BREZHNEV gawat. Dalam keadaan setengah sadar, pemimpin besar itu
didoakan seorang ulama yang kebetulan menjenguknya. Tapi, inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un: takdir tak dapat ditolak.
Seluruh rakyat menangis: Almarhum sungguh-sungguh orang yang
berjasa, kata mereka.
Demikian umpama Brezhnev seorang muslim--dan Rusia bukan Soviet
yang sekarang. Brezhnev itu komunis, lho semua orang juga tahu.
Tepatkah ia dibilang almarhum?
"Kata almarhum itu mempunyai implikasi doa," kata K.H. Syukri
Ghozali. Yakni agar yang meninggal itu dimasukkn ke dalam
rahmat Allah, dalam dunianya yang baru. Karena itulah ada
ungkapan 'berpulang ke rahmat Allah (rahmatullah)'--yang
kemudian disingkat menjadi hanya 'berpulang' saja, dengan arti
meninggal.
Dengan kata lain, doa dalam almarhum itu menyangkut kehidupan
sesudah mati. Dan itu menyangkut agama. Dan, karena agama
lazimnya mengaku sebagai satu-satunya jalan keselamatan sesudah
mati, sebuah agama tidak akan mengajarkan pemeluknya mendoakan
orang dari agama lain dalam hal akhirat. Tak heran bila, dari
sudut Islam, "mendoakan ampunan atau rahmat untuk orang selain
muslim itu tidak boleh," kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
tadi.
Tapi soalnya, almarhum itu "sudah masuk dalam perbendaharaan
bahasa Indonesia," seperti dikatakan Drs. S. Effendi. Dan Ketua
Bidang Bahasa pada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia Departemen P & K itu, di kantornya, bilang kepada
TEMPO: "Tidak semua kata yang diserap itu mempertahankan makna
asalnya." Almarhum itu oleh umum -- atau sebagian orsng--rupanya
sudah dirasakan tepat untuk sebutan 'orang yang meninggal' saja.
Bukankah sekarang orang juga bilang "sudah almarhum"?
Lagi pula contoh-contoh pergeseran arti semacam itu banyak juga
ternyata. Ungkapan assalamu 'alaikum misalnya, yang juga
mengandung unsur doa yang kuat, di Jakarta sudah berubah
fungsinya menjadi semacam ucapan pembuka pintu ("Salam lekum!")
Berasal dari pergaulan penduduk asli. Juga a'udzu binahi minasy
syaithanir rajim ("aku berlindung kepada Allah dari syaitan
terkutuk"), yang melahirkan seruan kaget model Betawi: ajubile!
Duile! Dan akhirnya aje gile! Seperti juga astaghfirullah ("aku
minta ampun kepada Allah") yang lalu jadi astaga!
Yang gawat ialah seruan la-ilah! Ia berasal dari la-ilaha
illal-Lah (tak ada tuhan selain Allah). Jadi la-ilah itu berarti
"tak ada tuhan". Orang Islam yang mengerti biasanya akan
mendelik mendengarnya.
Tapi bahwa otang akan mendelik, bukanlah itu menunjukkan tetap
hidupnya pengertian asli sebuah ungkapan, setidaknya bila
pengertian itu dipandang 'gawat'? Duile misalnya, tak apa-apa.
Tapi almarhum? Kiai Syukri memang berkata: "Jika menyebutnya
tidak disertai niat apa-apa, ya tidak apa-apa." Tapi rupanya ada
rasa kelayakan, alias proporsi. Lain dengan kata-kata seperti
mendiang, atau juga berpulang, wafat, mangkat, atau potong usia
(untuk yang bunuh diri, barangkali).
Bisa dibandingkan dengan di negeri-negeri Arab. Di sana almarhum
tldak atau jarang sekali diucapkan. Sebagai gantinya mereka
punya kimaghfur-lah (orang yang diampuni)--biasanya digunakan
untuk ulama, raja, atau pemimpin, setidak-tidaknya orang yang
secara sadar didoakan. Toh raja-raja juga sering hanya disebut
arrahil (orang yang sudah berjalan). Lebih netral, seperti
mendiang di kalangan kita atau the late di Barat.
Di Malaysia, juga, tidak dikenal almarhum. Sebagai gantinya
mereka memakai bentuk yang memang lebih terasa sebagai doa.
Allah Yarham (Allah merahmati). "Sejak masa Allah Yarham Tun
Razak," misalnya. Mereka juga memakai mendiang untuk pengertian
yang lebih umum.
Dan semua itu dianggap wajar oleh S. Effendi. "Masyarakat",
katanya, "rasanya memang selalu memakai kata yang berbeda untuk
subyek yang berbeda." Seorang anak misalnya tak akan mengatakan
ibunya mampus, meski artinya sama dengan wafat. Bagi dia
sendiri, kata almarhum itu "lebih terkesan untuk menghormat" --
setidaknya begitulah bila ditebak maksud setengah orang yang
mengucapkannya.
Untuk orang jahat, dalam pada itu, "meski penggunaan almarhum
menurut bahasa Indonesia tak salah, bisa saja tak usah dipakai,"
kata Effendi. Demikian pula menurut dia bila dipandang dari
kevakinan agama. Sebab bahasa adalah cermin kehidupan sosial
yang aktual.
Dan dalam kehidupan aktual ada kalangan agama, ada pula kalangan
yang tidak atau kurang teguh beragama namun mendapat pengaruh
agama dalam bahasa. Karena itulah, seperti juga dibilang pejabat
Pusat Bahasa-yang wajahnya sering muncul di layar tv itu, sebuah
kata bisa punya dua wilayah pemakaian: wilayah-wilayah khusus
dan umum. Terserah saja bagaimana "pertarungan"nya di pasaran.
Jadi silakan calau anda merasa layak untuk menyebut Almarhum
Aidit, Almarhumah Marilyn Monroe atau barangkali Almarhum Jack
the Ripper, itu tukang perkosa dan pembunuh perempuan. Ajubile!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini