Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Serena Mencari Setara

Kemarahan Serena Williams akhirnya meledak. Di hadapan wasit Carlos Ramos yang memimpin final turnamen Grand Slam Amerika Terbuka pada 8 September lalu, petenis 36 tahun itu menumpahkan kekesalannya seraya menyebut Ramos “pembohong” dan “pencuri” karena mengurangi poinnya pada set kedua, saat ia tertinggal 3-2. 

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Serena Williams dalam final turnamen Grand Slam Amerika Terbuka, 8 September lalu. -REUTERS/Danielle Parhizkaran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARAHAN Serena Williams akhirnya meledak. Di hadapan wasit Carlos Ramos yang memimpin final turnamen Grand Slam Amerika Terbuka pada 8 September lalu, petenis 36 tahun itu menumpahkan kekesalannya seraya menyebut Ramos "pembohong" dan "pencuri" karena mengurangi poinnya pada set kedua, saat ia tertinggal 3-2.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak mengacuhkan protes itu, Ramos malah kembali menghukumnya dengan mengambil satu game langsung karena pelanggaran verbal Serena. Vonis ini adalah akumulasi dari dua peringatan keras yang sebelumnya diterima Serena karena dinilai melanggar aturan berinteraksi dengan pelatih dan membanting raketnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vonis itu berujung fatal bagi Serena, yang kalah pada set pertama dan tertinggal 4-3 oleh lawannya, Naomi Osaka, di set kedua. Naomi, petenis 20 tahun keturunan Jepang, menutup pertandingan dengan skor 6-2 dan 6-4 serta membuyarkan impian Serena meraih gelar Grand Slam ke-24 sekaligus menyamai rekor Margaret Court.

Insiden Serena-Ramos berbuntut panjang. Serena menyebut keputusan Ramos menghukumnya seksis. Menurut dia, banyak petenis pria kerap berkata kasar tapi bisa melenggang bebas. "Dia tak pernah mengambil satu game pun dari para petenis pria yang menyebutnya ’pencuri’," kata Serena, yang akhirnya didenda US$ 17 ribu.

Sejumlah pemain top, seperti Andy Roddick, James Blake, dan Marion Bartoli, juga legenda tenis Billie Jean King serta Direktur Eksekutif Asosiasi Tenis Wanita (WTA) Steve Simon, mendukung Serena. Roddick bahkan mengaku pernah mengucapkan kata-kata yang lebih buruk tapi tak dihukum.

Presiden WTA Katrina Adams juga menuding Ramos dan wasit lain memiliki pandangan bias gender. "Banyak petenis pria merutuk kepada wasit tapi tidak terjadi apa-apa setelahnya," ucapnya. "Kesetaraan tak ada di sini."

Sedangkan Federasi Tenis Internasional (ITF) justru membela Ramos. ITF menilai Ramos profesional dan berintegritas dalam menjalankan tugasnya. Vonis yang diberikannya pun dinilai sesuai dengan peraturan.

Kisruh juga kembali mengerek naik isu rasisme yang kerap menimpa Serena. Tenis lama dikenal sebagai dunia yang dikuasai atlet kulit putih. Kondisi berubah ketika Serena dan kakaknya, Venus, masuk gelanggang dua dekade lalu dengan rambut gimbal yang tak pernah terlihat di arena sebelumnya. Dengan teknik, stamina, dan pukulan dahsyat, duo Williams menunjukkan dominasinya.

Serena dan Venus adalah atlet wanita kulit hitam paling sukses di dunia tenis profesional hingga saat ini. Namun mereka juga yang paling sering dirundung tekanan rasisme dan seksis yang memicu protes dari kalangan kulit hitam, terutama kaum perempuan.

Dalam Australia Terbuka 1999, Venus dihukum hanya karena manik-manik ikat rambutnya jatuh di lapangan. Williams bersaudara pernah memboikot turnamen Indian Wells selama 14 tahun setelah dituduh mengatur pertandingan. Serena bahkan menganggap ada diskriminasi karena ia paling sering diminta ikut tes doping acak.

Presiden Federasi Tenis Prancis Bernard Giudicelli pada Agustus lalu menambah keruh situasi dengan melarang petenis putri mengenakan catsuit-busana ketat menutupi seluruh tubuh-dalam turnamen tahun depan. Alasannya: menghargai olahraga dan lokasi bertanding.

Para penggemar tenis dan atlet mengkritik Giudicelli, yang dinilai rasis. Penyebabnya, Serena pernah mengenakan catsuit hitam dalam turnamen Prancis Terbuka pada Mei lalu. Tidak mencari sensasi, Serena mengenakan kostum khusus itu untuk mencegah penggumpalan darah. Gangguan kesehatan ini mengancam nyawanya saat ia melahirkan putrinya tahun lalu.

Tekanan yang kerap datang tak membuat Serena gentar. Dia bertekad terus berjuang agar para atlet perempuan diperlakukan setara dan bebas mengekspresikan diri. "Mungkin bagiku hal itu belum terwujud, tapi kelak akan berhasil pada orang lain," ujarnya.

Gabriel Wahyu Titiyoga (Wta Tennis, Reuters, Telegraph, Tennis365)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus