Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT pentolan Partai Golkar keluar dari ruangan dengan wajah sumringah. Mereka adalah Ketua Golkar Provinsi Gorontalo Fadel Muhammad, politikus Beringin Yuddy Chrisnandi, Anton Lesiangi, dan Zainal Bintang.
Setelah keempatnya bertemu dengan Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla di rumah dinas Wakil Presiden di Jalan Diponegoro 2, Menteng, Jakarta Pusat, Senin malam pekan lalu, untuk sementara buku persoalan ditutup. ”Selesai semuanya. Kita kompak untuk memajukan Golkar,” kata Fadel. Jusuf Kalla juga mencoba ”dingin”. ”Tidak ada sanksi-sanksian,” ujar Kalla.
Pertemuan Kalla-Fadel adalah antiklimaks dari polemik dua politikus itu. Ceritanya bermula dari isu bakal digelarnya musyawarah nasional luar biasa oleh sekelompok tokoh Golkar yang tidak puas dengan kepemimpinan Kalla.
Dibidani oleh Fadel dan Yuddy, sejumlah tokoh Golkar pusat dan 18 dewan pimpinan daerah akan menggelar temu kader di Gorontalo untuk mendeklarasikan gerakan Golkar Sejati. Pertemuan itu digelar karena partai di bawah Kalla dinilai mundur. Mereka ingin membenahi dan mengembalikan partai kepada kemurnian anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. ”Agar target 30 persen kursi legislatif bisa tercapai,” kata Yuddy.
Golkar Sejati itu diembuskan pertama kali oleh Yuddy di kota asalnya, Cirebon, Jawa Barat, awal September lalu. Ia menyatakan deklarasi Golkar Sejati rencananya akan digelar pada 8 Oktober 2008 di Gorontalo. Acara intinya, penganugerahan gelar kehormatan masyarakat Gorontalo kepada Sultan Hamengku Buwono X. Fadel akan menjadi tuan rumah. Pertemuan lanjutan dijadwalkan di Yogyakarta pada 16 Oktober nanti.
Gagasan ini, kata Yuddy, sudah mendapat dukungan kader muda dan sejumlah politikus senior Golkar. Selain Sultan, bekas Ketua Golkar Akbar Tandjung dikabarkan akan hadir. ”Deklarasi ini untuk mengembalikan Partai Golkar pada kemurniannya. Sebab, saya melihat Golkar sekarang hanyalah milik sebagian elite,” kata Yuddy ketika itu.
Fadel dan Yuddy dianggap bagian dari barisan sakit hati di Partai Kuning. Fadel ditolak menjadi calon anggota legislatif karena masih berstatus Gubernur Gorontalo, sementara Yuddy kecewa tidak memperoleh nomor peci.
Buntutnya, pertemuan Gorontalo itu dicurigai sebagai upaya konsolidasi untuk mendongkel Kalla. Penganugerahan gelar kehormatan masyarakat Gorontalo kepada Sultan dianggap sebagai kedok.
Rencana ini membuat geram sejumlah pengurus Golkar di Jakarta. ”Itu pertemuan gelap. Kalau membawa nama Golkar, artinya dia melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan main,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Rully Chairul Azwar. Pengurus Beringin dalam rapat pada Jumat pekan lalu memutuskan Fadel akan ditegur.
Yang disasar segera menangkis. Fadel justru menilai pengurus pusat Golkar tipis telinga. Ia melihat sikap Kalla yang ketakutan tidak beralasan. ”Pak Kalla takut pada bayang-bayang sendiri karena kegagalan memimpin Golkar,” kata Fadel pada Kamis pekan lalu.
Fadel menuding kekisruhan yang terjadi di Golkar adalah imbas dari menajamnya persaingan faksi-faksi di tubuh petinggi Partai Beringin. Masing-masing berebut pengaruh dan kepentingan. Menurut Anton Lesiangi, adu kuat itu tak lepas dari pemanasan menuju pemilihan presiden 2009.
Dikhawatirkan rencana pertemuan Gorontalo bakal makin mengkristalkan keinginan sebagian anggota Golkar agar konvensi pemilihan calon presiden digelar kembali. Alasannya, kata Anton, Golkar punya Sultan Hamengku Buwono X yang siap diusung.
Menurut Anton, Sultan—selain Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono—adalah tokoh yang paling berpotensi saat ini. ”Sultan kan orang Golkar. Kenapa tidak beliau yang didukung?” kata Anton. Jika Kalla yang diusung, menurut Anton, paling banter hanya jadi calon wakil presiden.
Padahal, untuk calon wakil presiden, Golkar punya lebih banyak stok. Misalnya Agung Laksono, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Muladi, dan Fadel Muhammad. ”Ini yang mereka takutkan dari rencana (pertemuan Gorontalo) itu,” kata Anton. Menurut Yuddy, segelintir elite yang ”bergelayut” pada Kalla-lah yang memperkeruh suasana.
Sumber Tempo menilai isu musyawarah nasional luar biasa bukanlah sasaran utama untuk menembak kelompok Fadel. Kekhawatiran sebenarnya adalah Fadel bakal mencalonkan diri menjadi wakil presiden 2009. Pencalonan Fadel di legislatif dilihatnya hanyalah sebagai target antara untuk go national. Sikap Fadel sering menyuarakan digelarnya konvensi dianggap sebagai indikasi.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Bidang Kesejahteraan Rakyat Firman Soebagyo menilai konvensi tidak efektif. ”Peserta konvensi cuma dipilih pemimpin partai, bukan oleh rakyat kebanyakan. Makanya, calon Golkar di 2004 kalah karena tak populer,” ujar Firman.
Nama Fadel sudah santer disebut bakal dipinang oleh para calon presiden. Kubu Megawati dan Sutiyoso, misalnya, secara terang-terangan menyatakan tertarik pada pengusaha itu. Di Gorontalo bahkan ada Forum Solidaritas Indonesia Timur, yang sejak tahun lalu mempromosikan pasangan Sutiyoso dan Fadel. ”Sosok keduanya merupakan perpaduan Indonesia Barat dan Indonesia Timur,” kata Abdul Muis Syam, ketua forum itu.
Namun Fadel menampik tudingan bahwa ia kebelet menjadi RI-2. Katanya, ia berniat masuk legislatif karena ingin menerapkan otonomi daerah dengan baik. Tapi, ”Karena ditolak, ya, saya tetap saja gubernur jagung,” kata pemimpin provinsi penghasil jagung terbesar di Indonesia itu.
Fadel mengaku heran, karena sebe-lumnya Kalla merestui pencalonannya. ”Tiba-tiba Komisi Pemilihan Umum mencoret nama saya,” katanya. ”Pasti ada yang membisiki.” Fadel mengaku sakit hati karena telanjur berpamitan ke semua jajaran pemimpin kabupaten/kota dan para legislator Gorontalo.
Tak ingin lempar batu sembunyi tangan, Fadel menuding Firman Soebagyo sebagai pembisik itu. Adapun Firman membantah. ”Saya hanya menjelaskan supaya Fadel legowo karena sudah menjabat gubernur. Keputusan pencoretan bukan karena saya,” katanya.
Agus Supriyanto, Anton Aprianto, Verianto Madjowa (Gorontalo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo