SEMBILAN anggota teras Pengurus Besar Nahdatul Ulama, dipimpin Pelaksana Rais Am K.H. Ilyas Rukhiyat, menyerahkan ikrar kesetiaan anggota organisasi itu kepada Presiden Soeharto di kediaman Kepala Negara di Jalan Cendana, Jakarta, Kamis pagi pekan lalu. "Ikrar ini kami sampaikan kepada Bapak selaku presiden mandataris, yang berhak menerima itu," kata Ketua PBNU Abdurrahman Wahid kepada Pak Harto. "Sebagai tanda kepercayaan umat NU kepada Bapak Presiden." Pimpinan NU dalam pertemuan selama satu seperempat jam dengan Kepala Negara itu juga melaporkan hasil Munas Alim Ulama dan Konperensi Besar NU di Bandarlampung awal Januari lalu. Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, juga menyatakan kepada Pak Harto bahwa warga NU tak bisa memberikan dukungan karena secara konstitusional itu tak benar. "Ya, sudah, nggak usah dukung-dukungan," kata Pak Harto sebagaimana dituturkan kembali oleh Gus Dur. "Yang terpenting, tugas NU sebagai salah satu kekuatan nasional bersama yang lain mengamankan pemilu." Ikrar kesetiaan warga NU itu sebenarnya sudah dipergelarkan pada rapat akbar di lapangan Parkir Timur di Senayan, Jakarta, awal Maret. Dalam ikrar tersebut dinyatakan, Republik ini sudah bentuk final negara dan warga NU siap menyukseskan Pemilu 1992 dan mengamankan Sidang Umum MPR 1993. Ikrar sekitar 200.000 peserta rapat akbar NU (rencana awal akan diikuti 2.000.000 orang) itu semula diharapkan Gus Dur memberikan legitimasi bagi PBNU guna menata orientasi keagamaan kaum muslimin di Indonesia. Mengingat jumlah peserta rapat akbar NU tak lebih dari pengunjung tablig biasa, sehingga tak mungkin dianggap sebagai jaminan legitimasi, Gus Dur merasa perlu menulis memo pribadi kepada Pak Harto. Dalam memo tiga halaman folio itu, disampaikan 2 Maret lalu, Gus Dur antara lain menyebutkan sasaran utama PBNU -- yakni perolehan legitimasi dari umat Islam -- tidak tercapai. "Sasararan utama itu adalah diperolehnya legitimasi bagi PB NU dari umat Islam guna dipergunakan untuk menata orientasi keagamaan kaum muslimin di negeri ini menuju keterbukaan sikap kepada watak pluralistik bangsa kita," tulis Abdurrahman Wahid dalam memo itu. Ia juga mengungkapkan masih adanya isu sektarian, yang bila tak ditata secara dini akan berakibat munculnya sikap tertutup dan menekankan perbedaan sehingga membahayakan integritas nasional bangsa. Kegagalan penataan orientasi keagamaan menuju keterbukaan itu, tulisnya dalam memo pribadi yang kemudian diketahui umum, bisa berakibat bahwa tanggung jawab akan berpindah ke pundak pemerintah, tidak lagi menjadi beban NU. "Kami ini cari mandat tapi nggak bisa, ya sudah," kata Ketua Umum PBNU itu kepada TEMPO. Bila pemerintah juga gagal melakukan penataan, lanjut Abdurrahman dalam memo kepada Pak Harto, dalam tempo sepuluh tahun mendatang Pancasila akan terancam. Apa yang kini terjadi di Aljazair bisa juga terjadi di sini. Berarti negara Islam akan menggantikan bentuk negara yang ada ini. Untuk itu harus dilakukan penangkapan dengan jumlah yang sangat besar yang akan mengancam perekonomian dan kelangsungan pembangunan. "Kekhawatiran saya ini serius lo," ujar Abdurrahman. "Kalau Aljazair yang berpenduduk 36 juta saja ada 24.000 orang yang ditangkap, bayangkan dengan Indonesia yang berpenduduk 180 juta, berapa yang harus ditangkap." Dalam pertemuan di Cendana, Pak Harto sama sekali tak menyinggung memo yang ditulis Abdurrahman. "Itu kan memo pribadi saya, bukan sebagai Ketua PBNU," kata Abdurrahman. Sekalipun Abdurrahman menyebutnya sebagai memo pribadi, surat itu sempat menimbulkan "heboh" di dalam maupun di luar tubuh NU. Di tubuh NU sendiri, Kiai Ilyas Rukhiyat langsung memprakarsai rapat Rais Syuriah yang khusus akan membicarakan memo pribadi Gus Dur itu. Rapat yang sedianya berlangsung 19 Maret lalu itu terpaksa ditunda karena tak quorum -- dari 14 anggota Rais Syuriah cuma empat orang yang hadir. Pertemuan Rais Syuriah berikutnya, menurut rencana, diselenggarakan dua pekan sesudah Lebaran. Jusuf Hasyim, salah seorang Rais Syuriah, juga menganggap Abdurrahman Wahid "jalan sendiri" dalam membuat memo pribadi kepada Presiden itu. Karena isinya merupakan evaluasi gawe NU, katanya, tentu saja perlu dibicarakan dalam rapat PB NU. Di luar NU, memo pribadi Abdurrahman itu antara lain menjadi pembicaraan hangat di kalangan pimpinan Muhammadiyah dan juga ICMI. Amien Rais, Ketua I PP Muhammadiyah, menganggap memo Abdurrahman Wahid itu insinuatif, provokatif, dan tendensius. Karena, katanya, hal itu bisa ditafsirkan bahwa umat Islam seolaholah mempunyai kecenderungan sektarianisme dan eksklusivisme yang bisa memecah persatuan bangsa. Namun, Abdurrahman Wahid tampaknya masih bersikukuh dengan pandangannya mengenai hal itu. "Lihat saja di masjid-masjid, banyak di antara kita masih suka nggegeri umat lain," katanya. Kalau ingin rasional, Abdurrahman melanjutkan, hendaknya menumbuhkan keindonesiaan yang memberikan masyarakat muslim untuk berkembang. Atas dasar itulah Abdurrahman mengaku akan tetap bertekad setia kepada Pancasila dan UUD 1945 dan tak ingin Indonesia seperti Aljazair. "Katakanlah di sini bisa terjadi kondisi seperti di Aljazair, buat saya ya enak juga," katanya. "Saya kan kiai. Tinggal pakai sorban, beres toh." Agus Basri, Wahyu Muryadi, dan Andi Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini