Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Asing, Go Home? Asing, Go Home ?

Seminar periklanan di jakarta, a.l memperdebatkan masalah peranan modal asing dan tenaga ahlinya. indira abidin, mengungkapkan tekad p3i untuk menutup pintu periklanan indonesia dari unsur asing.(eb)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA dimengerti kalau para tokoh periklanan Indonesia merasa perlu berseminar pekan lalu. Selain menjelang tutup tahun, yang seperti biasa banyak diisi oleh kegiatan seminar, dunia iklan, tentu saja, tak lepas dari hempasan resesi berat yang kini tengah menimpa dunia. Apalagi yang paling merasa kena pukul adalah negeri-negeri industri sumber dari macam-macam produk yang mereka promosikan. Bukan cuma itu. Dalam seminar dua hari pekan lalu yang dibuka oleh Dir-Jen PPG Sukarno, mewakili Men-Pen Ali Moertopo, sekitar 300 pesertanya juga memperdebatkan masalah peranan modal asing dan tenaga ahlinya. Modal dan tenaga asing ini bahkan dengan bahasa yang seram dilukiskan "bergentayangan di perusahaan-perusahaan periklanan Indonesia." Itu kata-kata Indra Abidin, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P31). Tokoh ini memang berhasil merebut perhatian peserta ketika tampil sebagai pembicara. Bukan karena makalah yang ia sodorkan itu setebal 34 halaman, tapi karena Indra Abidin, Direktur Pelaksana PT Fortune Indonesia itu mengungkapkan tekad P31: Menutup rapat pintu periklanan Indonesia dari semua unsur asing, mulai awal 1983. Banyak juga rekannya yang terkejut mndengar ucapan Indra yang bernada antiasing itu. Apalagi, seperti kata seorang hadirin, perusahaan iklan yang di pimpin sebenarnya baru saja mengakhir partnership-nya dengan Fortune Hong kong yang induknya di Australia, setelah bekerja sama selama lebih 10 tahur dengan unsur luar itu. Tapi rupanya Indra kini meliha soalnya berbeda: ia menuding muncul nya PT Bates Kencana Indonesia bebe rapa bulan lalu, sebagai "boneka asing". Perusahaan yang kini dipimpin beberapa tenaga senior periklanan Indonesia, antara lain keluaran PT Intervista, memang bekerja sama dengan Bates International Advertising Agency, salah satu yang terbesar di AS. "Modal dan tenaga asing itu sangat membahayakan sistem komunikasi dan membawa lari kekayaan nasional kita," kata Indra. Tak kurang dari Savrinus Suardi, Ketua Umum P31 sebelum Indra, yang merasa tak begitu gembira dengan suara keras penerusnya itu. Kini duduk sebagai anggota dewan kehormatan P31, Savrinus, yang memimpin perusahaan iklan Inter Admark menilai pendapat rekannya itu "bak menepuk air di du lang, yang terpercik muka sendiri." Savrinus malah beranggapan, peraturan pemerintah di bidang periklanan, cukup melindungi perusahaan iklan nasional. "Kalau tidak, wah, kita-kita ini sudah tergilas semua." Seluruh perusahaan periklanan di Indonesia, mulai dari yang kelas 'teri' sampai yang besar seperti Fortun Indonesia, Indo-Ad, Matari, Intervista dan Inter Admark, berjumlah sekitar 300-an. Tapi yang menjadi anggota P31, baru sekitar 60 perusahaan. Tak begitu jelas, apakah setelah Indra bersuara galak itu, makin banyak yang berkeinginan masuk menjadi anggota P31, secara sukarela. Adalah "tugas P31 untuk menghimpun semua perusahaan iklan ke dalam satu organisasi," kata Savrinus. Dir-Ut PT Intervista Noeradi, yang kehilangan beberapa anak buahnya karena pindah ke Bates, memperingatkan agar periklanan nasional berhati-hati terhadap peranan asing. "Kenyataan yang harus kita hadapi adalah ini: klien potensial biro-biro iklan masih juga perusahaan asing atau patungan, yang memasarkan barang-barang impor atau produk tertentu berdasarkan lisensi," katanya kepada TEMPO. "Perusahaan-perusahaan itu tentu lebih suka memasarkan barangnya melalui perusahaan pemasaran nasional yang manajer iklannya adalah orang asing, berselubung sebagai advisur." Tapi Noeradi tak melihat modal asing sebagai momok. "Kami tidak takut dengan modal dan tenaga asing. Dan kami akan jalan terus, dengan atau tanpa mereka," katanya. Adanya persaingan yang keras di dunia iklan, ia angap sebagai hal yang lumrah. "Filma, klien kami yang memproduksi sabun Palmolive telah pindah ke Bates. Filma di mana pun selalu dilayani oleh Bates. Juga di Indonesia, tentunya. Apa komentar orang Bates? "Pernyataan Indra tidak fair, " kata salah seorang pendiri Bates Kencana Indonesia kepada TEMPO. "Kami toh punya izin usaha dan orang asingnya pun memiliki izin bekerja." Orang asing yang dimaksudkan itu adalah Jack Evans, yang resminya duduk sebagai tenaga ahli. Kerja sama seperti itu, menurut Noeradi, juga terdapat di perusahaan Indo Ad, Meridien dan Perwanal Utama. KERJA sama dengan modal dan tenaga asing, dalam batas-batas tertentu, rupanya masih diizinkan oleh pemerintah. Dan pembatasan itu, antara lain memungkinkan tenaga-tenaga Indonesia menjabat posisi kunci dalam perusahaan iklan, mulai dari jabatan direktur utama. Semua kegiatan perusahaan-perusahaan periklanan yang berafiliasi dengan unsur luar, berada di bawah pengawasan Departemen Perdagangan dan Koperasi. Adakah yang menyeleweng? "Sampai sekarang belum ada, juga belum terima informasi adanya perusahaan yang bekerja sama dengan asing, telah menyeleweng," kata Wahyu Sukoco, pejabat Departemen Perdagangan dan Koperasi yang diminta menutup seminar itu. Masih berperannya modal asing dalam bisnis periklanan di sini, agaknya bukan tanpa sebab. "Kalau dunia iklan ingin jadi besar, itulah jalan satu-satunya yang masih terbuka--mencari dana dari luar," kata sebuah sumber periklanan. Menurut dia, para pengusaha di dalam negeri umumnya belum tertarik untuk menanam modalnya di bidang periklanan. "Dan uang yang berputar dalam bisnis iklan di sini cukup besar," katanya. Adapun dana yang berputar dalam bisnis periklanan di Indonesia memang bisa menggiurkan orang. Seperti diungkapkan Men-Pen Ali Moertopo dalam sambutan tertulisnya, dana itu meningkat terus dari tahun ke tahun. Di akhir Pelita 1, jumlahnya masih sekitar Rp 12 milyar. Tapi menjelang akhir tahun lalu sudah meningkat menjadi Rp 118 milyar. Dan tahun ini nampaknya sudah berubah menjadi Rp 135 milyar. Uang sebanyak itu, menurut seorang pemuka iklan Indonesia, sebagian besar berputar di Jakarta. Konon adalah perusahaan iklan yang bekerja sama dengan asing memiliki billing paling banyak. Seperti Indo Ad, Inter Admark, Grafik Ad, dan juga Fortune, masing-masing memiliki tagihan total sebesar Rp 4 milyar setahun. Sedang Unilever, yang dulunya dipegang oleh Lintas Advertising, memiliki billing sampai Rp 5 milar. Di bawah itu, yang resminya tak berafiliasi, adalah perusahaan Matari dan Intervista.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus