Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Butiran air mata meluncur perlahan di pipi Marta, 19 tahun. Pesepak bola wanita asal Brasil ini bersedih saat mengikuti acara penyerahan trofi pemain terbaik dunia yang digelar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) di Zurich, Swiss, dua pekan lalu. Soalnya, ia gagal lagi menjadi yang terbaik.
Tiga kali masuk nominasi pemain terbaik dunia (2003, 2004, 2005), trofi itu tak kunjung sampai ke pelukannya. Ambisinya selalu dikandaskan pesepak bola wanita asal Jerman, Birgit Prinz.
Birgit sulit ditandingi setelah menumbangkan dominasi Mia Hamm (Amerika Serikat) dalam perebutan pemain terbaik dunia pada 2003. Mia dua kali menyandang gelar bergengsi itu pada 2001 dan 2002. Setelah itu, secara berturut-turut pada 2003, 2004, dan 2005, trofi pemain terbaik tak pernah lepas dari genggaman Birgit.
Trofi yang ketiga itu disambut Birgit dengan gembira. ”Menerima penghargaan tidak akan pernah membosankan,’’ katanya. Dialah wanita pertama menjadi pemain terbaik tiga kali berturut-turut. Wanita 28 tahun ini mengimbangi rekor pemain putra Zinedine Zidane yang meraih gelar serupa pada 1998, 2000, dan 2003, juga rekor Ronaldo (1996, 1997, 1999).
Selama musim kompetisi 2005, Birgit memang tampil menawan. Dia berhasil mencetak 90 gol dari 143 pertandingan internasional yang diikuti tim Jerman. Umpan-umpannya ke mulut gawang juga sering melahirkan gol kemenangan. Itulah yang membuat para juri yang terdiri dari wartawan olahraga terkemuka mengunggulkan Birgit. Mereka memberi Birgit nilai 513, Marta 429, dan 235 untuk Shannon Boxx dari Amerika Serikat.
Perempuan kelahiran 25 Oktober 1977 itu mulai bergabung dengan tim nasional Jerman 11 tahun lalu. Saat itu dia langsung membawa negaranya menempati posisi runner-up dalam persaingan di Piala Dunia Sepak Bola Wanita.
Setahun kemudian, 1995, Birgit membawa bendera Jerman mencapai posisi puncak di Kejuaraan Sepak Bola Wanita Eropa. Kesuksesan ini diulang pada 1997 dan 2001. Dia pun mempersembahkan medali perunggu untuk negaranya di arena Olimpiade 2000. ”Saya mempunyai banyak momen bagus di sepak bola. Namun, momen paling besar bagi saya adalah ketika kami memperoleh perunggu di Olimpiade,” katanya.
Prestasinya di klub pun mencorong. Penggemar jus ini mengantarkan tim Frankfurt menjuarai Bundesliga enam kali dan Piala Jerman tujuh kali. Itu belum termasuk kariernya di Amerika Serikat bersama tim Carolina Courage dengan merebut piala Women’s United Soccer Association sebanyak empat kali.
Sejak kecil Birgit sudah menyukai olahraga. Dia lihai bermain bola basket, bola voli dan bola tangan. Bulu tangkis menjadi olahraga favorit yang menjadi kegemarannya sampai saat ini. Di sela-sela waktu luangnya, dia masih sering terlihat menepuk bulu angsa.
Sepak bola pun sudah dia kenal sejak dini. Ayahnya, Stefan Prinz, adalah pecandu sepak bola yang menjadi pendukung fanatik tim Frankfurt. Setiap Sabtu, dia tidak pernah absen menemani ayahnya menyaksikan laga tim Frankfurt di Bundesliga yang ditayangkan di televisi. Dia sesekali juga mencoba memainkan si kulit bundar bersama teman-teman di lingkungan rumahnya. Tidak pernah terpikir olehnya untuk serius menekuni olahraga ini.
Perubahan baru terjadi pada 1991. Suatu hari, sepulang sekolah, Birgit langsung menyalakan televisi. Matanya tak berkedip menatap layar kaca yang menyajikan pertandingan sepak bola wanita di pentas Piala Dunia. Dia tercengang. Itulah pertama kali dia menyaksikan kaum Hawa berlaga di lapangan hijau dalam pertandingan resmi.
Sebelumnya, Birgit hanya tahu pertandingan sepak bola yang dimainkan kaum pria. Dia tidak pernah menduga ada pertandingan internasional yang diselenggarakan untuk kaum putri. Bahkan Birgit juga baru tahu bahwa negaranya memiliki tim nasional sepak bola putri. ”Saya mengingat itu semua dan saya ingin tampil bersama mereka,” katanya.
Seolah baru mendapat pencerahan, Birgit kecil semakin sering bergulat dengan kulit bundar. Dia memburu setiap pertandingan yang ada di lingkungannya. Jika tidak ada, dia berkeliling dengan sepeda untuk mencari lawan tanding.
Stefan Prinz menyadari keinginan putrinya. Dia melihat putrinya memiliki bakat yang luar biasa. Karena itu, Stefan berusaha membantu Birgit untuk terlibat di berbagai pertandingan sepak bola di Frankfurt. Sang putri tidak menyia-nyiakan bantuan ayahnya.
Karena semangat dan ketekunannya, bakat Birgit terasah. Ketika remaja, dia pun menjadi pemain yang disegani. Setelah bergabung dengan tim nasional Jerman, namanya semakin melambung.
Kepala pelatih tim Carolina Courage, Jay Entlich, tidak merasa heran dengan prestasi yang diraih Birgit sekarang. Gadis ini bukan hanya memiliki kemampuan di atas rata-rata pesepak bola wanita, dia juga memiliki semangat bersaing yang sangat tinggi. ”Dia membenci kekalahan, bukan hanya dalam pertandingan, tapi juga dalam berlatih,” kata Jay.
Walau begitu, Birgit tidak pernah melihat kekalahan itu sebagai aib. Dia justru banyak belajar dari kekalahan. Dia juga tidak pernah pongah dengan keberhasilannya. Dia selalu menghormati rekan-rekan satu tim dan menganggap kesuksesannya sebagai kesuksesan tim. ”Satu pemain tidak bisa memenangkan Piala Dunia, ” katanya.
Ada satu hal yang paling tidak disukainya. ”Saya benci jika dibanding-bandingkan dengan pemain pria,” katanya. Anehnya, pikiran semacam itu hanya terjadi di sepak bola. Di tenis, basket, bulu tangkis, dan lainnya, antara pria dan wanita tidak pernah dibanding-bandingkan. ”Jika Anda suka sepak bola wanita, tonton saja. Jika tidak, itu bukan masalah saya,” kata gadis yang memiliki pendapatan sekitar Rp 1 miliar setahun ini.
Setelah 15 tahun menekuni sepak bola, Birgit masih menyimpan ambisi untuk mempertahankan gelar juara Piala Dunia yang pernah diraih tim Jerman pada 2003. Dia bertekad menyamai rekor tim Amerika yang dua kali memegang gelar juara pada penyelenggaraan 1991 dan 1999.
Banyak orang yang pesimistis dengan ambisi Birgit. Saat Piala Dunia Sepak Bola Wanita digelar pada 2007, usia striker andalan Jerman itu sudah mendekati 30 tahun. Orang meragukan kemampuan fisik Birgit untuk berlaga selama 90 menit.
Birgit sendiri menyadari hal itu, namun dia selalu optimistis. ”Anda tidak bisa berangkat untuk World Cup tanpa membidik juara dunia. Setiap tim memiliki kesempatan yang sama,” katanya.
Suseno (berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo