Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hiu Mati di Tanah Suci

Seratus lima hiu dibantai di kawasan konservasi laut Raja Ampat. Sasi bisa menyelamatkan kerajaan ikan itu.

28 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA hiu sirip hitam mondar-mandir di pantai berpasir putih Pulau Wayag, Raja Ampat, Papua Barat, dua pekan lalu. Siripnya menyobek permukaan air. Tapi tak usah waswas bakal ada teror seperti di film Jaws. Para Carcharhinus limbatus itu cuma menunggu jeroan ikan cakalang yang dilemparkan empat pemuda di dermaga kayu. Mirip kucing di lapak tukang daging di pasar.

”Mereka seperti hewan peliharaan,” ujar Nikson Daat, petugas Kawasan Konservasi Laut Daerah Kawe. Kalau hatinya galau, Nikson akan mengikat umpan di kenur, melemparkan pemukat itu sejauh-jauhnya ke laut, menunggu dengan waspada, dan hup, ia beradu gesit dengan lima hiu itu. Teman-temannya akan meledek setiap kali dia kalah cepat mengangkat umpan.

Saban langkah kaki terdengar di dermaga kayu, kawanan hiu berumur empat tahunan dengan panjang badan satu meter itu langsung datang untuk menunggu apa saja yang jatuh ke air. Mulai jeroan ikan, snack, hingga sisa mi instan. Cuma butuh sebentar bagi lima sekawan itu untuk terbiasa dengan orang asing. Setelah ngacir lima menitan, para predator tersebut sudah kembali hilir-mudik dalam jarak dua meteran di dekat Tempo.

Ketenteraman para predator Raja Ampat mendadak lenyap pada 28 April lalu. Petugas kawasan konservasi memergoki pembantaian 105 ekor hiu berbagai jenis. Bila pembantaian itu tak bisa dihentikan, ekosistem Raja Ampat terancam.

Kawasan konservasi Raja Ampat, yang terdiri atas tujuh zona dengan luas total 1,1 juta hektare, merupakan tanah suci bagi banyak penghuni laut. Perairan itu menjadi rumah 1.437 spesies ikan karang, 42 jenis udang, dan 9 spesies paus. Di sana satu pun teri pantang dibunuh.

Pantangan itu mulai ditetapkan secara adat pada 17 November 2006. Larangan itu merupakan bagian dari Sasi, yakni sumpah untuk berpantang mengambil hasil alam dari suatu tempat dalam periode tertentu. Masyarakat Papua biasa melakukannya ketika hasil hutan atau perikanan tiba-tiba menurun. ”Sehingga ada kesempatan bagi alam untuk memperbaiki diri,” kata Apolos Sewa, Ketua Dewan Adat Masyarakat Sorong, yang membawahkan Raja Ampat.

Masyarakat suku Kawe, yang menghuni Pulau Waigeo bagian barat, mengawasi laut mereka dengan kapal pemberian lembaga swadaya masyarakat Conservation International. Pemerintah Raja Ampat memperkuat aturan itu lewat peraturan daerah serta surat keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Tapi Raja Ampat tak selalu aman, seperti dipergoki Nikson dkk di perairan Pulau Wayag pada akhir bulan lalu. Di perairan timur Pulau Sayang—pulau terluar dari Kepulauan Raja Ampat, 250 kilometer barat laut Sorong—mereka mendapati empat kapal sedang lepas jangkar. Di sebuah kapal, dia mendapati tujuh sirip hiu dan sedikitnya selusin teripang. Meski sudah dijelaskan akan larangan penangkapan ikan, para penumpang empat kapal itu emoh berhenti. ”Kitong tidak berani usir karena mereka lebih banyak,” ujar lajang 22 tahun tersebut. Kapal kayu 12 x 3 meter itu diawaki tujuh orang dan tiga kapal lainnya mengimpit perahu cepat ukuran 5 x 2 meter miliknya.

Dua hari kemudian, Nikson mendapat bala bantuan. Enam belas orang—terdiri atas tokoh kampung, aktivis lingkungan, dan dua anggota TNI Angkatan Laut—mengarungi perairan Pulau Sayang dengan dua perahu cepat.

Kini di lokasi itu ada tujuh kapal. Di atas kapal-kapal itu, 105 hiu abu-abu (Carcharhinus amblyrhynchos), hiu sirip putih (Triaenodon obesus), dan hiu sirip hitam rampung dibantai. ”Semuanya sudah dipotong-potong, cuma lima yang masih utuh,” ujar Abraham Goram Gaman, petugas Conservation International. Di antara bangkai hiu, terselip ikan pari, yang juga sudah dimutilasi, dan teripang hidup. Di pasar tradisional di Sorong, satu kilogram sirip hiu mencapai Rp 3 juta dan teripang Rp 1,2 juta.

Petugas menahan dokumen kapal, dua unit kompresor untuk menyelam, dan tali pancing. Tidak semua ikan bisa disita karena keterbatasan tempat. Cuma sepuluh kilogram sirip hiu sebagai barang bukti yang diambil berikut 33 pelaku yang digiring ke timur, menuju Waisai, ibu kota Raja Ampat. Pendataan tiga jam itu berakhir saat matahari tenggelam di Laut Halmahera. Petugas mempercepat laju perahu karena tidak dilengkapi lampu, sehingga riskan untuk berlayar saat gelap. Melihat Abraham cs ngacir duluan, tujuh kapal nelayan berbelok ke barat, menuju kampung mereka di Pulau Gebe, Halmahera Tengah.

Seorang pelaku, Halim Usman, 48 tahun, mengaku dia sebenarnya sedang mengantar pekerja dari tempat tinggalnya di Kampung Yowi, Pulau Gebe, untuk berkebun kopra di Pulau Sayang. Sembari menunggu para pekerja, selama tiga hari dia memancing hiu dengan mengantongi izin dari kepala kampung. ”Tidak tahu ada larangan,” ujarnya. Gebe berjarak sekitar 30 kilometer dari Pulau Sayang.

Ketua Pemuda Gebe Adam Zakaria Umpaim, yang juga ikut di salah satu kapal, menganggap Pulau Sayang dan tetangganya, Piyai, merupakan bagian dari Halmahera Tengah. Klaim itu tidak salah-salah amat.

Kementerian Dalam Negeri menyatakan kedua pulau itu bukan wilayah Raja Ampat. Dalam surat nomor 130/296/PUM tanggal 3 Februari 2011, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum I Made Suwandi mengatakan keputusan itu berasal dari verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Klaim tersebut dibantah Dewan Adat Masyarakat Sorong, yang menganggap dua pulau sonder penduduk itu sebagai wilayah Raja Ampat. ”Mereka tidak pernah datang ke lapangan untuk berbicara dengan masyarakat,” ujar Apolos.

Toh, tapal batas bukan alasan untuk bisa menangkap hiu di wilayah itu. Bagaimanapun, perairan tempat pembantaian hiu itu masuk wilayah kawasan konservasi laut. Komandan Pangkalan Angkatan Laut Sorong Kolonel Irvansyah memasukkan 33 nelayan itu ke daftar pencarian orang karena melanggar Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah. Ancamannya paling lama enam bulan penjara.

Petugas Conservation International mengatakan nelayan Gebe melipir ke perairan Kawe karena ikan semakin jarang didapat di tempat asal mereka. Apolos menyarankan tetangganya tersebut ikut menerapkan Sasi. Sasi itu harus dilakukan untuk semua biota, termasuk pada hiu.

Saat ini hiu abu-abu, sirip putih, dan sirip hitam yang menjadi predator dominan di Raja Ampat berada dalam status near threatened, lima peringkat di bawah extinct di daftar keluaran International Union for Conservation of Nature. Dengan kata lain, hiu-hiu itu bisa menjadi langka. Padahal hiu sangat penting untuk menjaga keseimbangan kehidupan terumbu karang. Dwi Aryo Tjipto Handono, Koordinator Komunikasi The Nature Conservation, mengatakan predator nomor wahid di samudra itu hanya memangsa ikan yang sedang sakit, paling tua, dan lemah dalam komunitasnya. ”Sehingga menciptakan ekosistem yang sehat,” ujarnya.

Ada penelitian lain yang menemukan betapa hubungan predator-mangsa itu lebih dari sekadar urusan perut. Para ilmuwan yang meneliti terumbu di perairan Karibia menemukan, berkurangnya hiu di perairan itu membuat populasi kerapu, makanan kesukaan hiu, berlimpah. Dampaknya, ikan kecil pemakan ganggang, seperti botana dan kakatua, habis dimakan kerapu, dan ganggang merajalela. Ujung-ujungnya terumbu karang, yang menjadi rumah ikan, rusak karena lonjakan pertumbuhan ganggang dan ikan sulit ditemui.

Keadaan bisa lebih buruk lagi karena hiu tergolong ikan yang kurang doyan berkembang biak. Dengan rata-rata hidup 14 tahun, seekor hiu betina cuma mampu menghasilkan sekitar selusin keturunan. Setelah mengandung sampai 15 bulan, hiu cuma menelurkan dua atau tiga anak. Bandingkan dengan tongkol, yang mampu menghasilkan enam juta telur dalam satu musim kawin.

Apolos yakin, cuma dengan Sasi, keseimbangan ekosistem perairan Raja Ampat bisa terpelihara. Apalagi nelayan pun telah merasakan manfaatnya. Daud Jimla, 40 tahun, misalnya. Warga Kampung Sarpele, Pulau Waigeo, ini enam tahun lalu harus melaut sampai 30 kilometer untuk mendapat tangkapan. ”Sekarang dua kilometer saja,” kata pria yang sudah 25 tahun jadi nelayan tersebut. Dengan lima jam melaut, seapes-apesnya dia mendulang Rp 120 ribu per hari. Saya percaya Daud. Sebab, suatu siang pada dua pekan lalu, saya pun bercengkerama dengan lima hiu di pantai ­Wayag.

Reza Maulana (Raja Ampat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus