Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Almarhum brezhnev almarhum brezhnev?

Istilah almarhum ditilik dari sudut agama islam, tidak tepat dipakai seorang bukan muslim. tetapi karena sudah masuk perbendaharaan bahasa indonesia, maknanya sudah berubah. (ag)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BREZHNEV gawat. Dalam keadaan setengah sadar, pemimpin besar itu didoakan seorang ulama yang kebetulan menjenguknya. Tapi, inna lillahi wa inna ilaihi raji'un: takdir tak dapat ditolak. Seluruh rakyat menangis: Almarhum sungguh-sungguh orang yang berjasa, kata mereka. Demikian umpama Brezhnev seorang muslim--dan Rusia bukan Soviet yang sekarang. Brezhnev itu komunis, lho semua orang juga tahu. Tepatkah ia dibilang almarhum? "Kata almarhum itu mempunyai implikasi doa," kata K.H. Syukri Ghozali. Yakni agar yang meninggal itu dimasukkn ke dalam rahmat Allah, dalam dunianya yang baru. Karena itulah ada ungkapan 'berpulang ke rahmat Allah (rahmatullah)'--yang kemudian disingkat menjadi hanya 'berpulang' saja, dengan arti meninggal. Dengan kata lain, doa dalam almarhum itu menyangkut kehidupan sesudah mati. Dan itu menyangkut agama. Dan, karena agama lazimnya mengaku sebagai satu-satunya jalan keselamatan sesudah mati, sebuah agama tidak akan mengajarkan pemeluknya mendoakan orang dari agama lain dalam hal akhirat. Tak heran bila, dari sudut Islam, "mendoakan ampunan atau rahmat untuk orang selain muslim itu tidak boleh," kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia tadi. Tapi soalnya, almarhum itu "sudah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia," seperti dikatakan Drs. S. Effendi. Dan Ketua Bidang Bahasa pada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen P & K itu, di kantornya, bilang kepada TEMPO: "Tidak semua kata yang diserap itu mempertahankan makna asalnya." Almarhum itu oleh umum -- atau sebagian orsng--rupanya sudah dirasakan tepat untuk sebutan 'orang yang meninggal' saja. Bukankah sekarang orang juga bilang "sudah almarhum"? Lagi pula contoh-contoh pergeseran arti semacam itu banyak juga ternyata. Ungkapan assalamu 'alaikum misalnya, yang juga mengandung unsur doa yang kuat, di Jakarta sudah berubah fungsinya menjadi semacam ucapan pembuka pintu ("Salam lekum!") Berasal dari pergaulan penduduk asli. Juga a'udzu binahi minasy syaithanir rajim ("aku berlindung kepada Allah dari syaitan terkutuk"), yang melahirkan seruan kaget model Betawi: ajubile! Duile! Dan akhirnya aje gile! Seperti juga astaghfirullah ("aku minta ampun kepada Allah") yang lalu jadi astaga! Yang gawat ialah seruan la-ilah! Ia berasal dari la-ilaha illal-Lah (tak ada tuhan selain Allah). Jadi la-ilah itu berarti "tak ada tuhan". Orang Islam yang mengerti biasanya akan mendelik mendengarnya. Tapi bahwa otang akan mendelik, bukanlah itu menunjukkan tetap hidupnya pengertian asli sebuah ungkapan, setidaknya bila pengertian itu dipandang 'gawat'? Duile misalnya, tak apa-apa. Tapi almarhum? Kiai Syukri memang berkata: "Jika menyebutnya tidak disertai niat apa-apa, ya tidak apa-apa." Tapi rupanya ada rasa kelayakan, alias proporsi. Lain dengan kata-kata seperti mendiang, atau juga berpulang, wafat, mangkat, atau potong usia (untuk yang bunuh diri, barangkali). Bisa dibandingkan dengan di negeri-negeri Arab. Di sana almarhum tldak atau jarang sekali diucapkan. Sebagai gantinya mereka punya kimaghfur-lah (orang yang diampuni)--biasanya digunakan untuk ulama, raja, atau pemimpin, setidak-tidaknya orang yang secara sadar didoakan. Toh raja-raja juga sering hanya disebut arrahil (orang yang sudah berjalan). Lebih netral, seperti mendiang di kalangan kita atau the late di Barat. Di Malaysia, juga, tidak dikenal almarhum. Sebagai gantinya mereka memakai bentuk yang memang lebih terasa sebagai doa. Allah Yarham (Allah merahmati). "Sejak masa Allah Yarham Tun Razak," misalnya. Mereka juga memakai mendiang untuk pengertian yang lebih umum. Dan semua itu dianggap wajar oleh S. Effendi. "Masyarakat", katanya, "rasanya memang selalu memakai kata yang berbeda untuk subyek yang berbeda." Seorang anak misalnya tak akan mengatakan ibunya mampus, meski artinya sama dengan wafat. Bagi dia sendiri, kata almarhum itu "lebih terkesan untuk menghormat" -- setidaknya begitulah bila ditebak maksud setengah orang yang mengucapkannya. Untuk orang jahat, dalam pada itu, "meski penggunaan almarhum menurut bahasa Indonesia tak salah, bisa saja tak usah dipakai," kata Effendi. Demikian pula menurut dia bila dipandang dari kevakinan agama. Sebab bahasa adalah cermin kehidupan sosial yang aktual. Dan dalam kehidupan aktual ada kalangan agama, ada pula kalangan yang tidak atau kurang teguh beragama namun mendapat pengaruh agama dalam bahasa. Karena itulah, seperti juga dibilang pejabat Pusat Bahasa-yang wajahnya sering muncul di layar tv itu, sebuah kata bisa punya dua wilayah pemakaian: wilayah-wilayah khusus dan umum. Terserah saja bagaimana "pertarungan"nya di pasaran. Jadi silakan calau anda merasa layak untuk menyebut Almarhum Aidit, Almarhumah Marilyn Monroe atau barangkali Almarhum Jack the Ripper, itu tukang perkosa dan pembunuh perempuan. Ajubile!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus