IGGI boleh dibilang adalah tonggak baru hubungan Indonesia-Belanda semenjak Orde Baru. Ketika kelompok negara donor itu berdiri di Paris tahun 1967, adalah Belanda yang oleh AS dan Jepang diminta menjadi ketuanya, karena dianggap "sangat mengenal Indonesia" sebagai bekas koloninya. Pemerintah RI menyambut gembira dan menilai IGGI sebagai suatu penemuan yang dalam prosesnya telah dirasakan sangat menguntungkan, baik oleh penerima maupun oleh pemberi bantuan. Enam tahun sebelum IGGI berdiri, Belanda masih terlibat konflik yang cukup panas dengan Indonesia soal Irian Barat. Waktu itu, kekuasaan Belanda di Nusantara memang tinggal sebatas Irian. Pada akhir tahun 1959, RI membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat untuk merebut kembali wilayah itu. Namun, Belanda menjawab, ketika bulan Maret 1961, armada lautnya diberangkatkan dari Pantai Barat AS. Armada itu terdiri dari kapal induk Karel Doorman, dua kapal perusak, dan dua kapal selam. Pertempuran di Laut Arafura sempat meledak, yang membuat Indonesia kehilangan Komodor Yos Sudarso. Konflik itu akhirnya dimenangkan RI pada awal Mei 1963, setelah melalui diplomasi yang gencar. Hubungan kedua negara boleh dibilang berjalan mesra sampai di akhir tahun 1973. Adalah Jan Pronk yang pertama kali mulai menggelitik Indonesia. Hanya tiga minggu setelah menjabat Menteri Kerja Sama Pembangunan tahun itu, Pronk mengusulkan agar ada bantuan ekstra untuk membangun wilayah Maluku. Usul Pronk itu beberapa tahun kemudian didukung juga oleh pemerintahnya, setelah aksi-aksi demonstrasi Republik Maluku Selatan (RMS), yang masih menginginkan Maluku berdiri sendiri, merebak di Belanda. Pronk rupanya berharap bahwa repatriasi orang Maluku Selatan dapat menjadi semacam katup pengaman konflik RMS di negerinya. Baru menjelang Pronk diganti pada tahun 1978, pemerintah Indonesia mengizinkan alokasi bantuan Belanda untuk sentral listrik mini di Ambon, Ternate, dan beberapa daerah lain di Maluku. Gagasan Menteri Pronk kemudian dikritik oleh penggantinya, Jan de Koning dari Partai Kristen Demokrat (CDA). "Bantuan khusus untuk Maluku yang dikaitkan dengan program repratiasi memang merupakan salah satu cara penyelesaian masalah RMS di Belanda. Tapi kita harus ingat, yang mau kita bantu adalah keseluruhan Indonesia. Bukan hanya Maluku," ujar De Koning. Urusan bicara soal yang peka agaknya bukan hanya keluar dari Jan Pronk yang "urakan", tapi juga pernah diungkapkan Menlu Hans van den Broek, ketika dia berkunjung ke Indonesia pada awal 1984. Seusai diterima Menlu RI waktu itu, Mochtar Kusumaatmadja, Menlu Broek dalam suatu jumpa pers di Jakarta, tiba-tiba menyinggung soal "petrus" alias penembakan misterius, yang menurut Menlu Broek telah menimbulkan korban 3.000 orang. "Kami mengharapkan pada waktu mendatang pembunuhan ini dapat diakhiri. Kami mengharapkan Indonesia melaksanakan konstitusi dan tertib hukum," kata Van den Broek. Dia kaget dan merasa menyesal ketika ia dianggap mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. "Tidak ada maksud pemerintah Belanda untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Saya menyesal kalau pernyataan saya telah menimbulkan kesan campur tangan," kata Broek. Hubungan Indonesia Belanda sekali lagi diuji ketika Jakarta mengeksekusi empat orang bekas anggota Cakrabirawa pada bulan Februari 1990, yang terlibat Gerakan 30 September. Empat pengawal khusus Presiden RI tersebut amat berperan dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat di pengujung bulan September tahun 1965 yang naas itu. Mereka semua sudah selesai disidangkan dan divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer pada akhir tahun 1970, tapi baru 20 tahun kemudian eksekusi dilakukan. Tak urung, eksekusi tersebut telah mengundang protes keras pemerintah Belanda. Jan Pronk, yang sejak November 1989 naik panggung lagi sebagai Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda, diminta kembali memainkan kartu bantuan negerinya kepada Indonesia. Namun, Pronk ketika itu ingin berunding dulu dengan Indonesia soal kemungkinan penundaan bantuan. Suara PM Lubbers juga senada. Tapi akhirnya, setelah Menteri Pronk kembali ke Den Haag, ancaman penundaan bantuan Belanda pun kembali reda. Belakangan, setelah serangkaian kecaman yang dilancarkan Jan Pronk tentang pelaksanaan hak asasi manusia di sini, terutama setelah Insiden Dili, malah pemerintah Indonesia yang menolak bantuan Belanda. Pemerintah dalam siaran persnya Rabu pekan lalu mengharapkan agar sikap tegasnya yang menolak bantuan ini justru dapat memperbaiki hubungan kedua negara. Karena, pemerintah Indonesia menganggap bantuan Belanda sudah dipakai sebagai alat intimidasi. Lalu, bagaimana nasib proyek Belanda? Ternyata, ada 175 proyek bantuan Belanda di sini untuk tahun anggaran 199192. Proyek itu berupa jasa konsultasi, jasa training, konstruksi, dan pengadaan barang serta peralatan. Sekitar 90% dari proyek Belanda itu berupa bantuan jasa konsultan dan training. Bantuan pengadaan barang dan alat, contohnya, diberikan Belanda dalam proyek pembangunan jembatan kereta api di Pulau Jawa dan Sumatera atau pengadaan listrik di beberapa tempat di Aceh dan Maluku. Pemerintah Belanda dalam tahun anggaran 1991-92 telah menyediakan bantuan senilai 174 juta gulden (Rp 188 milyar): 104,5 juta gulden berbentuk hibah (grant) dan 69,5 juta gulden pinjaman lunak, berbunga 2,5% setahun bermasa bebas bunga grace period) delapan tahun dan jangka pengembalian 30 tahun. Semua proyek tadi telah menghabiskan hampir 78 juta gulden. Sisa bantuan Belanda yang 96 juta gulden rencananya akan digunakan untuk membiayai proyek baru, yang dimulai tahun ini, tapi sekarang batal. Apa ihwal bantuan yang telanjur dipakai? "Pemerintah akan menyediakan gantinya. Jumlahnya 78 juta gulden atau Rp 85 milyar dan itu gampang dicari, keciil . . .," kata seorang pejabat ekonomi di Jakarta. Tenaga ahli mereka yang telanjur berada di sini, kata pejabat ini, "Ya akan disuruh pulang saja untuk mengirit." Menurut Valerie Sluyter, Konselor Atase dan Pers Kedubes Belanda, di Indonesia sekarang masih ada 250 tenaga ahli Belanda. "Untuk menyelesaikan apa yang akan dilakukan dengan tenaga ahli ini, kita masih harus bertemu pemerintah Indonesia," kata Sluyter. Akibat ditolaknya bantuan Belanda juga telah singgah di Universitas Gadjah Mada. UGM diperkirakan akan kehilangan Rp 8 milyar bantuan Belanda. Bantuan tersebut disalurkan lewat lembaga swasta Nuffic ( Nederland Universities Forum Foundation Corporation). "Rencana bantuan itu sudah pasti dan akan dimulai tahun ini. Sekarang semua terpaksa dibatalkan," kata Sofian Effendi, Pembantu Rektor IV UGM. Bantuan itu dianggarkan untuk pengembangan ilmuilmu dasar dan pengembangan studi dan penelitian lingkungan. Maka, proyek bagus itu, yang sudah berjalan lancar selama tiga tahun, diduga akan tertunda setahun dua. Sebelum ini, UGM juga sudah sering bekerja sama dengan lembaga penelitian Belanda, misalnya, untuk meneliti geografi dan penelitian di bidang farmasi. Dengan disetopnya bantuan ini, UGM merencanakan akan mencari bantuan lain. "Mungkin ke Bank Dunia atau Jepang. Pokoknya kita tetap optimistis," kata Sofian. Memang tak begitu sulit agaknya untuk mencari pengganti bantuan yang selama ini mengalir dari Negeri Belanda. Lebih-lebih setelah terbetik kabar bahwa lima negara, seperti kata seorang pejabat tinggi, "sudah ada di tangan" alias siap terus membantu Indonesia, yakni Jepang, Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan Inggris. Di samping Bank Dunia dan Bank Perkembangan Asia (ADB), tentunya. Namun, bagaimana sikap Indonesia kalau kelak Belanda kembali menawarkan bantuannya? Toriq Hadad dan Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini