Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Gurih, Segar, Mematikan

Dari 15 sampel mi basah yang diteliti, 10 di antaranya (66 persen) mengandung formalin. Zat ini juga ditemukan pada ikan dan tahu.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Betapa lemahnya pemerintah kita menjaga kesehatan warga. Ancaman berbagai penyakit berbahaya muncul silih berganti. Gizi buruk pun mulai menghinggapi bocah-bocah di sejumlah daerah. Kini satu lagi bahaya besar mengancam lewat ikan, tahu, dan mi basah. Sebagian besar makanan yang kita santap sehari-hari ini ternyata mengandung formalin, bahan pengawet yang amat berbahaya bagi kesehatan.

Peringatan itu datang dari Badan Pengawas Obat dan Makanan yang telah meneliti di sejumlah kota besar. Biasa dipakai mengawetkan mayat, formalin rupanya gampang ditemukan dalam makanan. Ambil contoh di Jakarta. Dari 15 sampel mi basah yang diteliti, 10 di antaranya (66 persen) mengandung formalin. Zat ini juga ditemukan pada ikan dan tahu. Penelitian di kota-kota lain seperti Surabaya, Semarang, dan Makassar juga menghasilkan temuan yang sama.

Ini amat meresahkan karena formalin sebenarnya lebih pas sebagai bahan pembunuh hama. Dua sendok saja, cairan tak berwarna ini bisa mematikan orang yang meminumnya. Bila dijadikan pengawet makanan, akibatnya pun buruk. Orang yang kerap mengkonsumsi makanan berformalin bisa terkena gangguan pernapasan, mengalami kerusakan hati, ginjal, jantung, dan risiko terkena kanker lebih besar.

Bukan sebuah prestasi, temuan terbaru Badan POM justru menggambarkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengawasi bahan pengawet berbahaya. Soalnya, temuan serupa sudah sering dipublikasikan sebelumnya. Pada 2004, misalnya, juga telah ditemukan formalin pada mi basah, tahu, bakso, dan ikan. Angkanya pun tinggi, separuh lebih dari sampel mi basah dan ikan mengandung zat ini.

Kini, kenapa temuan yang sama muncul lagi? Ini berarti kalangan produsen makanan tidak pernah menghentikan praktek yang membahayakan masyarakat. Begitu pula para nelayan. Mereka tetap menggunakan formalin sebagai bahan pengawet karena lebih murah dibanding es. Kalaupun terjadi penghentian pemakaian formalin, itu hanyalah sementara. Setelah pemerintah lengah, kebiasaan itu dilakukan lagi.

Kurangnya koordinasi antarinstansi membuat praktek kotor itu sulit diberantas. Departemen Perdagangan seharusnya mengawasi secara ketat peredaran formalin sehingga bahan ini tidak dijual secara bebas. Departemen Perindustrian pun mesti memastikan formalin benar-benar dipakai oleh industri yang memerlukan seperti pabrik kayu lapis dan pupuk.

Agar formalin tidak digunakan oleh industri kecil yang memproduksi tahu dan mi, diperlukan pula pengawasan pemerintah daerah. Apalagi, sebagian industri kecil tidak terdaftar di Departemen Perindustrian maupun Badan POM. Adapun pengawasan terhadap para nelayan bisa dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejauh ini Departemen Kelautan baru berencana menerapkan labelisasi terhadap unit-unit pengolahan ikan kecil buat mencegah penggunaan formalin.

Langkah lain yang tak kalah penting adalah melakukan kampanye pemakaian bahan pengawet alami sebagai pengganti formalin. Buat mengawetkan ikan sebenarnya bisa digunakan biji hapesong atau kepayang. Cara ini biasa dilakukan oleh para nelayan Banten. Ikan laut yang ditaburi cincangan biji kepayang tidak akan busuk sampai enam hari.

Penyalahgunaan formalin akan lebih mudah diberantas jika diiringi tindakan tegas terhadap para pelanggarnya. Tak cukup hanya dengan memusnahkan produk berformalin, pelakunya mesti diseret ke pengadilan. Aturan yang memberi perlindungan kepada konsumen dari bahan pengawet berbahaya sesungguhnya telah komplet. Selain tertera jelas dalam Undang-Undang Nomor 7/1996 tentang Pangan, diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Bahan-bahan pengawet yang dilarang digunakan untuk makanan pun telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/1988. Bukan cuma formalin, zat lain seperti boraks (asam borat) yang biasa dipakai untuk membikin kenyal bakso juga dilarang.

Produsen yang nekat memakai bahan tambahan berbahaya dalam makanan bisa diancam dengan hukuman pidana. Jika dijerat dengan Undang-Undang Pangan bisa dipenjara sampai lima tahun atau denda Rp 600 juta. Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menyediakan ancaman hukuman penjara yang sama, tapi dengan denda maksimal lebih besar, Rp 2 miliar.

Dalam prakteknya memang belum ada pengusaha makanan yang mendapatkan hukuman maksimal karena pemakaian zat pengawet terlarang. Tahun lalu, sejumlah pengusaha mi basah yang terbukti menggunakan formalin dalam produknya hanya didenda Rp 350-500 ribu atau dihukum kurungan 4-30 hari. Inilah yang membuat para pengusaha nakal tidak pernah jera.

Demi melindungi masyarakat, kini saatnya aparat hukum bertindak lebih tegas. Pertimbangannya jelas, para pengusaha bandel itu bisa jadi telah membunuh secara perlahan ribuan atau bahkan mungkin jutaan orang yang mengkonsumsi produknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus