.
"Dia harus menjalani pekerjaan sebagai rough neck dan tool
pusher dahulu," katanya. Maksudnya, mulai dari bawah betul.
Sedang pekerjaan pengebor, menurut dia, adalah "posisi kunci di
setiap menara." Mereka, agaknya, masih menyangsikan pula
kesediaan dari para teknisi kita, baik itu lulusan Akamigas
maupun dari ITB, yang bersedia bekerja berlama-lama di tengah
laut. "Mungkin untuk di darat bisa. Seperti di Caltex, semua
tenaga pengebor sudah orang Indonesia," katanya.
Agaknya ada lagi soal lain yang merupakan kendala: Banyak
kontraktor minyak asing di Indonesia yang tak melakukan
pengeboran sendiri, tapi meminta jasa dari perusahaan-perusahaan
penunjang. Mereka umumnya mempunyai kontrak berjangka pendek.
"Kalau kontraknya sudah habis, mereka pun membawa pergi menara
bor itu, berikut seluruh awaknya. Biasanya satu sumur, dalam
satu shift, dikerjakan 7 orang, terdiri dari tenaga yang disebut
rough neck itu, tool pusher dan pengebor sendiri.
Tapi, apa boleh buat. Batas waktu yang cuma tinggal satu bulan
itu nampaknya tak akan diundur-undur lagi. Namun yang menjadi
pertanyaan: Apa sanksinya bagi perusahaan-perusahaan minyak
asing yang sampai tiba batas waktunya (deadline) belum
sepenuhnya melakukan instruksi Pertamina? Ini pula yang agaknya
disebut jelas dalam keputusan Pertamina itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini