Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juhara meremas kuat buntelan kain kelabu di atas seember air. Dari pori-pori kain, perlahan keluar partikel kelabu yang lalu tenggelam, mengendap di dasar ember, dan membentuk gumpalan likuid mengkilat. Lima menit berselang, dia memungut bola logam kecil dari balik kain. "Ini sudah campuran emas dan perak, tinggal dibakar saja supaya merkurinya hilang," ujarnya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Lebih dari sepuluh tahun Juhara menggunakan merkuri untuk mengolah emas. Seperti Juhara, ratusan orang di Desa Kujang Sari dan Situmulya, Kasepuhan Cisitu, Lebak, Banten, bersentuhan langsung dengan logam berat beracun itu saat "memanen" emas. Puluhan penggilingan bising beroperasi siang-malam, memilah logam mulia dari tanah, batu, dan lumpur.
Pendapatan hingga Rp 500 ribu per hari mengalahkan nalar untuk hidup sehat. Tanpa masker atau pelindung, para pengolah emas bekerja dan membakar bola merkuri di penggilingan yang mereka sebut rental. Kepulan asap sangit beracun pun terhirup. "Yang penting tidak mati sekarang," kata Juhara, tertawa.
Aktivitas penambangan emas berskala kecil di wilayah Cisitu berlangsung lebih dari 20 tahun. Bahan olahan tanah dan batu digali dari sekitar bekas pertambangan emas Cikotok. Untuk sampai di lokasi, mobil masih harus menempuh lima jam perjalanan, termasuk menyusuri jalan berbatu dan menembus hutan. Sekitar seratus truk mondar-mandir setiap hari memasok berkarung-karung material ke rental untuk digiling.
Merkuri gampang didapat. Menurut mantan pekerja tambang, Dery Rusiady, merkuri bisa dibeli di Pelabuhan Ratu atau Lebak. Merkuri dalam kemasan botol seberat satu kilogram juga ada di toko atau penampung emas di Cisitu. Tahun lalu, merkuri sempat mencapai harga tertinggi Rp 1,5 juta per kilogram. "Sekarang Rp 200-300 ribu juga dapat. Itu buatan industri lokal," ujar Dery, yang pernah bekerja di tambang dua tahun selepas lulus sekolah menengah atas pada 2009.
Demam emas membawa perubahan besar di kampung berisi sekitar 7.000 jiwa itu. Rumah-rumah besar berlantai dua berdiri megah berimpitan dengan hunian kecil dan tenda rental. Mobil SUV mewah serta sepeda motor besar dan kecil berseliweran di jalan kampung yang sempit dan berbatu itu. Namun mereka juga rugi besar akibat asap beracun dan limbah merkuri.
Dampak penggunaan merkuri tidak timbul seketika. Efek terhadap kesehatan baru muncul 10-15 tahun kemudian. Keuntungan mengolah emas ternyata terlalu menggiurkan sehingga merkuri dipakai secara intens. Diperkirakan 25 ton merkuri mengalir di Cisitu setiap tahun. "Ini masalah yang ruwet karena terkait dengan perekonomian masyarakat," ujar Yuyun Ismawati, penasihat senior BaliFokus Foundation, lembaga nonpemerintah yang giat mengkampanyekan bahaya merkuri.
BaliFokus memperkirakan jumlah pertambangan emas berskala kecil di Indonesia meningkat. Pada 2010 saja ada sekitar 900 lokasi dengan lebih dari 250 ribu buruh tambang. Lebih dari satu juta jiwa hidup dari sektor yang diprediksi menghasilkan 65-130 ton emas per tahun tersebut.
Pertambangan emas berskala kecil, menurut laporan United Nations Environment Programme pada 2013, adalah sumber emisi merkuri terbesar. Sektor itu menghasilkan seribu ton atau sekitar 37 persen dari emisi merkuri global. Sedangkan di Indonesia, menurut peneliti BaliFokus, pertambangan emas berskala kecil menyumbang 57 persen atau sekitar 195 ton dari total emisi merkuri nasional.
Uap merkuri bisa bertahan lama di udara serta tersimpan di tanah, air, ikan, dan tanaman. Efek paparan merkuri di udara menyebabkan gangguan kesehatan seperti bronkitis, batuk, radang gusi, peningkatan volume air ludah, dan ruam kulit. Dampak lain adalah diare disertai perdarahan. Akumulasi merkuri dalam tubuh juga bisa berefek buruk pada janin, saraf, penglihatan, dan pendengaran serta dapat mengakibatkan cacat fisik.
Laporan BaliFokus pada Maret 2015 menunjukkan 27 persen atau 35 dari 130 warga Cisitu positif terinfeksi merkuri. Indikasi tersebut diperoleh dari tes rambut. Hasilnya mirip dengan pencemaran merkuri di Teluk Minamata, Jepang, pada 1950-an—keracunan merkuri terbesar sepanjang sejarah, dengan 2.800 korban jiwa.
Lembaga itu juga memeriksa penduduk dan lokasi pertambangan emas di Bombana, Sulawesi Tenggara, dan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Kadar konsentrasi merkuri di udara di sana mencapai 55 ribu nanogram per meter kubik. Padahal batas amannya 20 nanogram per meter kubik.
Sulit memastikan keracunan merkuri tanpa observasi mendalam dan pemeriksaan di laboratorium. Erwan Susanto, dokter di Puskesmas Cibeber, Banten, mengatakan gejala keracunan merkuri mirip dengan demam biasa, alergi, influenza, atau darah tinggi. "Cuma dikasih penurun demam, obat gatal, atau penurun tekanan darah," ujarnya. Erwan awalnya tak tahu gejala keracunan merkuri. "Sekarang pemeriksaan bisa mendalam kalau pasiennya dari daerah berisiko tinggi seperti Cisitu," katanya.
Rifki adalah salah satu penderita gangguan saraf yang diduga akibat merkuri. Bocah dua tahun itu tak dapat berjalan normal dan kesulitan merespons komunikasi. Bentuk kepala Rifki pun lebih besar dan lonjong daripada ukuran normal bocah seusianya. Rifki lahir secara normal, tapi sempat kejang dan mengalami demam tinggi pada usia satu setengah bulan. "Kata dokter, ada kemungkinan pembuluh darah di kepalanya pecah," ujar Mimin, ibunya.
Tanpa penghasilan tetap, Mimin tak sanggup memenuhi biaya operasi kepala yang mencapai Rp 200 juta. Mimin kini menumpang di rumah kakaknya, tepat di sebelah rental pengolahan emas. Dia pasrah meski tahu hidup di daerah berisiko tinggi racun merkuri. "Karena milik orang, ya, mau bagaimana lagi," katanya.
Dugaan keracunan merkuri juga dialami Ocih, yang rumahnya berdekatan dengan rental emas. Dia mengalami tremor atau badan gemetar tak terkontrol sejak tujuh tahun lalu. Padahal perempuan 65 tahun itu awalnya berfisik normal dan sanggup bertani.
Ancaman merkuri membuat Dery sengaja mengungsikan istrinya. Dia tak mau memboyong istrinya ke Cisitu karena khawatir merkuri berefek buruk pada keturunannya kelak. "Lebih baik istri saya di Bandung daripada nanti kena bahaya merkuri," ujar Dery, yang merupakan cucu Pemangku Adat Kasepuhan Cisitu Mochamad Okri.
Yuyun mengatakan minimnya pengetahuan masyarakat membuat pemakaian merkuri tak terkontrol. Untuk memperketat peredaran merkuri, misalnya, pemerintah mesti meratifikasi Konvensi Minamata. "Cara paling efektif lain adalah menyetop perdagangannya," ujarnya.
Sekretaris Adat Desa Kasepuhan Cisitu Yoyo Yohenda juga menganggap pemerintah tak peduli terhadap kondisi warganya. Yoyo mengatakan penduduk menambang emas memakai merkuri demi memenuhi kebutuhan hidup. Sejauh ini, belum ada perwakilan Pemerintah Kabupaten Lebak yang datang dan memberikan solusi. Hanya perwakilan Kementerian Kesehatan beberapa kali meninjau kondisi warga Cisitu meski tanpa solusi jelas. "Pemerintah daerah seperti buta," katanya.
Pemerintah Kabupaten Lebak menolak dianggap tidak peduli akan dampak merkuri terhadap masyarakat. Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengklaim rutin melakukan penyuluhan melalui Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, menurut dia, masyarakat tidak mengindahkannya. "Yang tidak peduli itu dirinya atau Pemkab?" kata Iti melalui pesan pendek kepada Tempo.
Iti mengatakan Pemerintah Kabupaten Lebak sudah melakukan penelitian dan analisis dampak lingkungan. Namun, menurut dia, Pemerintah Kabupaten belum mengetahui adanya temuan penyakit yang mirip dengan wabah Minamata. "Belum ada laporan juga dari masyarakat," ujarnya.
Satwika Movementi, Wasiul Ulum, Gabriel Titiyoga
Pengolahan Emas dengan Merkuri
Kondisi normal:
Keracunan merkuri:
Sumber paparan merkuri:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo