Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Sekolah Tepok Bulu Made in China

Tim Thomas dan Uber keok di Cina. Perlu belajar dari sistem pembinaan pemain muda di sana.

28 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELAP menaungi Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, saat peluit panjang bertiup di Han Aiping Badminton School and Club. Puluhan bocah 8-14 tahun mengakhiri latihan satu setengah jam mereka. Meski peluh membanjiri tubuh, mereka emoh pulang. Mereka memilih berjejer di tepi lapangan menyaksikan rombongan tamu yang baru datang. Tamu yang mereka sambut adalah tim nasional Indonesia.

Sabtu dua pekan lalu, tim nasional Indonesia menumpang berlatih di sana untuk persiapan Piala Thomas dan Uber 2012. Dua jam lebih Simon Santoso dan kawan-kawan tepak-tepok bulu di lantai tiga gedung tersebut. Kita tahu kemudian, tim yang begitu optimistis tampil di final turnamen bulu tangkis paling bergengsi antarnegara itu justru pulang dengan sangat cepat. Tim Thomas bahkan mencatatkan prestasi terburuk dalam sejarah bulu tangkis Indonesia: tak lolos perempat final Piala Thomas.

Mata bocah-bocah itu terpaku ke lapangan. Tak satu pun di antara mereka meninggalkan gelanggang. Mereka seperti tengah menatap dunia yang begitu mereka impikan: menjadi pemain bulu tangkis dunia yang mampu tampil di level tertinggi.

Kecintaan anak-anak itu pada bulu tangkis mungkin hanya bisa disaingi oleh kecintaan kawan sepantaran mereka di Indonesia terhadap game online, Facebook, dan PlayStation. Di sekolah khusus badminton itu, mereka berlatih 1,5-3 jam saban hari, dengan hanya menyisakan libur pada Ahad. ”Awalnya kami lebih suka berkuda,” ujar Chen Weiqiau, 15 tahun, salah seorang murid sekolah ini, kepada Tempo. Dia berlatih bersama kembarannya, Weimiau. Mereka diajak ayahnya, Chen Yi Jun, 43 tahun, yang keranjingan bulu tangkis, berlatih di sana. ”Sekarang kami sangat menyukai olahraga ini.”

Si kembar tak sendirian. Ada 1.300-an teman sebaya mereka di sekolah yang pembangunannya didanai Pemerintah Provinsi Hube itu. Sekolah ini berdiri di lahan 1.800 meter persegi. Gedung bertingkat tiga itu memiliki selusin lapangan. Fasilitas penunjangnya setara dengan sekolah internasional di Indonesia. Ada ruang kebugaran, tari, musik, lapangan tenis, atletik, kelas, dan asrama.

Maktab tepok bulu seperti ini—dengan fasilitas dan kurikulum kurang-lebih sama—tersebar di seantero Cina. Sekolah semacam inilah yang menjadi satu sumber kekuatan raksasa bulu tangkis dunia tersebut. Lin Dan, yang menekuk Simon Santoso di Piala Thomas pekan lalu, misalnya, produk sekolah bulu tangkis Fujian.

Han Aiping diambil dari nama pemilik sekolah. Perempuan 50 tahun ini adalah ratu bulu tangkis dunia 1987 dan pernah mengalahkan legenda Indonesia, Susi Susanti. Setelah gantung raket 22 tahun lalu, bintang kelahiran Wuhan itu mengajar bulu tangkis di Jepang dan Australia. Setelah Han Aiping membuka sekolah badminton di negeri koala, pemerintah Cina memanggilnya pulang untuk mengembangkan bakat pemain muda. Dengan bantuan lahan dan pembangunan gedung dari pemerintah daerah, bersama suaminya, Ming Guo, dia mendirikan Han Aiping Badminton School and Club pada 2004.

Siswa sekolah ini dibagi dalam tiga tingkatan. Pertama adalah kelas umum, yang sebagian besar berusia di bawah 8 tahun. Porsi latihan dua kali sepekan, satu setengah jam satu sesi. ”Tujuannya memperkenalkan bulu tangkis sejak usia dini,” ujar Ming, 52 tahun, wakil kepala sekolah. Kelas ini menempati porsi peserta paling banyak, 1.300 orang.

Tingkat kedua diisi siswa 8-12 tahun. Karena latihan di tingkat ini digelar sepulang sekolah, pukul 15.30, sebutannya afterschool training level. Di tingkat ini, pelatih menilai gerakan, kelenturan, kecepatan, dan kelincahan. Siswa di tingkat ini minimal memiliki tinggi 120 sentimeter. Para pelatih kemudian menyusutkan 140 siswa menjadi 24 saja untuk maju ke tingkat ketiga, pelatihan junior.

Pelatihan intensif—Senin sampai Sabtu, tiga jam sehari—bermula di level junior ini. Ada enam pelatih yang khusus mengawal mereka. Siswa di kelas ini wajib tinggal di asrama selama empat tahun. Mereka hanya boleh pulang Sabtu sore dan kembali paling lambat Ahad malam. Setiap tahun, antara empat dan enam siswa lulus dari program ini. Satu di antaranya selalu masuk pusat pelatihan tingkat provinsi. ”Dari situ berpotensi jadi atlet nasional,” kata Ming.

Atlet junior di Cina berusia 14-16 tahun. Jika moncer, mereka direkrut oleh Persatuan Bulu Tangkis Cina untuk berlatih bersama Lin Dan dan kawan-kawan. Meski pemerintah menanggung gaji pelatih dan fasilitas, siswa tetap kena pungutan, mulai 2.000 yuan (setara dengan Rp 2,9 juta) per tahun untuk tingkat pertama sampai 18 ribu yuan (Rp 26 juta) untuk tingkat ketiga. Beasiswa tersedia bagi siswa kelas III yang tidak mampu.

Sejauh 839 kilometer dari Wuhan, di kota kecil Dongguan di Provinsi Guangdong, sebuah sekolah bulu tangkis berdiri pada Januari lalu. Namanya diambil dari pelatih tim bulu tangkis Cina, Li Yongbo. Tong Sin Fu alias Tang Hsienhu—pelatih kelahiran Teluk Betung, 3 Maret 1942, yang mengantar Alan Budikusuma dan Susi Susanti meraih emas di Olimpiade Barcelona 1992—jadi pelatih kepala di Li Yongbo International Training Center ini.

Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia Djoko Santoso dan beberapa pengurus mengunjungi pusat latihan binaan Tong itu Sabtu dua pekan lalu. Menurut Bendahara Pengurus Besar Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia Johannes I.W., Li Yongbo International Training Center lebih lengkap ketimbang Han Aiping Badminton Club, dengan 28 lapangan yang tersebar di dua gedung. Semua gedung dilengkapi dengan glass wool dan peredam, lapangannya dibuat berstandar internasional. Fasilitas pendukung lainnya juga sangat komplet, mulai pusat fitness, penginapan, sampai kantin.

Tapi bukan jumlah lapangan yang membuat Ketua Pengurus PBSI Sumatera Utara yang pernah beberapa kali ditugasi melihat pusat latihan di Cina itu terkesima, melainkan dukungan pemerintah yang mendukung bulu tangkis hingga level terbawah. Di luar sekolah seperti Han Aiping, sekolah umum—mulai sekolah dasar—kudu mengajarkan bulu tangkis dan menjadikannya bagian dari kurikulum pendidikan. Dari tingkat SD pula kompetisi digelar secara berkala, mulai antarsekolah, kota, sampai provinsi. ”Makanya bibit tidak pernah habis,” ujar Johannes.

Cina memiliki enam pemusatan latihan daerah, di antaranya terdapat di Ibu Kota Beijing, Provinsi Guangdong (Kota Guangzhou), dan di Provinsi Hubei. Tiap pusat latihan daerah diisi 80 atlet berbakat, dengan umur 14-21 tahun. Jumlah itu dibagi menjadi atlet tunggal putra dan putri masing-masing 16 orang, ganda putra dan putri masing-masing 8 orang, serta ganda campuran sebanyak 8 orang. Pemerintah menempatkan 4 atlet senior di tiap pusat latihan tersebut untuk berlatih bersama.

Para atlet yang digenjot dalam sistem pelatihan yang terdesentralisasi itu dikelompokkan menjadi dua, yakni siswa berusia 14-17 tahun di level pertama dan 18-21 tahun di level kedua. Dari usia termuda hingga ke atas, jumlah siswanya semakin mengerucut. Atlet dari tiap level yang menonjol akan dikirim ke pelatnas pusat di Beijing. Dengan sistem yang disiapkan secara matang itu, tak mengherankan jika raksasa-raksasa seperti Lin Dan, Chen Long, Wang Xi, Cai Yun, dan Fu Haifeng lahir.

l l l

Jam dinding di Sekolah Bulu Tangkis Han Aiping melewati angka sembilan. Di saat kebanyakan remaja di belahan lain dunia menghabiskan malam akhir pekan dengan nonton bioskop, bermain video game, atau indehoi bareng pacar, puluhan anak Wuhan mendapat kesenangan tersendiri: menonton Simon Santoso cs berlatih di kandang mereka. Sama-sama berpeluh, sebagian bergambar bersama tamu mereka.

Bukan tak mungkin lima atau enam tahun lagi mereka kembali bertemu dengan Maria Febe dan Tommy Sugiarto. Kali ini dengan net dan wasit sebagai pemisah di kejuaraan Thomas-Uber, Piala Sudirman, atau All-England. Bukan tak mungkin pula pemain-pemain belia Cina itu akan kembali mengalahkan dengan mudah pemain Indonesia jika negeri yang telah memajang 13 Piala Thomas ini tak kunjung beranjak mengubah sistem pelatnas dan pembinaan pemain muda.

Reza Maulana, Mahardika S. Hadi (Wuhan), Ananda Teresia (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus