Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyumbang dapat imbalan

Walikota Medan, Bachtiar Djafar, dituduh melakukan pungli. ia menghimpun dana lewat sumbangan warga sebelum disetujui DPRD setempat dan gubernur. tiga orang menggugat lewat LBH.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKSUD hati mau minta bantuan masyarakat untuk biaya pembangunan. Itulah kiat yang dilakukan Walikota Medan untuk menghimpun dana lewat sumbangan warganya. Tercatat sudah 60 orang yang siap menjadi partisipan dengan dana yang terhimpun milyaran rupiah. Tapi apa daya, Walikota Bachtiar Djafar itu akhirnya harus ancang-ancang diperkarakan ke pengadilan. Sidang memang belum diketok. Tapi tiga warganya telah mengadukan ke LBH Medan untuk menggugat Walikota dan menganggap pengumpulan dana pembangunan dari warga itu sebagai pungutan liar. Tiga orang yang menggugat lewat LBH Sabtu dua pekan lalu itu adalah Amry Efendi Harahap, aktivis Golkar, Haji Muhammadsyah Usman Siregar, dan seorang aktivis PDI Medan, Syamsul Hilal. Dana partisipasi ketiganya bernilai Rp 7 milyar lebih berupa tanah dan sejumlah kantor instansi pemerintah. Ada juga uang kontan sebesar Rp 11 juta. Tak syak, LBH pun mempertanyakan hal tersebut kepada Ketua DPRD Medan, 16 Maret lalu. Yakni, apakah pengutipan dana partisipasi tersebut memang legal. "Atau bukannya suatu pungutan liar?" kata Direktur LBH Medan, Alamsyah Hamdani, kepada TEMPO. Maklum, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 1978, pengutipan dana dari warga harus lebih dulu disetujui DPRD setempat dan disahkan Gubernur pula. Prosedur itu ternyata belum ditempuh Walikota. Ia memang buru-buru berkirim surat ke DPRD, 24 Januari, yang kemudian disusul 22 Februari lalu. Lewat kedua surat itu, Walikota minta DPRD untuk mengesahkan sumbangan warganya dalam pembahasan rancangan APBD 1992/1993. Padahal pengutipan itu telah dilakukan Walikota sejak awal l991 lalu. Memang di dalam pola dasar pembangunan kota Medan disebutkan perlu partisipasi masyarakat. Hasilnya bisa dilihat. Uang sumbangan warga itu telah dipakai untuk membangun satu kantor Pembantu Walikota Medan, enam kantor camat dan 22 kantor kelurahan di Medan. Kini tinggal tiga lagi kantor camat yang masih menyewa. Dan hanya 11 lurah dari 144 kelurahan di sana yang belum punya kantor. Ketua DPRD Medan Haluddin Harahap rupanya menganggap kasus ini hanya soal teknis. Artinya, Walikota meminta persetujuan itu secara kolektif. "Kan repot jika ada 100 kali sumbangan warga kota, harus 100 kali pula Walikota minta persetujuan kami," katanya kepada TEMPO. Lagi pula, DPRD Medan pekanpekan ini memang akan membahas Rancangan APBD l992/l993, termasuk bantuan warga itu. Anehnya, walau DPRD belum memberikan persetujuan akhir, komisi B DPRD Medan telah menyetujui permohonan Walikota itu tanggal 14 Maret lalu. Tentu saja ada anggota yang keberatan. "Anggota dewan itu 45 orang, bukan cuma komisi B," kata Letkol. Sukkun Tambunan dari Fraksi ABRI kepada TEMPO. LBH memang masih menunggu jawaban DPRD Medan. Jika tak ditanggapi barulah LBH maju ke Gubernur dan seterusnya ke Menteri Dalam Negeri. Kalau dianggap angin lalu, kata Alamsyah, baru kemudian ke meja hijau. Soalnya, kalau bantuan warga itu tak disahkan DPRD, kutipan Walikota bisa dianggap sebagai pungutan liar. Namun, kata Alamsyah dari LBH, masih ada persoalan lain di balik sumbangan warga. Ia menunjuk contoh PT Sinar Pulo Mas yang menyumbang dua bidang tanah pertapakan dan pembangunan kantor lurah di Medan. Sebagai "imbalan", PT ini bisa membangun 17 rumah mewah di Glugur Darat Medan, yang sebelumnya dinyatakan sebagai jalur hijau. Kasus serupa juga dilakukan PT Villa Polonia Medan yang menyumbang pembangunan kantor Camat Medan Maimun. PT ini juga boleh membangun perumahan mewah di Jalan Angkasa kota itu. Padahal areal itu, kata Alamsyah, masih termasuk jalur hijau. Bersihar Lubis & Sarluhut Napitupulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus