Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga Film Menguak Seks dan Kita

Tiga film pendek (yang panjang) berkisah tentang penjelajahan seks dan kekuatan perempuan. Menarik dan layak ditayangkan di bioskop.

4 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah Cinta yang Asu, Sendiri Diana Sendiri, dan The Fox Exploits the Tiger's Might menunjukkan satu bukti. Film pendek bisa berdiri sendiri dan layak ditayangkan di bioskop untuk dinikmati penonton yang lebih luas. Film pendek, yang sering dianggap sebagai langkah awal para sineas menuju pembuatan film layar lebar, sebetulnya sebuah bentuk kesenian yang mandiri. Film pendek, sama seperti cerita pendek dalam dunia sastra, seharusnya bukan "bentuk pelajaran" belaka bagi para sineas. Ini ditunjukkan tiga sineas yang tengah berkibar namanya: Yosep Anggi Noen, Kamila Andini, dan Lucky Kuswandi, bahwa tiga film pendek mereka adalah bentuk ekspresi yang berbeda dengan film layar lebar yang pernah mereka garap sebelumnya.

Diproduksi Babibutafilm bekerja sama dengan Hivos Asia Hub dan Yayasan Cipta Citra Indonesia, tiga film pendek yang ditayangkan di Institut Francais d'Indonesie pekan lalu itu, seperti berbagai film pendek yang selama ini diputar di festival, seharusnya mendapat perhatian yang jauh lebih serius dibanding film-film layar lebar yang pembuatannya sembarangan. Dibuat dengan tema yang jarang disentuh—atau, kalaupun temanya keseharian, para sineasnya berani mengambil dari sisi yang berbeda—film-film pendek sering lebih mencerahkan daripada film layar lebar yang tersaji kini di bioskop.

Di dalam film karya Lucky Kuswandi, misalnya, kita menyaksikan dua pemuda akil-balig yang celentang menguak layar imajinasi. Mereka menatap foto Eva Arnaz sembari menganga dan segera membayangkan segala yang legit dari setiap lekuk dadanya, lengkap dengan diskusi rambut di segala sudut tubuhnya. David dan Aseng: yang satu adalah anak jenderal yang belagu dan merasa berkuasa; yang satunya lagi anak keluarga Tionghoa pedagang tembakau dan minuman selundupan. Dari model rambut David dan Aseng; warung tembakau dan minuman keras cap Macan yang dijual Encik, emak si Aseng; serta duit lama yang keluar-masuk laci Encik, kita lantas menyadari setting film ini agaknya tahun 1980-an. Bukankah kedua lelaki remaja itu bermasturbasi dengan foto aktris Eva Arnaz?

Sekali lagi, sutradara Lucky Kuswandi (Selamat Pagi, Malam, 2014) dalam film The Fox Exploits the Tiger's Might berkisah tentang hal yang tampak begitu "biasa" tapi tidak sederhana: seks dan kita. Seks sebagai bagian dari tubuh dan jiwa kita yang merayap begitu cepat, diam-diam, saat kita mulai berusia semuda kedua anak bandel ini: David dan Aseng. Lucky memilih pendekatan yang subtil. Di barak militer, Aseng menatap para tentara yang berolahraga. Gerak kamera yang membelai otot dan tubuh para tentara yang tegap adalah gerak mata Aseng. Tak pernah ada ucapan orientasi seksual para tokoh dalam film sepanjang 25 menit ini. Yang tampil adalah penjelajahan seks oleh semua tokohnya: David, Aseng, Aling, bahkan si penjaga sialan yang diperankan Surya Saputra.

Karena ini film pendek, kita berasumsi para tokohnya menyelesaikan segala sesuatu dengan seks: apakah itu masturbasi atau seks di antara dua orang. Latar belakang atau perjalanan batin para tokoh, apa boleh buat, harus kita bayangkan sendiri, karena inilah fitrah sebuah film atau cerita pendek: sebuah atau dua buah momen dalam satu masa kehidupan tokoh-tokohnya.

Film ini terpilih dalam kompetisi 54th Semaine de la Critique Cannes tahun ini (Pekan Kritik dalam Festival Film Cannes) dan layak menjadi catatan baru. Sebab, puluhan tahun setelah film Tjoet Nja' Dhien (Erros Djarot), baru kali ini ada film Indonesia yang diperhitungkan dalam festival bergengsi itu.

Tema seksualitas juga dominan dalam film pendek karya Yosep Anggi Noen berjudul Kisah Cinta yang Asu, yang bercerita tentang dua pelacur dari kelas yang berbeda. Ning adalah pelacur jalanan, sedangkan Martha pelacur di hotel-hotel mewah yang siap berdandan model apa saja—dari cewek berseragam sekolah menengah atas sampai awak kabin. Keduanya terlibat dalam hubungan dengan seorang lelaki parasit bernama Erik. Asu? Memang lelaki itu asu. Sudah hidup sebagai parasit bagi kedua perempuan ini, mulutnya luar biasa jahat dan kotor karena dengan mudah dia mengejek bahwa "kamu hanya tinggal celentang saja, to" hanya karena dia cemburu melihat keduanya berdandan untuk klien mereka.

Tentu kita tak perlu paham mengapa kedua perempuan ini kok ya mau dengan lelaki sialan yang asu itu yang tampaknya penganggur dan hanya mengantar mereka ke klien-klien. Ada sesuatu yang tak terkatakan, yang justru membuat kedua perempuan ini kelak terlihat lebih kuat daripada lelaki itu. Bahkan semua lelaki dalam film pendek ini memang dungu dan dikuasai nafsu.

Di dalam film pendek karya Kamila Andini berjudul Sendiri Diana Sendiri, lelaki juga asu dalam bentuk yang lebih subtil. Diana sepanjang film digambarkan sebagai seorang ibu muda dan seorang istri yang mandiri. Semua pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga dikerjakan sendiri. Entah mengapa, keluarga yang tampaknya dari kelas menengah ini tak kelihatan memiliki pembantu. Yang jelas, Diana (diperankan dengan baik oleh Raihaanun) mencuci, menggantung pakaian, memasak, membersihkan rumah, menemani anak bikin pekerjaan rumah, hingga malam menghadapi suaminya (Tanta Ginting) yang begitu saja membeberkan diagram pembagian uang dan waktu jika sang suami menikah lagi. (Ha? Bukankah ini lebih gawat daripada asu? Pengumuman macam apa ini?)

Suami yang digambarkan tak punya hati ini seperti sebuah karakter yang sama sekali tak berkembang. Dari ujung ke ujung dia digambarkan sebagai lelaki keji yang ekonomis dengan kata-kata dan afeksi (mengapa pula perempuan secantik dan sebaik Diana bisa jatuh hati pada lelaki itu?—pertanyaan yang sama muncul lagi). Saya katakan "keji" karena sang suami sama sekali tidak peduli terhadap apa yang dirasakan Diana, apa akibat "pengumuman" dingin itu terhadap istri dan anaknya serta keluarga besarnya.

Dingin dan datarnya sang suami adalah bentuk kekejian verbal yang justru sangat melukai. Yang menarik, selama 40 menit itu, kita tak mendengar sedikit pun teriakan atau jeritan tokoh-tokohnya. Diana menangis dalam diam, dan hanya ketika anaknya sudah tidur. Kamila Andini memang menciptakan tokoh-tokoh yang tidak ekspresif, tapi justru melekat di benak.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus