Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Sang Perantau

Ilen Surianegara berpulang. Diplomat dan sastrawan itu meninggalkan nama yang bersih serta jejak penuh warna-warni.

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Les fleurs s'ouvraient
Sur la terre de France
La terre de douceur

(Bunga-bunga bermekaran
Di tanah Prancis—negeri yang berpalut
keindahan, Ilen Surianegara, 1958)
SYAIR pendek ini adalah "…penghormatan tulus kepada Prancis yang selalu menerima saya dengan sepasang tangan terbuka…," tulis Ilen dalam Poemes et Nouvelles. Buku ini menyajikan sejumlah karya sastra kontemporer Indonesia—prosa dan puisi—yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Prancis secara sempurna oleh Ilen Surianegara, sastrawan dan diplomat terkemuka.

Bagi Ilen, Prancis selalu menjadi dunia yang memikat sukma, sebuah negeri yang menjadikannya murid filsuf dan pemikir besar seperti Jean Paul Sartre dan Albert Camus. Di Prancis, ia memenuhi rasa ingin tahunya pada ideologi Marxisme serta memuaskan dahaganya terhadap paham-paham demokrasi seperti keragaman (la diversite) dan kebebasan (la liberte). "Di sana, saya belajar pentingnya kemerdekaan berpikir bagi manusia," ujarnya kepada TEMPO, hampir setahun silam. Lalu, ia mengutip penyair Prancis, Paul Eluard, "….Di atas pasir. Di atas salju. Kutulis namamu. Kebebasan…."

Kini Ilen, sang perantau—begitu ia pernah menyebut dirinya—tak perlu lagi mencari-cari makna kebebasan. Takdir telah memulangkannya kepada Al Khalik dan membawanya ke tempat semua roh akan menemukan kebebasan abadi. Senin pekan lalu, di Rumah Sakit Bintaro Internasional, Jakarta Selatan, ia mengembuskan napas terakhir. Stroke—ini yang keempat—membuat tubuh berusia 76 tahun itu hanya mampu bertahan selama sembilan hari di rumah sakit tersebut.

Di saat akhir, ia ditunggui Tating, istrinya, tiga anak, dan enam cucu. Jenazahnya kemudian dibaringkan di rumah duka di Jalan Teuku Umar 6, Menteng, Jakarta Pusat. Ke sanalah tamu mengalir tak berkeputusan: pejabat tinggi, duta besar, berbagai tokoh masyarakat. Juga kerabat dekat dan sahabat. Di antaranya Mochtar Lubis, Ali Sadikin, Kemal Idris, Akbar Tandjung, Surjadi Soedirdja, dan Sarwono Kusumaatmadja.

Mereka bertakziah, mendoakan arwahnya, sebelum mengiringinya ke pemakaman Tanahkusir, Selasa pagi. Ini sesuai dengan pesan almarhum. Ia ingin berdekatan dengan kawan-kawannya: Bung Hatta, Suryono Darusman, dan rakyat kecil. Padahal, negara menawarkan tempat di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Siapakah Ilen Surianegara yang mendapat sekian banyak simpati dan penghormatan di akhir hayatnya itu?

Ia diplomat kawakan, budayawan ternama, dan sastrawan yang mahir menulis berbagai "perenungan dari rantau". Ia juga berjasa mengantarkan sastra Indonesia ke arena internasional. Sebagai diplomat, misalnya, ia melakukan terobosan gemilang: membangun hubungan dengan negara asing melalui jalan sastra dan budaya. Mantan Presiden Prancis Jaques Chirac—teman seangkatannya di Institut d'Etudes Politique de l'Universite de Paris—mengakui bahwa melalui Ilen hubungan kebudayaan Indonesia dan Prancis dimulai.

Di Prancis pula Ilen menekuni bidang jurnalistik, sastra-budaya, dan diplomatik secara bersamaan. Pada 1953, ia memimpin Kantor Berita Antara di Eropa Barat. Lalu, selama lima tahun (1954-1959) ia menjadi Atase Pers dan Kebudayaan sebelum menjabat Kepala Penerangan dan Kebudayaan Departemen Luar Negeri (1959-1962). Mertua seniman film Eros Djarot dan Slamet Rahardjo ini lantas ditempatkan di Tokyo sebagai Konsul Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Dari Jepang, ia pindah ke Bonn menjadi Kepala Perwakilan KBRI di Prancis dan Jerman (1970-1975).

Sebagai duta besar, ia mula-mula ditempatkan Tunisia dan Aljazair (1977-1980). Disela tugas menjadi Wakil Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (1980-1983), Ilen kemudian memimpin KBRI di Guinea dan Mali (1983-1986). Setelah pensiun pada 1986, ia terus aktif dalam sejumlah kegiatan pendidikan, sosial, dan kebudayaan. Ia juga menjalin hubungan luas dengan berbagai kalangan.

Tak aneh, banyak yang kaget mendengar kabar kepergiannya. Eros Djarot, sang menantu, mengaku kehilangan kawan diskusi yang luar biasa. Penulis Ramadhan K.H. menyebutnya budayawan yang "gagasan-gagasannya selalu membawa kesegaran baru bagi dunia kesenian dan sastra Indonesia." Dan Imrad Idris, mantan Duta Besar RI di Guinea Afrika, mengenangnya sebagai pribadi yang idealistis dan berpengetahuan amat luas.

Ini bukan pujian berlebihan. Di rumahnya yang lindung dan tua di Teuku Umar, pria yang fasih berbicara empat bahasa asing itu menyimpan ribuan buku yang mengandung berjenis-jenis pengetahuan—harta yang amat dia cintai. Di rumah yang sama pula, Ilen, sang perantau, mengucapkan selamat tinggal kepada kehidupan sembari meninggalkan nama yang bersih dan jejak penuh warna-warni.

Hermien Y. Kleden, Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus