Jauh sebelum Euro 2000 digelar, tiket pertandingan sudah habis terjual. Tapi mengapa tetap saja orang mencarinya? Simpel saja, selalu saja ada orang "baik" yang kelebihan tiket untuk satu pertandingan dan membagi kelebihan itu. Tentu tidak gratis, karena tiket ini mereka dapatkan bahkan ketika tim mana ketemu siapa belum ketahuan hasilnya. Tegasnya, mereka adalah para tukang catut.
Karena "sistem ekonomi" yang berlaku adalah milik pasar gelap, tak ada standar yang bisa dipegang berapa satu tiket harus dibayar. Untuk pertandingan yang kurang populer macam Portugal melawan Turki, harga tiket yang ditawarkan masih masuk akal. Bahkan, ketika pertandingan tinggal beberapa menit lagi dan tiket mereka masih banyak, mereka rela jual rugi.
Harga tiket catutan mulai gila-gilaan ketika partai semifinal digelar, terutama untuk pertandingan Belanda-Italia. Bila ada yang menawarkan dua atau tiga kali lipat, pasti akan langsung disambar fans fanatik Oranye. Tapi tetap saja sepotong tiket mustahil didapat. Ini tak mengejutkan karena tiap pertandingan tim Kincir Angin ini selalu laris manis. Kalau sudah begitu, nonton bersama di kafe yang menyediakan layar segede punggung gajah adalah pilihan yang paling afdol untuk merasakan suasana stadion.
Bila Belanda bertanding, kegiatan lain terhenti. Toko-toko tutup. Bahkan, sidang parlemen pun ditunda sementara.
Pada hari pertandingan digelar, trem ataupun metro yang menuju arah stadion selalu terlihat sesak. Bahkan, bila Belanda yang bertanding, trem ini bisa bergoyang-goyang karena sepanjang jalan mereka berjingkrak di dalam trem.
Dalam pengaturan trem untuk dua kelompok pendukung yang akan bertanding, kerja panitia di Belgia lebih rapi. Tidak semua fans perlu turun di stasiun Raja Badouin. Sebagian turun di dua stasiun sebelumnya, Houba Bruggmann dan Heysel. Ini untuk menghindari bentrokan dua tim. Langkah ini mutlak dilakukan karena dalam babak penyisihan, Inggris, yang terkenal dengan kegilaan holigannya—main di negara kecil ini. Agar fans tidak bingung, ada kode warna di tiket pertandingan yang jadi petunjuk di stasiun mana ia harus turun.
Untuk urusan stadion, Belanda lebih canggih, terutama di Arena, Amsterdam, yang sehari-hari jadi markas klub Ajax. Ada dua layar besar di dua tepi yang membantu penonton melihat adegan ulangan. Sebaliknya, di Stadion Raja Badouin, fasilitas ini tidak ada. Kemodernan yang terlihat di stadion yang dulu bernama Heysel ini adalah tiap bangkunya yang melekat pada undak-undakan yang terbuat dari beton. Pengalaman buruk belasan tahun lalu ketika puluhan pendukung Juventus tewas di stadion ini adalah sebab utama mengapa tempat duduknya dibuat seperti itu.
Meskipun lebih bersahaja, stadion Badouin ini juga punya kelebihan kecil. Untuk urusan buang air, di sini gratis. Di Belanda, untuk urusan buang air kita dikenai cukai satu gulden atau sekitar Rp 3.000.
Namun, tidak selalu uang sekeping itu harus kita keluarkan. Kalau sudah tidak tahan, sementara WC penuh, para penonton memilih langsung mengguyuri perdu dan pohon di sekitar stadion. Ada juga satu "pohon batu" yang memang khusus untuk melepas hajat kecil di alam terbuka. Sekalipun saat ini musim panas, angin dingin memagut dari Laut Utara, memacu produksi "urusan bawah" ini. Ditambah lagi dengan konsumsi bir dalam jumlah besar oleh penonton.
Minuman beralkohol ini memang boleh diteguk di dalam stadion. Syaratnya cuma satu, dibeli di kompleks stadion dalam gelas plastik. Sebaliknya, air putih bila dibawa penonton dari luar akan bernasib sial. Minuman sehat itu oleh petugas di pintu depan akan disita atau diminta agar dihabiskan saat itu juga. Ini bukan masalah kesehatan, tapi para sponsor resmi yang menjual minuman dan makanan di dalam stadion tentu tak mau rugi. Bahwa harga dagangan mereka jadi berlipat, itu sih tak terhindarkan.
Harga yang berlipat juga terjadi di arena nonton bareng di kafe. Segelas bir yang biasanya dihargai tiga gulden kini harus dibeli dengan harga delapan gulden. Tapi siapa yang menolak bergembira bersama teman-teman? Sayang, setelah Belanda tersingkir, kegembiraan meluntur. Semua orang seperti kehilangan gairah. Bendera-bendera mulai dicopoti. Tapi, bir masih ditenggak dalam jumlah besar, walau alasannya berbeda.
Yusi (Belanda, Belgia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini