Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibandingkan dengan turnamen empat tahun sebelumnya, mutu Piala Eropa kali ini lebih tinggi. Soalnya, rata-rata yang maju ke putaran final adalah tim yang sudah terbangun cukup lama. Maka, tak mengherankan bila hampir semua partai menyajikan drama yang menegangkan menit demi menitnya, terutama ketika pertandingan memasuki babak perempat final. Tim kuda hitam macam Portugal memang mengejutkan. Tapi, bila menilik para pemainnya adalah mereka yang disebut sebagai "generasi emas" yang pernah merebut trofi juara dunia junior, ini masalah buah yang dipetik saja. Sebaliknya, ambruknya tim sebesar Jerman secara memalukan tak kalah mengejutkannya karena mereka datang dengan predikat juara bertahan.
Saat pertandingan berlangsung, jantung yang berdebar memang bukan hanya milik pendukung dua negara Eropa yang beradu di lapangan. Poster "Sepak Bola tanpa Tapal Batas" yang merupakan pemandangan jamak di tiap sudut Eropa sebulan terakhir ini adalah perlambang yang sangat bagus. Betapa kuat gaung kata-kata itu. Para fans berduyun datang, bahkan yang jelas berwajah Asia pun rela mencoreng wajahnya dengan cat dan melengkapi dirinya dengan atribut tim favoritnya. Kegilaan bukan monopoli mereka yang sempat datang langsung. Di belahan dunia lain, berjuta-juta orang betah melahap aksi di lapangan hijau lewat tayangan televisi walau harus terkantuk-kantuk.
Tapal batas lain yang kena "terjang" adalah fakta bahwa dalam turnamen yang notabene milik warga Eropa yang berkulit putih ini makin banyak ditemukan pemain dengan kulit "berwarna". Mereka bukan sekadar pelengkap, tapi sudah makin mapan sebagai bintang. Tengoklah nama Zinedine Zidane, Edgar Davids, atau Patrick Kluivert. Bahkan, dengan Frank Rijkaard yang berdarah Suriname itu sebagai pelatih tim nasional Belanda, persoalan rasialisme dalam sepak bola Eropa yang sempat marak lagi setahun terakhir ini seolah jauh. Tak pelak, olahraga muncul menjadi pemenang untuk kasus ini.
Namun, sepak bola bukan cuma masalah bisnis ataupun politik di belakangnya. Ia adalah kegembiraan dan kepahitan yang nyata tumpah setelah peluit akhir dibunyikan. Itulah batas dalam artian yang sebenarnya. Maka, tak ada yang bisa menyalahkan kelompok pendukung yang bersimbah air mata karena dua alasan yang berbeda.
Seperti satu ungkapan, mata ini memang untuk menangis. Besar kemungkinan, yang paling deras tangisnya pekan lalu adalah pendukung tim Belanda. Setelah Belanda kalah dalam adu penalti melawan Italia, Amsterdam senyap. Kanal-kanal di Amsterdam seperti mengalirkan kepahitan pendukung Oranye sampai ke Laut Utara.
Kegagalan Belanda melaju memang menyesakkan, bahkan juga bagi penonton yang netral. Soalnya, permainan mereka bagai orkestra yang indah dengan Edgar Davids sebagai maestro lapangan tengahnya. Sepak bola menyerang betul-betul dialirkan oleh tim ini. Sayang, nasib belum berpihak.
Melajunya Prancis dan Italia ke final di sisi lain adalah bukti tak tergoyahkannya dominasi tim mapan. Prancis, yang hampir tak berubah skuadnya dalam empat tahun terakhir, adalah bukti kematangan satu tim. Embrio pasukan ini terbentuk pada Piala Eropa 1996 di Inggris. Saat itu, Prancis yang masih dilatih Aime Jacquet datang dengan setumpuk kecaman karena tak menyertakan Eric Cantona dan David Ginola. Sebaliknya, yang diandalkan justru Zinedine Zidane dan Youri Djorkaeff, yang masih tergolong hijau di pentas internasional. Namun, tim ini terbukti mencapai semifinal sebelum kalah adu penalti melawan Chek.
Dua tahun kemudian, Prancis dengan tim ini menjadi juara dunia di rumah sendiri. Zidane dan Djorkaeff terbukti makin matang. Kini, catatan gemilang pun ditorehkan. Keseimbangan antara pemain senior dan junior di tim ini rasanya pantas dijadikan rujukan tim mana pun. Berbeda dengan pemain gaek seperti Lothar Matthaeus dan Thomas Haessler di tim Jerman, yang sudah habis tapi masih dipaksa main, pemain uzur Prancis macam Laurent Blanc, Didier Deschamps, dan Marcel Desailly tak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk menjelajahi lapangan. Sementara itu, pemain muda usia macam Thierry Henry, Nikolas Anelka, serta David Trezeguet adalah investasi bagus bagi Prancis untuk menjadi raksasa sepak bola dunia dan Eropa tahun-tahun mendatang.
Dari sekian bintang Prancis, Zidane memang yang paling menonjol. Tapi ada pilar yang tak kalah penting, yaitu sang kapten Didier Deschamps. Pemain yang menjadi breaker di lapangan tengah ini dijuluki "paru-paru besi Les Bleus". Catatan piala yang diangkatnya sudah berbicara banyak tentang pemain yang kini berusia 32 tahun itu. Pada 1993, ia menjadi orang Prancis pertama yang mengangkat trofi Piala Champions, saat ia memimpin tim Marseille. Setelah pindah ke Juventus, ia meraih prestasi yang sama pada 1996. Ia juga ikut mengantar tim asal kota Turin itu menjadi juara Seri A tiga kali. Begitu pindah ke Chelsea, London, tahun lalu, ia langsung beroleh Piala FA bersama rekan-rekannya. Ia memang bukan pencetak gol yang andal, tapi ia adalah keseimbangan tim. Pemain macam ini pasti diinginkan pelatih mana pun untuk membuat solid satu tim. Ia juga begitu dihormati pendukung Les Bleus. Dalam pertandingan di Brussels antara Prancis dan Portugal, pekan lalu, misalnya, namanya diserukan kencang oleh para fans setiap kali ia mendapat bola.
Italia, sebaliknya, didominasi wajah baru. Tercatat hanya Paolo Maldini dan Demetrio Albertini yang punya catatan sudah bermain lebih dari lima tahun. Namun, tim ini tak bisa dikatakan mentah. Pasukan Azzurri ini sangat matang dalam kompetisi Seri A, yang terkenal ketatnya. Jadi, sekalipun caps (main untuk tim nasional dalam pertandingan resmi) rata-rata pemainnya masih belum seberapa, Italia adalah tim yang sudah jadi.
Sayangnya, kematangan itu adalah "kemunduran" di segi lain. Ini "cacat serius" yang terjadi di Euro 2000. Tapi, dengan Dino Zoff sebagai pelatih, pilihan untuk kembali ke pola cattenacio yang membuat mereka jadi juara dunia pada 1982 bisa dimengerti. Sistem gerendel ini terbukti efektif dan membuat frustrasi lawan. Tapi ada satu kata lagi untuk ini: membosankan. Di mata pengamat, sepak bola bertahan macam ini membuat permainan jadi tidak menarik sama sekali di era sepak bola menyerang yang makin kencang melaju. Maka, tak mengherankan bila media Italia pun mengecam sukses Italia melaju ke semifinal sebagai kepahlawanan yang memalukan. Namun, Zoff anteng saja. "Tugas saya adalah memimpin tim ini untuk meraih hasil baik. Itu sudah saya lakukan," kata Zoff.
Piala Eropa kali ini tampaknya juga akan menjadi ajang akbar terakhir bagi kapten Paolo Maldini. Pemain yang satu ini memang istimewa. Ia sudah memperkuat tim nasional sebanyak 110 kali. Prestasinya bersama klub AC Milan pun tak bisa dipandang sebelah mata. Bersama rekan-rekannya, Maldini yang tak pernah pindah klub sejak 1984 ini meraih enam gelar Seri A, Piala Champions tiga kali, dan dua kali Piala Toyota.
Kemenangan dalam ajang Euro 2000 bukan milik sang juara saja. Ia adalah kemenangan pribadi pemain-pemain yang berhasil menampilkan aksi gemilang. Bisa dipastikan, harga mereka akan melonjak sesudah ajang ini. Namun, untuk ini, tentu ada "tapal batas". Bila tidak, sepak bola akan menjadi komoditi yang akan kehilangan keindahan.
Yusi A. Pareanom (Belanda dan Belgia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo