Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Panen Jagung di Kebun Paman Ron

Wartawan Tempo, Mardiyah Chamim, mengikuti perjalanan ke tiga negara bagian Amerika, menyaksikan panen raya tanaman transgenik. Sebuah teknologi yang masih menjadi kontroversi.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panen jagung di kebun Paman Ron. Sungguh hal ini tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Di negeri sendiri, belum pernah saya merasakan panen jagung. Kemudian, pada Oktober lalu, jauh di seberang lautan, di pedesaan Bloomington, Illinois, Amerika Serikat, saya menginjak ladang berlumpur, naik traktor, dan memetik jagung.

Tentu saja panen jagung di ladang Ronald Fitchorn ini berbeda dengan panen jagung di Indonesia. Tak ada parang dan cangkul yang belepotan lumpur. Tiada petani bercaping dengan tubuh berleleran keringat. Semuanya serba mekanis. ”Cukup ditangani dua orang. Dalam sepuluh hari kerja, mereka memanen ladang 8 hektare ini,” kata Ronald Fitchorn, 50-an tahun, sang petani.

Paman Ron dengan bangga mengajak saya menaiki traktor. Sebuah mesin raksasa, setinggi tiga meter dengan lebar sepuluh meter, yang dari kejauhan tampak seperti mesin perang. Rodanya yang gendut lebih tinggi dari tubuh saya. ”Raksasa ini yang membantu saya,” katanya.

Pada ujung traktor terdapat sederet pisau berjajar yang dirancang khusus untuk memisahkan butiran jagung dari bonggol serta daun-daunnya. Hanya dalam hitungan detik, butiran jagung langsung terpisah dan dialirkan menuju sebuah pipa. Pada saat bersamaan, sebuah truk besar berjalan seiring dengan traktor yang disetir Paman Ron. Truk inilah yang menampung butiran jagung yang dituangkan dari pipa traktor. Hanya dalam beberapa menit, beberapa ratus meter larik jagung beres dipanen. Bonggol dan daun jagung juga tidak berhenti menjadi onggokan sampah, tetapi diolah menjadi bahan bakar etanol. Semuanya bernilai ekonomis.

Perjalanan saya kali ini memang bukan sekadar pelesiran. Bersama belasan jurnalis dari berbagai negara, saya menyaksikan panen raya jagung berbasis bioteknologi di tiga negara bagian Amerika Serikat. Dengan diundang US Grain Council, kami menempuh Illinois, Indiana, dan Ohio dalam waktu sepekan. Saban hari rombongan kami berpindah dari satu kota ke kota lain dengan menumpang bus. ”Mirip rombongan grup musik rock yang sedang tur,” kata Carolina Bahia, seorang jurnalis dari Brasil.

Kota angin Chicago dengan gedung-gedung berarsitektur menawan adalah titik awal perjalanan kami. Berikutnya, kami menuju deretan pedesaan indah di Bloomington, Indianapolis, dan Columbus. Di sepanjang jalan tampak deretan pohon mapel berdaun aneka warna—cokelat, merah, kuning, hijau. Bukit dan lembah yang luas-sunyi mengingatkan saya pada setting lokasi dalam film Little House on the Prairie. Angin musim gugur yang sedingin besi berkarat tidak mampu menyembunyikan keindahan bentang alam khas pedesaan Amerika. Suasana khas Amerika makin komplet karena pada saat itu rumah-rumah petani sedang dihiasi labu beragam bentuk. ”Kami sedang menunggu Halloween,” kata Cori Wittman dari US Grain Council, yang memandu perjalanan.

Ladang jagung Ron Fitchorn adalah tujuan pertama perjalanan kami. Merasakan antusiasme panen jagung di ladang yang begitu luas dengan teknologi pertanian yang canggih. Tidak hanya dalam hal mesin traktor ribuan dolar, tapi juga digunakannya teknologi benih yang berbasis rekayasa genetis. Istilahnya, genetically modified organism (GMO) atau organisme yang telah melalui rekayasa genetis, juga dikenal sebagai transgenik. ”Sudah sepuluh tahun saya bertanam jagung GMO, teknologi yang banyak membantu kami,” kata Paman Ron, bangga.

Kebanggaan juga tampak pada sosok Fred Yoder, yang saya temui di tengah ladang berikutnya. Lelaki ini adalah Ketua Asosiasi Petani Jagung Nasional di Columbus, Ohio. Sepuluh tahun yang lalu, ayah Yoder mewariskan lahan pertanian seluas enam hektare dengan sebuah wasiat: ”Jaga lahan pertanian ini. Jangan kau rusak dengan terlalu banyak pestisida dan obat kimia.”

Ada dua pilihan model pertanian yang tidak melibatkan terlalu banyak pestisida dan pupuk kimia. Yang pertama adalah pertanian organik, cara bertani yang alamiah tetapi sangat menuntut tenaga. Padat karya. Semua lini pertanian harus diawasi semaksimal mungkin, mulai dari menyiapkan lahan, penanaman, sampai menjaga agar jangan sampai ada serangan serangga dan hama tanaman. Semuanya wajib tanpa campur tangan zat-zat kimia. ”Saya tidak sanggup,” kata Yoder. Anaknya hanya seorang. Menyewa tenaga orang lain pun sangat mahal.

Yoder beralih ke pilihan kedua, bertani dengan bantuan teknologi rekayasa genetis. Benih kedelai dan jagung super, tahan hama dan tahan kering, menjadi pilihan. Harga benih memang lebih mahal dibandingkan dengan benih konvensional. Satu kantong benih jagung GMO, misalnya, lebih mahal US$ 18 sampai US$ 45 ketimbang benih jagung biasa. Tapi, ada berbagai keuntungan dalam benih GMO, yakni pemeliharaan lebih mudah serta tidak membutuhkan pupuk kimia dan pestisida sebanyak tanaman jagung biasa. ”Saya berani bertaruh, tanah saya jauh lebih sehat dibanding lahan pertanian biasa,” kata Yoder. ”Ulat di tanah saya lebih banyak dan lebih gendut. Ayo kita hitung ulat sama-sama,” tuturnya, mengajak rombongan jurnalis. Tantangan yang hanya kami jawab dengan senyuman. Siapa mau berkotor-kotor menghitung ulat?

Terus terang, rasa skeptis saya yang ada sejak awal belum hilang. Ah, mereka ini pasti sengaja melambungkan pamor pertanian jagung transgenik. Tujuannya jelas mendukung perkembangan industri bioteknologi Amerika, yang telah menghabiskan investasi riset miliaran dolar. Lagi pula, sampai saat ini teknologi GMO masih menjadi topik perdebatan yang tak kunjung putus. Tidak sedikit pula negara, terutama di Eropa, yang sampai saat ini masih berkeberatan dengan penerapan GMO.

Teknologi GMO memang menyiratkan kesan yang tidak ramah. Kata ”modifikasi” mengandung makna tidak alami dan mengancam kelangsungan ekologi. Modifikasi susunan gen, bahan dasar makhluk hidup, dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan konsumen. Contohnya, demi membuat spesies jagung yang tahan hama, benih jagung disisipi gen yang mengandung sejenis ”vaksin” penangkal hama. Gen sisipan tahan hama ini biasanya diambil dari bakteri yang telah dilemahkan. Nah, sisipan materi genetis inilah yang dianggap berisiko membahayakan kesehatan. Mengkonsumsi produk GMO secara terus-menerus, menurut pihak yang kontra, bukan mustahil kelak akan mencetuskan risiko terkena kanker. Namun, bagi mereka yang pro, kekhawatiran ini dinilai mengada-ada dan belum terbukti.

Ada lagi kerisauan lain. Program Lingkungan PBB (UNEP—United Nations Environment Programme), dalam Global Outlook 2003, misalnya, mengingatkan adanya potensi bahwa GMO akan menginvasi dan mengikis kelangsungan keanekaragaman hayati. Di lahan terbuka, spesies jagung versi GMO dan jagung biasa akan melakukan penyerbukan silang dengan bantuan angin, kawin-mawin dan saling bertukar gen. Tahun berganti, musim berulang, spesies yang asli dikhawatirkan bakal punah dan digeser oleh dominasi tanaman hasil rekayasa.

Berbagai pendapat pro dan kontra teknologi GMO terus memenuhi kepala saya. Sebagai catatan, pada tahun 2002 muncul kasus heboh di Sulawesi Selatan. Ratusan petani di sembilan kabupaten Sulawesi Selatan ketika itu bersemangat menanam kapas transgenik jenis Bollgard, produksi Monsanto. Janjinya, kapas jenis ini mampu menggenjot produktivitas lahan berlipat-lipat. Yang biasanya panen 1 ton kapas per hektare, dengan benih jenis Bollgard dijanjikan akan memanen 3,8 ton kapas per hektare.

Namun, kenyataannya, ketika panen raya tiba, produksi kapas malah turun bahkan sampai 0,5 ton per hektare. Kontan, para petani yang marah membakar kapas Bollgard. Kasus ini semakin menguatkan skeptisisme di kepala saya. Jangan-jangan perjalanan ini sekadar kampanye media untuk memulihkan pamor tanaman transgenik.

| | |

Perjalanan kami terus berlanjut. Lahan pertanian, tempat pembibitan jagung, dan kelompok petani kami kunjungi. Giliran berikutnya adalah mengunjungi fasilitas laboratorium milik Dow Agro Sciences, salah satu pemain besar dalam industri bioteknologi di Amerika Serikat.

Fasilitas laboratorium yang mengesankan ada di kompleks perusahaan Dow Agro Sciences ini. Perangkat pemisah (sequencing) materi genetis, sebagai contoh, bekerja efektif menyortir ratusan ribu gen dari ribuan spesies yang ”diburu” dari berbagai negara. Materi genetis tanaman kunyit (Curcuma domestica) yang banyak kita jumpai di dapur, misalnya, diteliti dengan rinci dari segala aspek. ”Negara Anda memang salah satu tempat strategis untuk berburu gen yang potensial diteliti,” kata Ted McKinney, salah seorang petinggi Dow Agro Sciences.

Ted McKinney meyakinkan saya, semua upaya perburuan gen tetap dilakukan dengan mengindahkan hak-hak penduduk lokal. Kompensasi yang mahal juga dibayarkan kepada pemerintah setempat. ”Ribuan dolar untuk setiap spesies yang kami teliti,” kata McKinney. Biaya ini diserahkan sesuai dengan peraturan negara pemilik sumber daya. Tentu saja, sistem hukum dan transparansi pemerintahan sangat menentukan apakah uang kompensasi yang disetor perusahaan seperti Dow Agro Sciences masuk ke kas negara atau hanya mentok di saku pejabat.

Pertemuan dengan para periset Dow Agro Sciences juga membuka perspektif baru tentang adanya prinsip stewardship. Intinya, perusahaan produsen GMO bertanggung jawab mengawal produknya sampai di lokasi penanaman. Kasus kapas Bollgard di Sulawesi Selatan adalah sebuah risiko yang selalu ada. Maklum, penelitian pengembangan GMO dilakukan di laboratorium. Wajar bila di lapangan kemudian ditemukan variasi, baik yang menguntungkan maupun merugikan. ”Karena itu, perusahaan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi dan meneliti ulang aspek produk GMO yang dimaksud,” kata McKinney. Lagi-lagi, kepastian hukum dibutuhkan untuk menjaga terlaksananya prinsip stewardship.

| | |

Hari-hari berikutnya, rasa skeptis saya terhadap teknologi transgenik masih ada. Semua perspektif yang dibawa perjalanan ini seolah menuju satu titik, perlunya teknologi GMO. Bagaimana mungkin?

Pertemuan dengan berbagai ahli, termasuk dari Universitas Ohio, memberikan gambar besar tentang perlunya revolusi pertanian. ”Revolusi yang ramah lingkungan,” kata Profesor Rattan Lal, ahli pertanian dan pangan dari Universitas Negara Bagian Ohio.

Pertumbuhan penduduk adalah fakta yang tak dapat diingkari. Pada 2050, diperkirakan bumi ini akan dihuni oleh 9 miliar manusia, sebagian besar menyesaki kota-kota di Asia. Pada saat yang sama, lahan pertanian akan menciut drastis karena tekanan populasi. ”Di sinilah bioteknologi dibutuhkan,” kata Profesor Lal. Pertanian berbasis bioteknologi akan menjanjikan produksi pangan yang lebih intensif, sekaligus menekan penggunaan pestisida dan pupuk kimia.

Kerja besar tentu dibutuhkan. Pertanian model konvensional mungkin tak sanggup mengejar tekanan pertumbuhan populasi. Tapi, apakah GMO merupakan pilihan jitu? Perjalanan ini memang tidak memberikan jawaban yang hitam-putih. Hanya, sebuah kalimat dari Norman Borlaug, peraih Nobel Perdamaian 1970, layak menjadi pertimbangan. ”Kita perlu membawa akal sehat dalam arena perdebatan teknologi dan ilmu pertanian. Tak mungkin kita mundur kembali menuju dunia dengan penduduk yang lebih sedikit.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus