BISA dimengerti kalau para tokoh periklanan Indonesia merasa
perlu berseminar pekan lalu. Selain menjelang tutup tahun, yang
seperti biasa banyak diisi oleh kegiatan seminar, dunia iklan,
tentu saja, tak lepas dari hempasan resesi berat yang kini
tengah menimpa dunia. Apalagi yang paling merasa kena pukul
adalah negeri-negeri industri sumber dari macam-macam produk
yang mereka promosikan.
Bukan cuma itu. Dalam seminar dua hari pekan lalu yang dibuka
oleh Dir-Jen PPG Sukarno, mewakili Men-Pen Ali Moertopo, sekitar
300 pesertanya juga memperdebatkan masalah peranan modal asing
dan tenaga ahlinya. Modal dan tenaga asing ini bahkan dengan
bahasa yang seram dilukiskan "bergentayangan di
perusahaan-perusahaan periklanan Indonesia."
Itu kata-kata Indra Abidin, Ketua Umum Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (P31). Tokoh ini memang berhasil merebut
perhatian peserta ketika tampil sebagai pembicara. Bukan karena
makalah yang ia sodorkan itu setebal 34 halaman, tapi karena
Indra Abidin, Direktur Pelaksana PT Fortune Indonesia itu
mengungkapkan tekad P31: Menutup rapat pintu periklanan
Indonesia dari semua unsur asing, mulai awal 1983.
Banyak juga rekannya yang terkejut mndengar ucapan Indra yang
bernada antiasing itu. Apalagi, seperti kata seorang hadirin,
perusahaan iklan yang di pimpin sebenarnya baru saja mengakhir
partnership-nya dengan Fortune Hong kong yang induknya di
Australia, setelah bekerja sama selama lebih 10 tahur dengan
unsur luar itu.
Tapi rupanya Indra kini meliha soalnya berbeda: ia menuding
muncul nya PT Bates Kencana Indonesia bebe rapa bulan lalu,
sebagai "boneka asing". Perusahaan yang kini dipimpin beberapa
tenaga senior periklanan Indonesia, antara lain keluaran PT
Intervista, memang bekerja sama dengan Bates International
Advertising Agency, salah satu yang terbesar di AS. "Modal dan
tenaga asing itu sangat membahayakan sistem komunikasi dan
membawa lari kekayaan nasional kita," kata Indra.
Tak kurang dari Savrinus Suardi, Ketua Umum P31 sebelum Indra,
yang merasa tak begitu gembira dengan suara keras penerusnya
itu. Kini duduk sebagai anggota dewan kehormatan P31, Savrinus,
yang memimpin perusahaan iklan Inter Admark menilai pendapat
rekannya itu "bak menepuk air di du lang, yang terpercik muka
sendiri." Savrinus malah beranggapan, peraturan pemerintah di
bidang periklanan, cukup melindungi perusahaan iklan nasional.
"Kalau tidak, wah, kita-kita ini sudah tergilas semua."
Seluruh perusahaan periklanan di Indonesia, mulai dari yang
kelas 'teri' sampai yang besar seperti Fortun Indonesia,
Indo-Ad, Matari, Intervista dan Inter Admark, berjumlah sekitar
300-an. Tapi yang menjadi anggota P31, baru sekitar 60
perusahaan. Tak begitu jelas, apakah setelah Indra bersuara
galak itu, makin banyak yang berkeinginan masuk menjadi anggota
P31, secara sukarela. Adalah "tugas P31 untuk menghimpun semua
perusahaan iklan ke dalam satu organisasi," kata Savrinus.
Dir-Ut PT Intervista Noeradi, yang kehilangan beberapa anak
buahnya karena pindah ke Bates, memperingatkan agar periklanan
nasional berhati-hati terhadap peranan asing. "Kenyataan yang
harus kita hadapi adalah ini: klien potensial biro-biro iklan
masih juga perusahaan asing atau patungan, yang memasarkan
barang-barang impor atau produk tertentu berdasarkan lisensi,"
katanya kepada TEMPO. "Perusahaan-perusahaan itu tentu lebih
suka memasarkan barangnya melalui perusahaan pemasaran nasional
yang manajer iklannya adalah orang asing, berselubung sebagai
advisur."
Tapi Noeradi tak melihat modal asing sebagai momok. "Kami tidak
takut dengan modal dan tenaga asing. Dan kami akan jalan terus,
dengan atau tanpa mereka," katanya. Adanya persaingan yang keras
di dunia iklan, ia angap sebagai hal yang lumrah. "Filma, klien
kami yang memproduksi sabun Palmolive telah pindah ke Bates.
Filma di mana pun selalu dilayani oleh Bates. Juga di Indonesia,
tentunya.
Apa komentar orang Bates? "Pernyataan Indra tidak fair, " kata
salah seorang pendiri Bates Kencana Indonesia kepada TEMPO.
"Kami toh punya izin usaha dan orang asingnya pun memiliki izin
bekerja." Orang asing yang dimaksudkan itu adalah Jack Evans,
yang resminya duduk sebagai tenaga ahli. Kerja sama seperti itu,
menurut Noeradi, juga terdapat di perusahaan Indo Ad, Meridien
dan Perwanal Utama.
KERJA sama dengan modal dan tenaga asing, dalam batas-batas
tertentu, rupanya masih diizinkan oleh pemerintah. Dan
pembatasan itu, antara lain memungkinkan tenaga-tenaga Indonesia
menjabat posisi kunci dalam perusahaan iklan, mulai dari jabatan
direktur utama. Semua kegiatan perusahaan-perusahaan periklanan
yang berafiliasi dengan unsur luar, berada di bawah pengawasan
Departemen Perdagangan dan Koperasi.
Adakah yang menyeleweng? "Sampai sekarang belum ada, juga belum
terima informasi adanya perusahaan yang bekerja sama dengan
asing, telah menyeleweng," kata Wahyu Sukoco, pejabat Departemen
Perdagangan dan Koperasi yang diminta menutup seminar itu.
Masih berperannya modal asing dalam bisnis periklanan di sini,
agaknya bukan tanpa sebab. "Kalau dunia iklan ingin jadi besar,
itulah jalan satu-satunya yang masih terbuka--mencari dana dari
luar," kata sebuah sumber periklanan. Menurut dia, para
pengusaha di dalam negeri umumnya belum tertarik untuk menanam
modalnya di bidang periklanan. "Dan uang yang berputar dalam
bisnis iklan di sini cukup besar," katanya.
Adapun dana yang berputar dalam bisnis periklanan di Indonesia
memang bisa menggiurkan orang. Seperti diungkapkan Men-Pen Ali
Moertopo dalam sambutan tertulisnya, dana itu meningkat terus
dari tahun ke tahun. Di akhir Pelita 1, jumlahnya masih sekitar
Rp 12 milyar. Tapi menjelang akhir tahun lalu sudah meningkat
menjadi Rp 118 milyar. Dan tahun ini nampaknya sudah berubah
menjadi Rp 135 milyar.
Uang sebanyak itu, menurut seorang pemuka iklan Indonesia,
sebagian besar berputar di Jakarta. Konon adalah perusahaan
iklan yang bekerja sama dengan asing memiliki billing paling
banyak. Seperti Indo Ad, Inter Admark, Grafik Ad, dan juga
Fortune, masing-masing memiliki tagihan total sebesar Rp 4
milyar setahun. Sedang Unilever, yang dulunya dipegang oleh
Lintas Advertising, memiliki billing sampai Rp 5 milar. Di bawah
itu, yang resminya tak berafiliasi, adalah perusahaan Matari dan
Intervista.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini