Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Aura Baru Novel Kebatinan

Novel yang mengeksplorasi pergulatan batin tokoh-tokoh gerakan kebatinan. Menggunakan pengadilan Sawito Kartowibowo, kerusuhan 27 Juli 1996, kerusuhan Mei 1998, dan pengunduran diri Soeharto sebagai latar cerita.

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judul: Kuil di Dasar Laut
Pengarang: Seno Joko Suyono
Penerbit: Lamalera, Yogyakarta
Cetakan I: Januari 2014
Tebal: vi + 612 halaman

Daya tarik utama novel ini adalah kemampuannya menghadirkan dunia kebatinan sebagai materi cerita. Tapi tidak hanya itu. Ia melangkah lebih berani: mengaitkan dunia kebatinan dengan politik, terutama dengan Presiden Soeharto. Penerawangan kebatinan dalam novel ini menyingkap soal yang selama ini telah menjadi gosip di seputar penguasa utama Orde Baru tersebut. Dari kebiasaan Soeharto bertapa di sejumlah tempat demi meraih wahyu keprabon, berguru kepada tokoh-tokoh kebatinan, hingga wahyu keprabon Soeharto yang lenyap setelah Ibu Tien meninggal.

Di sini kaum kebatinan menjadi penting karena mereka juga, dengan cara mereka sendiri, ikut dalam gerakan menjatuhkan Soeharto. Sementara kaum intelektual dan mahasiswa tampil di permukaan dan mendapat banyak liputan media, mereka bergerak secara rahasia dan berpindah-pindah. Kelompok yang dipimpin oleh Pak Sinaga itu, dengan dua "anak bawang" Jeanne dan Suryo, mengunjungi pelbagai petilasan di sejumlah daerah di Jawa dan Sumatera, memohon pertolongan Yang Mahakuasa agar wahyu keprabon Soeharto dicabut dan jika kekuasaannya berakhir tidak akan ada pertumpahan darah sebagaimana pada masa akhir Sukarno.

Pada titik ini terjadilah persinggungan novel dengan dunia di luarnya, terutama sejarah dan berita. Tapi Seno tidak ingin bersaing dengan dua kekuatan tersebut. Ia menjadikan petikan-petikan sejarah dan berita itu hanya sebagai latar cerita. Misalnya tentang kematian Ibu Tien Soeharto, kerusuhan 27 Juli 1996, kerusuhan Mei 1998, dan momen pengunduran diri Soeharto selaku presiden. Juga peristiwa pengadilan Sawito Kartowibowo, tokoh kebatinan yang digadang-gadang sebagai Raja Nusantara dan akan menggantikan Soeharto.

Yang dilakukan Seno adalah mengeksplorasi pergulatan batin tokoh-tokoh gerakan kebatinan itu, terutama Jeanne dan Suryo. Mereka adalah sepasang kekasih yang menjadi anggota gerakan kebatinan tersebut, kemudian berpisah dan menempuh nasib masing-masing. Jeanne menikah dan menjadi wanita salehah, sementara Suryo melarikan diri setelah menyaksikan tokoh-tokoh penting gerakan kebatinan itu dibunuh dan mati secara tidak wajar. Ia akhirnya kembali ke kehidupan Katolik dan bekerja sebagai fotografer.

Salah satu rumus klasik kisah romansa yang dimainkan pengarang di bagian ini adalah Jeanne bertemu lagi dengan Suryo, yang kebetulan mendapat proyek memotret candi-candi di kawasan Indocina. Tapi, percayalah, novel ini bukanlah novel picisan. Dengan caranya yang nyaris sempurna, Kuil di Dasar Laut berhasil menyimpulkan satu ide dasar: manusia di masa kini adalah selalu merupakan gandaan (ala Borges), reinkarnasi (ala Buddha), atau titisan (ala kebatinan) dari manusia di masa sebelumnya. Tubuh bisa hancur oleh kematian, tapi jiwa selalu abadi. Ia lahir kembali dalam tubuh yang lain.

Namun novel ini tidak bisa menyempurnakan bentuknya. Ia dikerjakan dengan penyuntingan yang kurang rapi—hal yang juga merundung novel Seno sebelumnya: Tak Ada Santo dari Sirkus (Lamalera, 211). Di beberapa bagian masih tampak salah cetak nama, inkonsistensi penulisan kata, dan merebaknya ragam bahasa lisan. Dalam kadar tertentu, ragam bahasa lisan memang bisa melenturkan kekakuan bahasa tulisan.

Bagaimana pengarang bisa mencapai kualitas seperti itu? Seno membuat lukisan yang terindrai pembaca. Namun di sinilah masalah baru muncul. Ternyata pengarang tidak sepenuhnya menggunakan kekuatan bahasa Indonesia. Lukisan suasana menjadi hidup justru karena ditunjang oleh kosakata Jawa, bahasa ibu sang pengarang—sesekali bahasa Inggris. Dengan kata lain, pengarang sebenarnya belum berhasil sepenuhnya mendayagunakan bahasa Indonesia sebagai media pengucapan novelnya.

Zen Hae, penyair dan kritikus sastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus