PANCASILA adalah pernyataan politik dan bukan pernyataan
teologis." Ungkapan seperti itu jarang diucapkan. Apalagi oleh
tokoh seperti Mgr.Leo Soekoto S.J., Sekretaris Majelis Agung
Wali Gereja Indonesia (MAWI). Karena itulahj dalam acara dengar
pendapat dengan Komisi IX DPR Senin minggu lalu, anggota DPR
dari F-KP, Achmad Djunaidi, menanyakannya. Djunaidi, seperti
diberitakan Kompas, menyatakan ingin mengecek kebenarannya. Dan
Leo Soeroto pun menjelaskan.
Bagi Gereja Katolik, menurut Uskup Agung Jakarta itu, pernyataan
teologis harus berdasar wahyu masing-masing agama. Sedang
Pancasila tidak didasarkan pada wahyu. "Maka Pancasila bukan
pernyataan teologis," katanya kepada TEMPO. "Pancasila adalah
pernyataan etika politik, yang memuat sistem nilai yang
membimbing orang lndonesia untuk melaksanakan tugasnya sebagai
warganegara." Dan itu berarti, Pancasila menjadi satu-satunya
wadah untuk bernegara, dan pedoman tingkah laku setiap
warganegara dalam bermasyarakat maupun bernegara.
Apalagi negara juga mempunyai tugas menyatukan bangsa. Dan
kebetulan substansi Pancasila sendiri adalah untuk mempersatukan
bansa yang terdiri dari bermacam-macam agama, suku, daerah dan
tradisi budaya.
Yang barngkali lebih menarik adalah keterangan pemimpin 4,5
juta umat Katolik Indonesia itu tentang sumber moral. Pancasila,
bagi orang Katolik, bisa menjadi salah satu sumber moral. Jadi
bukan hanya agama. "Karena sumber moral Gereja bukan hanya
wahyu. Tapi juga refleksi akan budi manusia yang diterangi
wahyu." Dan refleksi itu kelihatan pada para pemimpin
bangsa--lepas dari agama apa yang mereka peluk -- yang telah
merumuskan Pancasila berdasar "cermin" wahyu yang mereka imani
ketika itu. Karena itulah, bisa dipaham yang "dimuat" dalam
Pancasila tak lain yokok-pokok yang sejalan belaka dengan misi
semua agama--meski Pancasila sendiri perlu ditekankanya, agar
tidak "lupa".
Dan karena itu pula Pendidikan Moral Pancasila, misalnya, untuk
lebih menanamkan rasa bermasyarakat dan bernegara dalam diri
enerasi muda, memang perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah.
Namun doktor teologi bidang moral itu juga mengingatkan: "PMP
bukan pelajaran agama dari suatu agama tertentu. Juga bukan buku
moral umum yang menyangkut seluruh kehidupan."
Selama ini ala keberatan, terutam dari umat Islam -- atas
beberapa rumusan berbau sgama dalam buku PMP. Misalnya kalimat
yang berbunyi: "Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci
tujuannya." Atau juga anjuran untuk mendoakan orang agama lain
yan meninggal, mudah-mudahan "diampuni dan diterima Tuhan yang
Maha Esa".
Maksud para penyusunnya, barangk li, tak lain agar pemeluk
masing-masing agama tidak terlalu "fanatik". Toh orang berpikir,
mengapa tidak misalnya dikatakan saja bahwa semua agama yang
hidup di Indonesia mempunyai ajaran-ajaran toleransi. Sebab
kenyataannya begitu. Atau bahwa perbedaan agama dalam kenyataan
tidak menghalangi kerjasama.
Leo Soekoto sendiri kepada TEMPO menyatakan bisa mernahami
keberatan seperti itu. Yang lebih tepat, katanya, PMP lebih
menekankan moral kenegaraan yang mengatur kehidupan bersama.
Karena PMP memang dimaksud untuk menjadi, sekali lagi, pedoman
tingkah laku bernegara. Karena itu PMP selayaknya menghindari
hal-hal yang sebenarnya sudah menjadi wewenang agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini