Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIMON Santoso tertawa kecil ketika juniornya, Chandra Sim, gagal mengembalikan bola smesnya. Chandra hanya menggelengkan kepala dengan setengah menunduk.
Siang itu, Jumat dua pekan lalu, Simon sedang menjalani latihan di markas Perkumpulan Bulu Tangkis Tangkas Specs, Tangkas Sports Center, Jakarta. Chandra dan Fahmi, dua junior yang masing-masing berumur 18 dan 19 tahun, sedang membantu Simon. Mereka berada di seberang Simon, mengumpankan bola-bola untuk disambut Simon dengan pukulan net push.
Menurut Simon, program latihan dua lawan satu yang ia jalani siang itu diperlukan agar latihannya tak terganggu oleh bola-bola mati. "Kalau dua orang kan menjadi lebih kuat; tidak gampang mati," ujar Simon kepada Tempo, yang mengamatinya berlatih.
Toh, Simon masih sering menyaksikan lawan-lawannya gagal mengembalikan bola sehingga latihan net push itu beberapa kali terhenti. Maklum, yang dia hadapi memang bukan pemain sekelasnya. Mereka bukan pemain bulu tangkis terbaik se-Indonesia yang dikumpulkan menjadi satu—seperti yang ada di pemusatan latihan nasional (pelatnas) Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI).
Simon mengakui fasilitas yang ia dapatkan di klub tidak selengkap di pelatnas. "Tak ada dokter khusus. Kalau mau berangkat turnamen juga harus mengurus sendiri," katanya.
Kondisi itu merupakan konsekuensi yang harus ia tanggung saat memutuskan keluar dari pelatnas PBSI pada 16 Maret lalu. Simon keluar menyusul Tommy Sugiarto, yang memutuskan mundur dari pelatnas dua pekan sebelumnya. Maka, hanya dalam kurun tiga bulan, pelatnas PBSI kehilangan dua pemain tunggal putra senior. PP PBSI pun tak lagi memiliki stok pemain senior untuk bisa dijadikan ujung tombak sektor tunggal putra dalam berbagai kejuaraan penting, seperti Piala Sudirman, yang akan berlangsung bulan ini, atau Piala Thomas pada tahun depan.
Yang tinggal hanyalah pemain-pemain yang jauh lebih muda, seperti Anthony Sinisuka Ginting, Ihsan Maulana Mustofa, dan Jonathan Christie, yang semuanya masih berusia di bawah 20 tahun.
Simon mengatakan ingin berada di luar pelatnas karena ingin lebih bebas menentukan turnamen yang akan ia ikuti. Menurut pemain berusia 29 tahun dan pernah berada di pelatnas selama 11 tahun lebih itu, kondisi ini lebih ideal buat pemain seumurannya.
Saat di pelatnas, Simon menjelaskan, keikutsertaan seorang pemain sudah ditentukan. "Bisa sih (meminta modifikasi jadwal keberangkatan), tapi kan ada kuota," ujarnya. "Kalau pemain senior jatahnya, ya, ikut di turnamen super series karena kalau kelas grand prix gold itu jatah pemain junior."
Super series adalah turnamen internasional kelas tertinggi, seperti All England, Indonesia Terbuka, dan Malaysia Terbuka. Sedangkan level grand prix gold berada di bawah super series, seperti Jerman Terbuka, Kanada Terbuka, dan Vietnam Terbuka.
Menurut Simon, pemain-pemain senior kadang juga perlu bermain di turnamen kelas grand prix gold. "Biasanya untuk mencari poin," ucapnya. Seperti yang dilakukan Simon pekan ini: berpartisipasi dalam turnamen grand prix gold Selandia Baru Terbuka. Dia sedang mengumpulkan poin agar peringkat dunianya bisa memenuhi syarat untuk ikut Olimpiade tahun depan.
Tahun lalu Simon sebenarnya sudah menikmati prestasi dengan berada di luar pelatnas. Ia, misalnya, merebut gelar juara turnamen super series Singapura Terbuka 2014. Di babak final, Simon mengalahkan pemain tunggal nomor satu dunia saat itu, Lee Chong Wei. Saking nyamannya berada di klub, menurut Christian Hadinata, pelatih Simon di Tangkas, Simon bahkan sempat merasa ragu ketika kembali dipanggil ke pelatnas setelah menjadi juara di Singapura.
Sementara keikutsertaan turnamen menjadi alasan Simon keluar dari pelatnas, lain halnya dengan Tommy Sugiarto. Dia merasa tak diperlakukan dengan istimewa di pelatnas PBSI. "Padahal saya sedang dipersiapkan untuk menghadapi Olimpiade 2016," katanya.
Hal yang dianggap Tommy sebagai contoh kurangnya perhatian pengurus terhadap dirinya adalah soal pelatih. Ia menyebutkan cara pelatih tunggal putra melatih dan mendampingi atlet dalam sebuah pertandingan tak membuatnya nyaman. Tapi Tommy tak menjelaskan metode pelatihan seperti apa yang membuatnya tak cocok itu.
Ia merasa lebih nyaman dengan pelatih tunggal sebelumnya, Joko Supriyanto, yang dipanggil melatih di pelatnas sejak awal 2013 hingga digantikan pada pertengahan 2014. Kenyamanan ini, menurut Tommy, berpengaruh pada pencapaian prestasinya. Di bawah bimbingan Joko, Tommy berhasil masuk tiga besar dunia.
"Saya sudah membicarakan hal ini beberapa kali dengan Kak Rexy (Mainaky), tapi tetap tak ada perubahan," ucap Tommy. Rexy adalah Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI. "Berarti saya memang harus mencari solusi sendiri di luar."
Tommy kini dilatih oleh sang ayah, Icuk Sugiarto. April lalu, ia masuk semifinal Singapura Terbuka.
Kepala Subbidang Pelatnas PBSI Ricky Subagdja membenarkan cerita Tommy keluar dari pelatnas. Menurut Ricky, Tommy memang menyatakan tak cocok dengan metode pelatihan selama ini. "Kami sudah mencoba mencari solusi—menemukan apa yang membuatnya tak nyaman dan berdiskusi bagaimana mengatasinya," tutur Ricky. "Tapi, setelah itu berjalan, ternyata dia tetap tak bisa (cocok)."
Joko Supriyanto menyarankan agar antara pemain, pelatih, dan pengurus membangun kepercayaan. Ia menyebutkan perginya atlet-atlet senior di tunggal putra, baik karena mengundurkan diri maupun yang akhirnya didegradasi, seperti Dionysius Hayom Rumbaka, merupakan kegagalan dalam membangun kepercayaan itu. "Sebenarnya kita masih membutuhkan mereka selama dua-tiga tahun ke depan," kata Joko. "Tapi mereka sepertinya tak mendapat porsi perhatian yang seharusnya."
Menanggapi kritik ini, Ricky mengatakan PBSI sebenarnya telah membuka diri terhadap setiap masukan. Ia, misalnya, menjelaskan, sejak Januari tahun ini, PBSI mengadakan forum khusus untuk berbagi pada setiap Senin dan Jumat. Forum yang dihadiri pelatih dan pengurus yang berhubungan dengan pembinaan dan prestasi ini bertujuan memperlancar komunikasi dan membangun kekompakan. "Apa pun boleh diungkapkan dalam forum itu. Jadi tak ada lagi yang dibicarakan di belakang," ujarnya.
Forum itu, kata Ricky, adalah salah satu dari sekian usaha untuk mengembalikan kepercayaan publik dan pelaku bulu tangkis kepada pelatnas PBSI.
Ia menambahkan, perginya pemain senior membawa konsekuensi bagi PBSI untuk bekerja keras melatih pemain muda. "Untuk membentuk pemain juara jelas butuh proses, tak bisa satu-dua tahun," ucapnya.
Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo