Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALKISAH sekitar 40 tahun lalu untuk pertama kalinya saya naik ojek. Kala itu, saya sewa ojek dari Terminal Bus Kampung Melayu ke Tebet, Jakarta, yang berjarak sekitar dua kilometer. Lalu, pada kesempatan lain, saya membonceng ojek sepeda ontel dari Glodok ke kantor percetakan majalah sastra Horison di Jalan Pintu Besar, Jakarta. Bilangan sepeda motor kala itu tidak sebanyak sekarang. Barulah pada medio 1980, jumlahnya melonjak 20 kali lipat (data Hal Hill dalam Indonesia's New Order: The Dynamics of Socio-Economics Transformation, 1994). Boleh jadi, sebagian motor itu diojekkan selain sebagai tunggangan pribadi.
Sejauh itu, saya tak pernah tahu apa arti kata ojek dan tak pernah pula menanyakannya kepada yang "berwenang"-kepada tukang ojek itu sendiri, misalnya. Hingga akhirnya saya dengar penuturan Engkong Pe'i, pengojek tua yang mangkal di ujung jalan masuk kampus. Menurut Engkong, kata ojek berasal dari Betawi, atau setidaknya dipopulerkan orang Betawi, sebelum menyebar ke sudut-sudut lain di negeri ini. Populasi ojek pun terus bertambah, khususnya di Jakarta, setelah pemerintah daerah itu melarang becak masuk kota pada 1990-an-ini menurut laporan penelitian Yosh Azuma, "Socioeconomic Changes among Beca Drivers in Jakarta 1988-98" (2000).
Versi Engkong Pe'i, kata ojek pelesetan dari ngobjek, bentukan dari objek atau obyek, yang berarti "cari duit". Alur pikir serupa itu terlihat pada kata turunannya, mengojekkan, yang berarti "menjadikan ojek". Cukup masuk akal, apalagi jika dikaitkan dengan contoh kalimatnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): "lumayan juga penghasilannya dari mengojekkan sepeda motornya". Entah benar entah tidak tuturan Engkong tersebut. Soalnya juga, Kamus Bahasa Betawi-Indonesia (2003) karangan Bundari tidak merekam ojek dalam lemanya. Sebuah tulisan blog menyebutkan kata ojek di tatar Sunda dieja ojeg dengan arti seperti direka-reka: "ongkos ngajegang". Wallahualam.
KBBI yang mengentri ojek tidak mencatat asal-usul kata itu, tapi langsung menjelaskannya dalam dua arti. Pertama, "sepeda atau sepeda motor yang ditambangkan dengan cara memboncengkan penumpang atau penyewanya" (KBBI Edisi Ketiga). Arti kedua, "sepeda atau sepeda motor yang digunakan untuk mengantar penumpang dengan cara diboncengkan di belakang dengan imbalan upah" (Edisi Keempat). Belakangan, jasa pemayungan pada musim hujan yang dijajakan anak-anak juga disebut ojek, "ojek payung". Tapi ojek jenis ini tidak tercatat dalam KBBI.
Perhatikan pula takrif sublema mengobjekkan pada KBBI: "menjadikan sesuatu sebagai objek dari usaha sambilan". Entah kebetulan entah tidak, "sesuatu" dalam contoh kalimatnya pada kamus itu adalah sepeda motor: "ia mengobjekkan sepeda motornya siang hari setelah selesai mengajar". Kalimat itu mengingatkan kita pada gejala yang pernah-dan mungkin masih-populer tentang kasus guru sekolah yang terpaksa ngobjek ojek lantaran gaji resminya yang pas-pasan. Mungkin dirasa membuka rahasia dapur pihak tertentu, contoh kalimat itu dalam KBBI Edisi Keempat diubah menjadi "ia pernah mengobjekkan sepeda motornya sebagai ojek untuk menambah penghasilan keluarganya".
Kata ojek, beserta ojeknya, menyebar ke penjuru Tanah Air. Bahkan, di pucuk Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua, mudah ditemukan alat angkut itu. Biasanya ojek-ojek itu mengangkut penumpang yang baru turun dari pesawat terbang atau beroperasi di dalam kota. Ternyata cukup banyak pengojek itu yang datang dari luar Papua. Sebagian mengaku keturunan transmigran asal Jawa, sebagian yang lain datang belakangan dari daerah yang berbeda-beda. Jadi, boleh dikata, mereka itulah "agen" penyebar kata ojek sekaligus sebagai praktisinya.
Barangkali popularitas kata ojek terutama terletak pada maknanya yang sangat dekat dengan kehidupan subsisten sebagian rakyat di negeri ini. Ojek atau ngojek yang diartikan "ngobjek" itu bisa bersifat temporer yang identik dengan nyambi, nyangkul, atawa moonlighting kata orang bule. Namun makna kata itu terasa "kekal" bagi Engkong Pe'i, yang hampir sepanjang hari-sekitar sebelas tahun menurut pengakuannya-nongkrong di pangkalan ojek, bergiliran menunggu penumpang bersama kawan-kawan senasibnya. Bagi mereka, ngojek bukanlah kerja sambilan, melainkan tumpuan hidup yang sebenarnya.
Naga-naganya, kini, kata ojek akan terus surut, kalaupun tidak lenyap sama sekali, dari peredaran umum seiring dengan maraknya ojek beraplikasi. Saat membuka aplikasi, pemesan kendaraan itu pasti langsung mencèt gambar logo ojek beraplikasi yang dimaksud. Jelas tidak ada logo ojek Engkong Pe'i di situ. l
Kasijanto Sastrodinomo
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo