Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brigadir Jenderal Polisi Raziman Tarigan tak bersedia lama-lama bicara melalui telepon seluler ketika dihubungi Tempo, Kamis pekan lalu. Mengaku sedang nyekar ke makam orang tuanya di Medan, ia berkata pendek. ”Saya lagi cuti. Saya belum membaca koran itu. Nanti saja, ya,” ujarnya. Tak lama kemudian, klik, pria yang baru saja diangkat menjadi Kepala Pusat Komandan Pengendalian Deputi Operasi Mabes Polri itu menutup telepon.
Koran yang dimaksud Raziman adalah The New York Times edisi 27 Desember 2004. Di koran AS yang berpengaruh itulah namanya disebut-sebut sebagai salah satu orang yang pernah menerima sokongan dana dari perusahaan tambang Freeport-McMoRan. Raziman tak sendirian. Sederet nama lain di lingkungan aparat keamanan juga diungkap dalam laporan investigasi NY times berjudul ”Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh NY times, selama 1998 hingga Mei 2004 Freeport telah menggelontorkan dana sebesar US$ 20 juta (sekitar Rp 200 miliar) untuk militer dan polisi. Uang itu dibagi-bagikan kepada anggota berpangkat jenderal, kolonel, mayor, dan kapten. ”Dalam salah satu kasus, bahkan ada yang menerima US$ 150 ribu (setara dengan Rp 1,5 miliar),” tulis koran itu.
Tak hanya mendasarkan pada perolehan dokumen, NY times juga melakukan serangkaian wawancara dengan orang-orang Freeport, baik yang masih aktif maupun yang sudah keluar. Cukup menarik, ternyata di luar angka di atas masih ada duit senilai US$ 10 juta yang ikut mengucur pada periode yang sama. Selain itu, NY times juga mendapat pasokan dokumen dari Global Witness, sebuah LSM yang berbasis di Amerika Serikat.
Nama Tarigan muncul, menurut NY times, karena pernah menerima bantuan tiket pesawat senilai US$ 14 ribu pada 2002. Tiket itu bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga anak dan istrinya.
Nama lain yang disebut-sebut, kali ini dari kalangan tentara, adalah Mayjen TNI Mahidin Simbolon. Ia ditulis menerima dana sebesar US$ 64 ribu pada April 2002. Dalam dokumen keuangan Freeport yang dikutip NY times, uang itu dimaksudkan untuk kegiatan Dana Rencana Proyek Kemiliteran (Fund For Military Project Plan). Delapan bulan kemudian, ada dana lagi yang diterimanya, kali ini, disebutkan, untuk ”Proyek Aksi Kemanusiaan”, juga sebesar US$ 67 ribu.
Masih ada satu lagi nama yang dicatat, yakni Letnan Kolonel Inf. Togap F. Gultom, yang saat ini menjabat Kepala Staf Korem 172 Prajawirayakti, Jayapura. Pada 2002, saat menjadi Komandan Kodim 1716 Mimika, dia disebutkan pernah menerima duit sebesar US$ 150 ribu (Rp 1,5 miliar). Tahun sebelumnya ia juga disebut menerima duit tak kurang dari US$ 100 ribu, yang dalam catatan keuangan Freeport disebut sebagai ”Biaya Makan” (Food Costs).
Ketika dihubungi, Togap menolak memberikan keterangan. ”Silakan konfirmasi ke Freeport saja,” katanya, Jumat malam pekan lalu. Dia juga tak bersedia menjelaskan ketika dimintai informasi dalam bentuk apa sajakah bantuan Freeport kepada TNI dan polisi guna mendukung pengamanan kawasan seluas 2.800 kilometer tersebut. ”Bukan kewenangan saya untuk menjelaskan,” ujar dia.
Hingga Jumat pekan lalu, Mahidin Simbolon tak bisa dikontak. Tapi pada 2003, mantan Panglima Kodam Trikora ini mengakui pernah menerima dana dari Freeport. Jumlahnya? ”Kalikan saja Rp 125 ribu dengan 450 personel saya selama 12 bulan (sekitar Rp 675 juta),” katanya (lihat Tempo 30 Maret 2003).
Memang, sebenarnya isu adanya ”uang jago” yang digelontorkan Freeport untuk aparat keamanan Indonesia bukan hal baru. Pada 2003, terbetik kabar sepanjang 2002 Freeport telah mengguyurkan dana keamanan sebesar US$ 5,6 juta. Kabar yang diwartakan AFX Global Ethics Monitor, layanan kantor berita Prancis, AFP, itu memanaskan kuping para pejabat keamanan waktu itu. Bahkan kabar hot ini juga segera memasuki ruang kerja Otoritas Pasar Modal Amerika (SEC).
Lalu, Juli 2005, Global Witness merilis laporan bahwa Freeport mengucurkan dana kepada TNI untuk melakukan pengamanan di wilayah pertambangannya. Menurut Diarmind Sullivan dari Global Witness, dana itu mengalir ke petinggi militer dan tidak kepada pemerintah Indonesia. ”Kami tidak bicara sekadar uang rokok di sini. Kami bicara tentang uang hampir seperempat juta dolar yang disetor selama dua tahun,” ujarnya.
Boleh jadi, soal ini akan selalu menjadi isu sensitif. Sumber Tempo di Freeport pernah menyebutkan, untuk logistik pasukan TNI, Freeport mengeluarkan US$ 4–6 juta setahun. ”Tapi 80 persen di antaranya berbentuk barang,” kata dia. Sisanya, 20 persen, buat uang saku.
Pekan lalu Tempo menerima dokumen keuangan Freeport periode 2002–2004. Di sana tercantum, setiap tahun selalu ”terselip” transaksi untuk personel maupun institusi tentara dan kepolisian. Kucuran dana yang langsung masuk kantong petugas itu diberi penjelasan, antara lain, untuk kepentingan ”security service”. Keterangan lain menyatakan dana itu untuk ”monthly support payment.” Nilainya bisa mencapai US$ 2.500 per orang.
Selain itu, ada juga yang diberikan dalam bentuk natura, misalnya untuk kepentingan perjalanan, jamuan makan (business meals), atau akomodasi lain (penginapan). Nama Inspektur Jenderal I Made Mangku Pastika, misalnya, tercantum dalam transaksi tertanggal 14 Mei 2005 pada pos jamuan makan senilai US$ 261,57.
Kepada Tempo, mantan Kapolda Papua itu semula enggan memberikan klarifikasi. Tetapi kemudian ia menjelaskan bahwa Freeport memang memberikan bantuan kepada jajaran kepolisian di wilayah paling timur Indonesia itu. ”Mereka memang memberikan uang makan yang biasanya disebut uang kantin,” katanya pekan lalu.
Pastika yang kini menjabat sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional itu juga mengakui ada bantuan untuk operasional. Yang paling sering mendapatkannya adalah Polres Timika. ”Karena memang Freeport berada di wilayah itu.”
Permakluman serupa disampaikan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Dia mengakui prajurit TNI memang menerima uang saku dari Freeport. Uang saku ini diberikan Freeport sebagai tambahan. ”Karena negara sudah memberikan uang lauk untuk prajurit,” ujarnya. Pemberian uang saku ini, menurut dia, tidak menyalahi aturan. Tak hanya itu, Freeport diakui juga membantu memperbaiki peralatan TNI. Misalnya ada mobil rusak, maka akan segera akan masuk bengkel Freeport. ”Kembalinya sudah dalam keadaan baik.”
Pemberian dalam bentuk logistik sepertinya dianggap sah-sah saja, karena, menurut Siddharta Moersjid, Manajer Komunikasi Senior PT Freeport, mereka selalu transparan dalam memberikan bantuan logistik. ”Dan itu selalu dicantumkan dalam laporan tahunan kami,” ujarnya kepada Nur Aini dari Tempo.
Menurut dia, dukungan kepada institusi keamanan pemerintah dilakukan sesuai dengan kontrak karya dan peraturan perundangan yang berlaku. Khusus menanggapi investigasi yang dilakukan NY times, Siddharta menilai, itu bagian dari ”kampanye” negatif tentang industri tambang emas tempatnya bekerja. ”Yang disampaikan artikel tersebut adalah berita lama. Sudah diberitakan media 3–10 tahun yang lalu.”
Tulus Wijanarko, Mustafa Moses, Agriceli, Cunding Levi, Eni Saeni (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo